Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMPLEKS perkantoran dan gudang di Jalan Yos Sudarso, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung, itu selalu dijaga ketat. Bagian depan kompleks seluas 4 hektare di kawasan berbukit itu dikawal sejumlah petugas. Pada gerbang besi setinggi satu meter tertera tulisan ”Dilarang Masuk”. Saat Tempo mendatangi kompleks itu, akhir pekan lalu, seorang petugas keamanan menyambut tak ramah. ”Mau apa?” katanya penuh selidik.
Pemilik kompleks perkantoran itu adalah Artalyta Suryani, pelobi yang dekat dengan keluarga Sjamsul Nursalim. Di kompleks itulah kapal bisnis utama Artalyta, PT Bukit Alam Surya, bermarkas.
Di belakang gedung perkantoran itu, tampak sejumlah gudang dan garasi truk-truk besar. Akhir pekan lalu, sedikitnya lima truk pengangkut tanah parkir di sana. Sekitar 500 meter di belakang gudang itu terdapat Milenium, diskotek dan karaoke milik Artalyta. Pengacara, politikus, dan kaum berduit Lampung sering tampak menghabiskan waktu senggang di sana.
Di belakang karaoke itu, di bibir pantai, masih ada kerajaan bisnis Artalyta lainnya: dermaga kapal pesiar. Tetamu spesial yang ingin bersantai di Pulau Lelangga Kecil milik Artalyta selalu berangkat dari sana.
GURITA bisnis Artalyta berawal dari CV Sonokeling, perusahaan kontraktor milik suaminya, Suryadharma alias Akiong. Meninggal pada 1998, semasa hidupnya Akiong pernah berkongsi dengan PT Gajah Tunggal, induk bisnis keluarga Sjamsul Nursalim, saat tambak udang Dipasena mulai dirintis di Lampung. Pada 1980, Akiong menikahi Artalyta.
Setelah suaminya meninggal, Artalyta mengambil alih biduk bisnis sang suami. Lima tahun kemudian, pada 2003, PT Bukit Alam Surya mendapat izin mereklamasi 150 hektare laut di pantai Teluk Betung. Di atas lahan hasil reklamasi itu, Artalyta berencana membangun kompleks permukiman mewah dengan konsep kota tepi pantai. Proyek reklamasi itu dikuatkan dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Bandar Lampung.
Sumber Tempo, seorang pengusaha di Lampung, memastikan Artalyta untung besar dalam proyek reklamasi itu. Pasalnya, sebagian besar tanah dan bebatuan yang digunakan untuk reklamasi diambil dari Bukit Camang, dataran tinggi yang telah lama dibeli Artalyta. Dari kantor utama PT Bukit Alam Surya, gunung kecil itu hanya berjarak tiga kilometer.
Proyek reklamasi itulah titik awal kebangkitan bisnis Artalyta alias Ayin. Setelah itu, bisnis Ayin merambah sektor lain: pariwisata, perbankan, produk minuman mineral, dan properti. Artalyta santer disebut-sebut memiliki saham di Hotel Pacific Lampung, Bank Perkreditan Rakyat Tripanca, dan kompleks permukiman mewah Bukit Alam Surya.
Dia juga menguasai perdagangan kopi yang dikendalikan dari kompleks Gudang Hijau di kawasan Tanjung Bintang, Lampung Selatan. ”Sekarang hampir semua transaksinya dilakukan dengan dolar Amerika,” kata seorang anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia di Lampung yang pernah berbisnis dengan Ayin.
Bukan hanya bisnis Artalyta yang moncer. Dua saudaranya, Aman Susilo dan Simon Susilo, juga dikenal sebagai kontraktor kakap di Lampung. Keduanya kini membantu mengendalikan CV Sonokeling, usaha warisan Akiong. Dua bersaudara itu juga menakhodai dua perusahaan lain yang didirikan terpisah: PT Aman Jaya Perdana dan PT Purna Arena Yudha. Trio kontraktor ini banyak terlibat dalam pembangunan jalan raya di Lampung yang bernilai puluhan miliar rupiah.
Mengkilat di luar, bisnis Artalyta di dalam ternyata tak meling. Proyek reklamasi pantai Teluk Betung, misalnya, sejak awal diprotes warga setempat. Empat tahun lalu, ratusan nelayan berunjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung menuntut reklamasi itu dihentikan. Saat itu, rumah-rumah nelayan memang terancam digusur oleh proyek pengurukan itu.
Bukan hanya nelayan terjepit, ekosistem pantai pun terancam bubrah. Karena itu, tak lama setelah proyek tersebut dimulai, lebih dari 20 organisasi nonpemerintah dan lembaga konservasi lingkungan membentuk Koalisi Penolakan Penimbunan Pantai Teluk Lampung dengan Wahana Lingkungan Hidup sebagai motornya.
Usaha itu sempat berhasil. Juni 2003, Wali Kota Bandar Lampung (ketika itu) Suharto meminta proyek itu dievaluasi. Tapi tak lama. Kiprah PT Bukit Alam Surya seperti tak terhadang. Saat itu, putra Artalyta, Romy Dharma Satriawan, sempat berang. ”Apa lagi yang mau dievaluasi?” katanya.
Sekarang, setelah lima tahun tanahnya habis-habisan dikeruk, hampir sepertiga permukaan Bukit Camang sudah habis untuk menimbun pantai Teluk Betung. Maret tahun lalu, sebagian lereng bukit itu longsor dan menimpa rumah-rumah penduduk di bawahnya. Kawasan yang direklamasi kini telah 40 hektare, dari target 150 hektare, menjadi daratan. Meski demikian, belum satu pun bangunan didirikan di sana.
Kepemilikan Artalyta atas Pulau Lelangga Kecil pun masih dibelit masalah. Kepada Tempo pekan lalu, L.T. Simbolon, pemilik PT Saptawell Teknikatama, perusahaan pengeboran minyak bumi, mengklaim sudah lebih dulu membeli pulau itu senilai Rp 12 juta, pada 1986. ”Tidak ada angin tak ada hujan, tiga tahun lalu pulau itu diambil oleh Artalyta,” katanya.
Putri Simbolon, Lenny Marshinta, sempat menghubungi Artalyta untuk menyelesaikan masalah ini. ”Tapi tidak digubris,” kata Simbolon. Sengketa ini kini ditangani polisi. Artalyta sendiri mengaku membeli pulau itu pada 2004 seharga Rp 20 juta.
Riwayat kasus dalam kerajaan bisnis Artalyta tak berhenti di situ. Awal tahun lalu, dua saudara Artalyta, Aman dan Simon Susilo, sempat berurusan dengan polisi. Mereka dituduh menggunakan perusahaan lain untuk menang dalam tender pembangunan jalan raya Kota Bumi-Bukit Kemuning senilai Rp 14 miliar. ”Nama perusahaan kami dicatut dan akta kami dipalsukan,” kata Heru Setio Hartono, Manajer Hubungan Masyarakat PT Bumi Rejo, yang mengadukan kasus ini ke polisi.
Sampai sekarang, penyelesaian kasus ini tidak kunjung terang. Yang jelas, Simon sempat balik mengadukan Direktur Utama Bumi Rejo Budi Yuwono dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik. Di media-media lokal terbitan Lampung, kasus yang melibatkan keluarga Artalyta ini sempat menjadi kepala berita. ”Justru Simon yang ditipu,” kata Sopian Sitepu, kuasa hukum Simon, seperti dikutip Lampung Post.
LANTAI 10 dan 11 Wisma Sudirman, Jalan Sudirman Kaveling 34, Jakarta Pusat. Di sinilah kantor pusat PT Indonesia Prima Property, sayap bisnis properti Gajah Tunggal Group. Direktur Utama perusahaan ini adalah Husni Ali, keponakan Sjamsul Nursalim.
Ketika Tempo berkunjung ke sana akhir pekan lalu, tak ada satu pun anggota staf perusahaan itu yang bersedia buka mulut. Setelah didesak berulang-ulang, seorang pegawai hanya sedikit membuka suara. ”Susunan direksi dan komisaris perusahaan ini sama dengan yang tercantum di Bursa Efek Indonesia,” katanya.
Sebagai perusahaan terbuka, Indonesia Prima memang harus melaporkan perubahan susunan direksi dan komisarisnya kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan otoritas Bursa Efek. Berdasarkan laporan perusahaan ini pada Februari 2008, nama Artalyta Suryani tercantum sebagai wakil presiden komisaris, persis di bawah nama mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal (Purnawirawan) Dibyo Widodo. Tapi pengacara Artalyta, O.C. Kaligis, membantah soal sepak terjang bisnis kliennya. ”Dia cuma ibu rumah tangga biasa,” kata Kaligis.
Wahyu Dhyatmika, Nurochman (Lampung), M. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo