Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU tamu di Gedung Bundar Kejaksaan Agung tak lagi tampak di dekat petugas jaga pintu utama. Buku tebal ukuran folio bergaris tersebut biasanya tertumpuk di atas meja. Namun, sejak penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, buku tadi lenyap. ”Kami diperintahkan untuk menyimpan,” kata seorang petugas.
Sejumlah wartawan berkepentingan dengan buku tersebut. Mereka ingin tahu adakah nama Artalyta Suryani tercatat. Sebab, beredar kabar bahwa perempuan yang diduga menyuap Urip itu kerap bertandang ke gedung tempat penyidikan perkara korupsi—yang bentuknya bundar—itu. Berita tak sedap ini membuat pening Kemas Yahya Rahman, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang berkantor di situ.
”Saya sudah babak-belur,” ucap Kemas Yahya ketika dikonfirmasi Tempo. Jumat pekan lalu, dari kantornya yang berseberangan dengan Terminal Blok-M di Jakarta Selatan, pagi-pagi dia dipanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk melaporkan perkembangan perkara mutakhir. ”Ya, tentang Urip (Tri Gunawan),” katanya lirih.
Kasus Urip memang membuat irama kerja Kemas kacau. Ruang kerjanya kerap ditinggal pergi. Dalam dua pekan terakhir, dia sibuk mondar-mandir. Ia menjalani pemeriksaan internal Jaksa Agung Muda Pengawasan, yang dipimpin M.S. Rahardjo. Tempat pemeriksaan masih satu kompleks di Kejaksaan Agung.
Kemas, bersama Direktur Penyidik Kejaksaan, M. Salim, selama sebelas jam juga diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya dikorek keterangannya terkait dengan kasus Urip. ”Saya berharap KPK tidak memanggil lagi,” kata Kemas.
Urip Tri Gunawan, 41 tahun, diduga menerima suap US$ 660 ribu atau setara dengan Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani. Perempuan itu tak lain dari orang kepercayaan pengemplang kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim. Urip tertangkap tangan tim KPK pada Ahad tiga pekan lalu di rumah Sjamsul Nursalim, di bilangan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Urip kini ditahan KPK dan ”dititipkan” di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok.
Sepekan setelah penangkapan, Urip dinonaktifkan sebagai jaksa. Tindakan ini sesuai dengan peraturan. Menurut Sekretaris Jaksa Pengawas Halius Husen, berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan, apabila terdapat penangkapan seorang jaksa dan diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya. Hukuman finalnya menunggu keputusan pengadilan. ”Jika terbukti menerima suap, sanksinya bisa dipecat,” kata Halius.
Bagaimana dengan atasannya? Sanksi kepada Kemas dan M. Salim belum dirumuskan. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, atasan jaksa tersebut tak bisa lepas tangan. ”Ini risiko beliau sebagai pemimpin yang harus mengendalikan anak buahnya,” kata Halius. Meski penangkapan Urip di luar tugas sebagai jaksa, juga bukan pada hari kerja, pengawasan pimpinan tetap ada. ”Ini sudah merupakan perbuatan tercela,” ujarnya. Sesuai dengan sumpahnya, pegawai negeri harus jujur dan bebas dari perilaku tercela.
Rumusan sanksi atasan Urip itu sedang disusun Rahardjo. Jumat pekan lalu, Rahardjo bersama timnya, yaitu Halius Husen, Inspektur Perdata dan Tata Usaha Negara Darmono, serta Inspektur Pengawasan dan Tugas Umum Andi Nirwanto, menggelar rapat evaluasi akhir kasus Urip selama satu setengah jam. Setelah dilaporkan ke Jaksa Agung, hasilnya akan diekspos melalui media massa. Namun agenda ini batal mendadak lantaran Hendarman Supandji harus ikut rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Bukan cuma Kemas dan Salim yang diperiksa. Menurut Halius, tim Jaksa Pengawas juga menginterogasi 16 jaksa serta 10 pegawai bagian tata usaha di Kejaksaan Agung. Pemeriksaan itu meliputi pengetahuan mereka tentang Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. ”Hasilnya tak bisa diungkapkan di sini.”
Jaksa Agung Hendarman Supandji belum bisa menindak Kemas Yahya Rahman ataupun M. Salim. Sebab, ”Belum ada kepastian salah atau tidak,” kata Hendarman. Keduanya sudah diperiksa KPK, memang. Namun mereka belum bisa disimpulkan bersalah. KPK meminta keterangan Kemas dan M. Salim sebagai saksi berkaitan dengan dugaan suap Artalyta kepada Urip.
Kemas Yahya, pada Juli tahun lalu, menghimpun 35 jaksa untuk menyelidiki kasus BLBI, yang terbengkalai. Para jaksa tersebut merupakan pilihan dari 80 jaksa yang diseleksi dari sejumlah daerah. Mereka dibagi menjadi dua tim, yaitu tim penindakan, yang bertugas mengejar aset pengemplang BLBI, dan tim pemeriksa, yang bertugas menyelidiki, menyidik, sampai melakukan penuntutan.
Tim-35 melaporkan hasil temuannya kepada sang atasan. Jika ditemukan pelanggaran pidana, itu akan diserahkan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Namun, kalau didapati mengandung unsur perdata, urusannya diserahkan kepada Departemen Keuangan.
Walhasil, pada 28 Februari 2008, Jaksa Agung Hendarman Supandji menghentikan penyelidikan perkara BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthoni Salim, setelah mendapat laporan dari Kemas bahwa tidak ada pelanggaran dalam perkara itu. Sjamsul adalah bekas pemilik BDNI, sedangkan Anthoni merupakan pemilik lama Bank BCA. Menurut Kemas, keputusan itu hasil rekomendasi tim jaksa setelah melakukan penelitian berulang kali. ”Bukan atas inisiatif seorang jaksa,” ujarnya.
Kemas menyangkal terlibat dugaan suap Rp 6 miliar. Namun, apabila di kemudian hari ia dinyatakan terbukti terlibat, jaksa senior yang tiga tahun lagi memasuki masa pensiun ini siap hengkang. ”Kalau pimpinan menghendaki, kapan pun saya siap mundur.”
Elik Susanto, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo