Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menguak Jejak Leluhur di Gua Harimau

GUA Harimau menyimpan jejak kehidupan Homo sapiens (manusia modern) di Sumatera. Selama ini manusia awal yang menduduki Nusantara sejak sekitar 40 ribu tahun silam sudah umum diketahui. Namun Homo sapiens belum pernah ditemukan jejaknya di Sumatera hingga para arkeolog menemukannya di Gua Harimau. Yang mencengangkan, penggalian di gua itu mendapatkan artefak-artefak luar biasa. Hingga akhir Mei 2014, sebuah tim arkeolog yang terdiri atas ahli kerangka sampai ahli DNA menemukan 78 kerangka utuh manusia purba.

Temuan para arkeolog di Gua Harimau itu sangat penting bagi sejarah kita. Temuan itu bisa menjelaskan jalur migrasi ras Mongoloid yang menjadi leluhur bangsa Indonesia saat ini. Apa saja temuan arkeologis di gua yang terletak di Desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, itu? Apa misteri di balik lukisan dinding di gua tersebut?

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI masih menyisakan embun di dedaunan ketika Tempo tiba di Gua Harimau pada Jumat awal Juni lalu. Lokasi gua yang terletak sekitar lima kilometer di selatan Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, itu tersembunyi di lereng perbukitan kapur. Pepohonan besar dan semak belukar yang menutupi lereng bukit kian menyembunyikan gua tersebut.

Untuk mencapai mulut gua harus lebih dulu menapaki 105 anak tangga terbuat dari coran semen dengan kemiringan hingga 45 derajat. Gua Harimau yang bermulut lebar itu memiliki panjang 43 meter dan lebar kira-kira 32 meter. Langit-langitnya, yang berjarak rata-rata 17 meter dari lantai gua, dihiasi stalaktit-stalaktit besar. Menurut cerita penduduk setempat, gua itu menjadi tempat harimau sehingga tak seorang pun berani memasukinya. "Dari cerita itulah kemudian gua tersebut dinamakan Gua Harimau," kata Rolly Candra Saputra, juru kunci dan juru rawat Gua Harimau.

Keberadaan Gua Harimau mulai terkuak oleh para peneliti pada 2008. Saat itu, Ferdinata, 50 tahun, penduduk Padang Bindu, menginformasikan keberadaan gua tersebut kepada tim Pusat Arkeologi Nasional yang tengah meneliti Gua Karang Pelaluan—sekitar 100 meter dari situs Gua Harimau. Tim arkeolog pun memutuskan menjelajahi Gua Harimau.

Setelah melakukan penelitian dan penggalian, tim arkeolog menemukan tulang belulang manusia purba yang terkubur di dalam gua. Jumlahnya mencengangkan. Hingga akhir Mei 2014, tim menemukan 78 kerangka utuh manusia purba. "Ini jumlah paling besar yang pernah ada di Indonesia," ujar Harry Truman Simanjuntak, arkeolog prasejarah Pusat Arkeologi Nasional. "Kalau digali terus, saya kira bisa mencapai ratusan rangka karena di dalam gua masih banyak yang terkubur."

Dalam tiga tahun terakhir, Truman begitu antusias melakukan penelitian dan penggalian Gua Harimau. Arkeolog 62 tahun itu menggandeng para arkeolog muda turun ke lapangan. Mereka diajak masuk hutan, menggali dasar gua, dan menganalisisnya. Menurut Koordinator Tim Penelitian Situs Gua Harimau, Adhi Agus Oktaviana, ada 18 arkeolog yang terlibat dalam tim. Adhi menyertakan ilmuwan lintas bidang. "Itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif atas temuan di Gua Harimau," ujarnya.

Para peneliti yang terlibat, antara lain, ahli teknologi artefak batu prasejarah dan analisis tiga dimensi Ruly Fauzi; zooarchaeolog Mirza Ansyori; paleoantropolog dan ahli kerangka Dyah Prastiningtyas dan Sofwan Noerwidi; mahasiswa arkeologi Universitas Gadjah Mada, Luhana Martha Herbiamami dan Fika Nuriavi; serta arkeolog prasejarah dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni dan Sondang Siregar. Selain itu ada ahli analisis DNA, Herawati Sudoyo, Wuryantari, dan Windi dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman; teknisi penggambaran Arkenas Ngadiran; teknisi cetak replika kubur dan artefak Ginarto, Slamet, dan Wahyu Pujiono; serta teknisi gips, Sony Sanjaya dari Pusat Survei Geologi Bandung.

Penelitian mereka berfokus pada dua hal: kerangka dan lukisan gua. Menurut Truman, dari aspek kubur kerangka manusia purba, penemuan di Gua Harimau bisa membuka cakrawala yang lebih luas dalam dunia arkeologi Nusantara dan internasional. Begitupun dengan lukisan gua. Selama ini dalam benak para arkeolog Indonesia sudah tertanam pemahaman bahwa lukisan gua tidak berkembang di Sumatera. "Tadinya hanya di daerah timur. Temuan itu mematahkan paradigma yang ada," kata Truman. "Gua Harimau membuktikan bahwa lukisan gua juga berkembang di Sumatera," ucapnya (lihat "Lukisan Gua yang Mengejutkan").

1 1 1

TIM arkeolog menemukan dua jenis kerangka yang digali dari Gua Harimau. Pertama, kerangka manusia ras Australo Melanesia atau Australo Melanosoid (leluhur orang Papua). Kedua, ras Mongoloid (leluhur orang Melayu). Kedua ras ini bisa dibedakan berdasarkan fitur-fitur rangka pada wajah dan tubuh. Ras Australo Melanesia memiliki fitur rangka yang lebih besar ketimbang ras Mongoloid.

Dari 78 kerangka yang ditemukan di Gua Harimau, empat di antaranya merupakan kerangka ras Australo Melanesia (Melanosoid). Semuanya ditemukan dalam posisi meringkuk dengan kepala menghadap ke utara. Menurut paleoantropolog dari Balai Arkeolog Yogyakarta, Sofwan Noerwidi, ada alasan kultural mengapa ras Melanosoid mengubur jasad dengan posisi meringkuk, kepala mengarah ke utara, dan kaki menghadap ke luar gua. Dugaan sementara, pada zaman itu ada kepercayaan bahwa, ketika manusia mati, posisi tubuhnya harus sama seperti dia lahir.

Sedangkan kerangka ras Mongoloid seluruhnya dalam posisi telentang dengan tangan di samping badan. Kepala ras Mongoloid semuanya menghadap ke timur. "Ada variasi, tapi hanya sedikit. Ada yang timur laut, juga timur tenggara," ujar master paleoantropologi lulusan Institut de Paléontologie Humaine, Paris, Prancis, itu. Arah timur, tempat matahari terbit, tutur Sofwan, dipercaya sebagai sumber kehidupan. Karena itu, jenazah dikuburkan dengan kepala mengarah ke timur.

Kubur keempat jasad ras Melanosoid lebih dalam ketimbang Mongoloid. Namun kedalamannya tak signifikan, hanya berkisar puluhan sentimeter. "Ada juga yang berimpitan dengan Mongoloid," ujar Sofwan.

Yang membedakan antara tulang belulang ras Melanosoid dan Mongoloid adalah fitur-fitur wajah dan ukurannya. Wajah Melanosoid berbentuk lonjong dan meruncing ke bawah, sedangkan Mongoloid lebih lebar dan bundar. Tulang belulang ras Melanosoid lebih panjang dan besar ketimbang Mongoloid. "Mereka lebih kekar dan lebih tinggi," kata Sofwan. "Gigi geligi Melanosoid yang berbentuk bilah juga berbeda dengan Mongoloid yang berbentuk sekop."

Di antara puluhan rangka itu, Sofwan menemukan satu individu yang memiliki fitur kedua ras pada kerangkanya, yakni individu 48. Dia menduga individu itu merupakan campuran ras Melanosoid dengan Mongoloid. "Tengkoraknya lonjong ciri Melanosoid, tapi giginya sekop ciri Mongoloid," ujarnya.

Tim sedang meneliti DNA individu 48 untuk mengetahui silsilah dan pada tahun berapa dia lahir. Individu 48 bisa menjadi bukti ada persinggungan kehidupan antara ras Melanosoid, yang lebih dulu tinggal di Gua Harimau, dan Mongoloid, yang merupakan warga pendatang.

Sofwan belum bisa memastikan rata-rata tinggi badan manusia di Gua Harimau. Untuk mengukur tinggi badan, dia mesti memasukkan data yang ia himpun ke dalam rumus. "Saya belum menghitung dengan rumus itu sehingga belum bisa menyimpulkan. Yang jelas, Melanosoid lebih besar," katanya.

Dari analisis gigi, Sofwan menyimpulkan kebiasaan-kebiasaan ras Mongoloid. Mereka adalah pemakan padi-padian karena di giginya banyak ditemukan karies alias karang. Pengikisan gigi muncul karena kebiasaan ras itu makan karbohidrat yang mengandung glukosa. "Karbohidrat manis membuat gigi jadi berlubang," ujarnya.

Ras Mongoloid juga punya kebiasaan mengasah gigi dan mengunyah pinang. Kebiasaan mengasah gigi itu diketahui dari bentuk gigi seri yang seragam. Sofwan menduga manusia prasejarah menggunakan batu untuk mengasah gigi. Sedangkan kebiasaan mengunyah pinang diketahui dari gigi yang kemerah-merahan. Hal-hal itu tak ditemukan dalam gigi ras Melanosoid. Sofwan tak menemukan karies, gigi yang terasah, ataupun gigi yang kemerah-merahan. "Ada perbedaan budaya dan makanan," dia menjelaskan.

Lantas pada tahun berapa manusia purba hidup dan menempati Gua Harimau? Dari 13 sampel kerangka yang diuji, tim arkeolog menyimpulkan manusia yang dikubur di Gua Harimau hidup 3.000-5.000 tahun silam. Menurut Truman, ras Australo Melanesia lebih dulu tinggal di sana. Kepergian Australo Melanesia berkaitan dengan kedatangan ras Mongoloid. Menyusul kedatangan leluhur orang Melayu, perlahan Australo Melanesia pindah ke arah timur. Namun ada masa ketika kedua ras itu hidup bersama dan bertetangga di daerah Gua Harimau.

Dari sampel benda-benda yang terkubur di tanah, Truman menyimpulkan kehidupan di Gua Harimau sudah dimulai 14 ribu tahun silam. Kedalaman kuburan rata-rata 1-1,5 meter. Di bawah kuburan itu masih ditemukan benda-benda prasejarah lain berupa rangka hewan dan bebatuan purbakala. "Penggalian kami sudah sampai empat meter. Dengan teknik penanggalan karbon, bisa disimpulkan usianya sampai 14 ribu tahun silam," ujar doktor prasejarah Institut de Paléontologie Humaine, Paris, Prancis, itu.

Angka itu, tutur Truman, melebihi penanggalan tertua yang ditemukan di situs-situs prasejarah di Sumatera. Obsesi Tru­man di Gua Harimau: menemukan jejak kehidupan 50-60 ribu tahun silam. Karena itu, dia memilih memfokuskan penelitian pada penggalian vertikal ketimbang horizontal. "Sebab, semakin dalam tanah, semakin tua pula usia temuan."

Pada 2013, tim arkeolog memulai penggalian vertikal di Gua Harimau. Sebidang tanah 1 x 3 meter digali hingga kedalaman 5 meter. Apa yang ditemukan tim dari galian tersebut menjelaskan banyak hal. "Penggalian menunjukkan ada siklus hidup yang ter­amat panjang di Gua Harimau," kata Mirza Ansyori, zooarchaeolog dan anggota tim penelitian Gua Harimau. "Bisa lebih tua dari masa Holosen (12 ribu tahun sebelum Masehi). Ini masuk masa Plestosen."

Yang menarik, di bawah kerangka manusia purba ternyata ada banyak tanda kehidupan lain. Di kedalaman 2-2,5 meter, Mirza menemukan tulang belulang aneka binatang. Ada tiga ruas kaki dan gigi badak serta serpihan tulang kerbau dan kijang. Juga tulang macan yang terserak. Mirza menyimpulkan hewan-hewan itu, khususnya badak, masuk ke gua bukan atas keinginan sendiri, melainkan oleh paksaan manusia. "Tidak biasanya badak tinggal di gua. Saya yakin ada peran manusia," ujarnya.

Begitu juga tulang kerbau dan kijang. Mirza meyakini ada jejak manusia pada tulang belulang itu. Tampak dari kondisi tulang yang ia temukan. Ada yang ditemukan dengan tanda-tanda bekas bakaran. Ada juga yang ditemukan dengan tanda-tanda cabikan. "Ada ciri khusus kalau daging di tulang diambil paksa," kata Mirza. "Saya menduga tanda-tanda itu membuktikan ada jejak kehidupan manusia."

Kendati hanya semeter lebih dalam dari keberadaan kerangka manusia purba, tulang belulang hewan yang ditemukan tim jauh lebih tua daripada usia kerangka manusia. "Dilihat dari lapisan tanah, usianya bisa lebih dari 4.000 tahun," Mirza menjelaskan.

1 1 1

Sepanjang Mei lalu, di bawah arahan Truman, tim arkeolog mengangkat sebagian kerangka dan menaruhnya di Museum Si Pahit Lidah, yang lokasinya sekitar lima kilometer dari Gua Harimau. Menurut ahli kerangka dari Universitas Indonesia, Dyah Prastiningtyas, setidaknya sudah 20 liang kubur dikosongkan dan isinya dibawa ke museum. Satu liang kubur dalam gua bisa berisi satu atau lebih kerangka manusia. "Ada yang berisi dua bahkan tiga," ujar Dyah.

Kondisi kerangka dalam liang juga bermacam-macam. Umumnya kerangka berada dalam posisi telentang dengan tangan di samping atau di dada. Namun ada juga empat kerangka yang dalam posisi meringkuk dengan lutut hampir mengenai wajah. Sebagian besar kerangka manusia dewasa. Namun tim juga menemukan rangka anak remaja usia 12-16 tahun, anak-anak berusia 6-10 tahun, bahkan bayi berumur beberapa bulan. Tim menemukan tiga bayi yang dikubur di sana. "Bahkan ada bayi yang kepalanya belum sepenuhnya terbentuk," kata Dyah.

Memindahkan seluruh rangka dari liang kubur ke laboratorium di museum bukan perkara mudah. Jika kondisi kerangka bagus, paling-paling tim membutuhkan waktu satu hari penuh untuk memindahkannya. Namun, jika kondisi kerangka rapuh, bisa butuh tiga-empat hari. Hal pertama yang mesti dilakukan tim sebelum mengekskavasi rangka adalah membuat katalog rangka. Setiap potongan yang ada mesti dicatat dan dibubuhkan angka. "Kami rekam datanya pakai kamera dan catatan tertulis."

Setelah selesai direkam, satu per satu setiap potong rangka dimasukkan ke plastik. Tim harus memastikan plastik tersebut kering dan tak lembap. Jika lembap, kantong dibuka dan dikeringkan lebih dulu. "Harus diangin-anginkan. Kalau tidak, rangka akan rapuh," ujar Dyah.

Jika rangka terlalu rapuh, tim penggalian akan menggunakan cara lain. "Kami angkat setanah-tanahnya," katanya. Tim akan membuat gips untuk mengangkat tanah tempat rangka berada. Gips yang dicetak sesuai dengan bentuk tanah tempat rangka berada itu berperan sebagai wadah penyangga. Setiba di laboratorium, barulah rangka diangkat dari tanah satu per satu.

Dari gua, tim akan berjalan melewati sungai dan menyusuri kebun kopi menuju Museum Si Pahit Lidah. "Kalau jalan kaki, ya, sekitar 30 menit sampai 1 jam," ujar Dyah, yang ikut dalam penelitian Gua Harimau sejak 2012. Untuk mengangkat puluhan rangka, tim mesti bolak-balik puluhan kali dari gua ke museum dan sebaliknya.

Kini fosil dan benda arkeologis dari Gua Harimau telah tersimpan di Museum Si Pahit Lidah di Padang Bindu, Ogan Komering Ulu. Sedangkan di Gua Harimau ditempatkan replikanya. Saat ini di dalam Gua Harimau tersimpan replika kerangka manusia purba yang dikelilingi kawat berduri bergembok seluas lapangan bulu tangkis. Replika itu tersimpan dalam lubang sedalam 50 sentimeter-3 meter yang terdapat dalam empat lubang berbeda. Dua di antara empat lubang itu masih tertutup papan kayu karena penggalian belum tuntas. Di salah satu sudut pagar kawat itu terdapat beberapa kotak kayu yang akan digunakan sebagai wadah temuan di masa penggalian berikutnya.

Ya, Truman dan tim arkeologi memang akan terus memburu jejak peradaban manusia di gua itu. Lantas apa yang membuat Truman terobsesi pada Gua Harimau? Di Sumatera, kata dia, belum ditemukan bukti adanya kehidupan Homo sapiens (manusia modern). "Selama ini di Sumatera kosong." Bahwa manusia awal menduduki kepulauan Nusantara sejak 40 ribu tahun silam sudah umum diketahui. Namun Homo sapiens belum pernah ditemukan jejaknya di Sumatera hingga Gua Harimau ditemukan. "Situs ini sangat berharga untuk kepentingan sejarah nasional," ujarnya.

Temuan di Gua Harimau, menurut Tru­man, bisa menjelaskan jalur migrasi ras Mongoloid. Mongoloid pertama yang tiba di kepulauan Nusantara adalah penutur Austronesia. Merekalah leluhur bangsa Indonesia saat ini. Penutur Austronesia diperkirakan tiba di Nusantara 3.000-4.000 tahun silam. Jalur migrasinya berasal dari Taiwan. Salah satu budaya mereka adalah dimulainya bercocok tanam padi serta beternak babi, ayam, dan anjing. Budaya itu menandai era awal pertanian dengan domestikasi tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke lingkungan kehidupan sehari-hari.

Jejak awal penutur Austronesia ada di situs prasejarah di Kalumpang, Sulawesi Barat. Ada tanda-tanda kehidupan penutur Austronesia di sana pada 3.800 tahun silam. Dari Kalumpang, penutur Austronesia bermigrasi ke arah barat (Maluku dan Nusa Tenggara Timur) dan timur. Sekarang jejak awal penutur Austronesia yang lebih lengkap ditambah lagi: di Gua Harimau.

Ananda Badudu, Nurdin Kalim (Jakarta), Parliza Hendrawan (Ogan Komering Ulu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus