Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gerakan Merebut Jalur Pedestrian

Kecelakaan yang menewaskan pejalan kaki terus terjadi. Perlu perubahan pola pikir yang tidak memprioritaskan kendaraan bermotor.

8 Mei 2023 | 00.00 WIB

Pejalan kaki di Amsterdam, Belanda. TEMPO/Ijar Karim
Perbesar
Pejalan kaki di Amsterdam, Belanda. TEMPO/Ijar Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pejalan kaki terus menjadi kelompok paling rentan di jalan raya.

  • Di Amerika Serikat, gerakan menjadikan jalan raya sebagai ruang aman berlangsung sejak 1920-an.

  • Perlu perubahan pola pikir pemerintah untuk memprioritaskan pejalan kaki, bukan kendaraan bermotor.

Berjalan kaki di jalan raya di Jakarta laksana menggadaikan nyawa. Lihat saja perjuangan Faviola Thalia pada Kamis, 4 Mei lalu. Petang itu, perempuan berusia 20 tahun tersebut menyusuri jalur pedestrian di Jalan K.S. Tubun, Jakarta Barat. Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta itu hendak pulang ke rumahnya di Petamburan setelah naik bus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Trotoar seharusnya menjadi hak penuh pejalan kaki. Tapi, di Jakarta, tidak demikian. Faviola harus bolak-balik turun ke aspal karena pematang jalan dipenuhi pedagang dan parkiran sepeda motor serta mobil. Langkahnya juga beberapa kali terhenti demi mempersilakan mobil yang hendak keluar dari perkantoran dan pertokoan di sana. "Saya mengalah saja," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menjadi pejalan kaki di Jakarta memang harus sering-sering makan hati. Faviola juga pernah diklakson pengendara sepeda motor yang naik di trotoar dan minta diberi jalan. "Padahal jelas-jelas dia yang salah," kata Faviola.

Risiko kecelakaan selalu membayangi Faviola dan jutaan pejalan kaki lain. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri menyatakan terdapat 62.975 kasus kecelakaan lalu lintas di Indonesia sepanjang 2022. Frekuensi kecelakaan meningkat 1 persen setiap bulan.

Dari data tersebut, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pejalan kaki atau non-kendaraan bermotor sebanyak 1.746 kasus. Sebagian korban ditabrak sepeda motor, mobil, dan kendaran bermotor lainnya.

Pejalan kaki menjadi kelompok yang paling rentan di jalan raya. Pada 25 Februari lalu, misalnya, seorang pejalan kaki meninggal akibat dihantam mobil pikap di Jalan Solo-Sukoharjo, Jawa Tengah. 

Cerita serupa dialami pejalan kaki perempuan di Jalan K.H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Rabu, 19 April lalu. Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jakarta Pusat, Ajun Komisaris Sutiyono, mengatakan pria berusia 64 tahun yang mengemudikan Nissan Serena menabrak korban dari belakang. Setelah membuat korban terpental, mobil tersebut masih melaju sebelum menyambar lapak pedagang dan kendaraan lainnya. Korban meninggal setelah dibawa ke rumah sakit.

Pengguna trotoar di Paris, Perancis. TEMPO/Ijar Karim

Menjadikan Jalur Pedestrian sebagai Ruang Aman

Upaya pembuatan jalur pedestrian sebagai ruang aman bagi pejalan kaki bergulir sejak mobil mulai menggeser kuda sebagai alat transportasi pada 1920-an di Amerika Serikat. Saat itu, angka kecelakaan sangat tinggi. Sementara itu, belum ada kerangka hukum yang mengaturnya.

Di New York, muncul protes "Baby Carriage Blockade" yang dilakukan kelompok ibu. Mereka menganggap jalanan sebagai daerah berbahaya bagi orang tua dan kereta bayi. Gerakan tersebut berhasil mengubah sejumlah regulasi tentang keselamatan jalan.

Protes besar juga terjadi di Belanda pada 1973 karena banyaknya anak sekolah yang tewas tertabrak mobil saat mengayuh sepeda menuju atau dari sekolah. Gerakan Stop de Kindermoord atau Hentikan Pembunuhan Anak ini berhasil membuat pemerintah kembali memperhatikan hak pesepeda dan pejalan kaki di kota-kota di Belanda.

Suasana trotoar di Amsterdam, Belanda. TEMPO/Ijar Karim

Terkini, di Paris, pemerintah kota membuat rancangan tata ruang yang ramah pejalan kaki dan pesepeda. Dimulai sejak masa pandemi, Wali Kota Anne Hidalgo—bertugas sejak 2014—mengalihfungsikan jalan menjadi tempat kongko pejalan dan ruang pesepeda, sebagian besar bertahan hingga saat ini. Hal serupa berlaku di banyak kota di Inggris yang membuat Low Traffic Neighborhood.

Di Indonesia, tuntutan membuat ruang aman bagi pejalan kaki muncul pasca-tragedi Tugu Tani di Jakarta Pusat pada 22 Januari 2012. Saat itu, mobil minibus yang dikemudikan Afriyani Susanti menewaskan sembilan pejalan kaki.

Namun, selain menjadikan 22 Januari sebagai hari Pejalan Kaki Nasional, tidak ada hasil yang konkret. Menurut Abiyyi Yahya Hakim, koordinator kampanye media Koalisi Pejalan Kaki, kecelakaan maut di Tanah Abang pada bulan lalu menjadi bukti ekosistem jalan masih tak dapat menjamin keselamatan pejalan kaki.

Dari pengamatan Tempo pada 4 Mei 2023, lokasi insiden tersebut tidak memiliki trotoar yang aman. Banyak pedagang kaki lima menguasai sebagian badan trotoar dan membuat pejalan kaki harus turun jalan raya. Sementara itu, jalur sepeda tak memiliki pembatas. Koalisi Pejalan Kaki mendorong pemerintah memperbaiki fasilitas dan prasarana untuk menjadikan jalan raya sebagai ruang aman bagi semua penggunanya. 

Minimnya perhatian atas keselamatan pejalan juga dirasakan penyandang disabilitas. Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (Dilans) Indonesia, menilai hampir semua pemerintah daerah membiarkan jalur pedestrian dikuasai pedagang kaki lima dan parkir liar. “Di Bandung, misalnya, trotoar jadi food market, seperti Gedung Sate atau di belakang Bandung Indah Plaza,” ujarnya. 

Mereka memakai seluruh badan pematang jalan dan memaksa pejalan kaki, termasuk para penyandang disabilitas, memasuki lintasan kendaraan bermotor. “Ini jelas berbahaya dan meningkatkan risiko tertabrak,” kata Farhan.

Titik bahaya lainny adalah lokasi penyeberangan. Dia mengatakan hanya sedikit zebra cross yang menyediakan lampu penyeberangan. “Kalaupun ada, biasanya hanya 13 detik,” ujar dia. Padahal, Farhan melanjutkan, penyandang disabilitas butuh waktu yang lebih panjang.
 
Keberadaan lampu pengatur lalu lintas dibutuhkan untuk mempertegas hak pejalan kaki di zebra cross. Farhan mengatakan pengendara kendaraan bermotor kerap tidak mengindahkan penyeberang jalan. “Saya pernah hampir tertabrak,” ujarnya. Dilans mengajak komunitas dan organisasi lain bersama-sama menyerukan isu keselamatan pejalan kaki.

Kuncinya di Pemerintah

Purwanto Setiadi, sukarelawan di komunitas pesepeda Bike to Work, mengatakan gerakan akar rumput yang menyuarakan keselamatan jalan tidak akan berhasil jika tidak memangkas akar permasalahan. Satu di antaranya adalah pola pikir pemerintah yang masih berorientasi pada kendaraan bermotor. “Belum ada kemauan politik untuk memperbaiki itu,” kata Purwanto. 

Menurut dia, meski kendaraan bermotor menyumbang pajak, mudarat yang ditimbulkan juga besar. Dari biaya perbaikan jalan, kehilangan waktu akibat kemacetan, biaya kesehatan akibat polusi udara, hingga kerugian ekonomi dari emisi karbon.

Bagi beberapa komunitas, pemerintah, khususnya di Jakarta, dianggap masih belum serius untuk membangun dan memperbaiki sarana bagi pesepeda dan pedestrian. Bulan lalu, kebijakan pemda menuai kontroversi karena menutup lajur sepeda yang ada di persimpangan Pasar Santa. Setelah diprotes, pemerintah kemudian berjanji akan mengembalikan lajur sepeda kembali seperti semula.    

Selain pembenahan fasilitas, menurut Purwanto, hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah membentuk regulasi. Misalnya, membatasi kecepatan kendaraan di jalan kota. “Seperti rekomendasi di Deklarasi Stockholm,” kata dia.

Pada Februari 2020, sebanyak 80 menteri negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa bertemu di Stockholm, Swedia, untuk membahas keselamatan pengguna jalan. Ada kesimpulan untuk menjadikan 30 kilometer per jam sebagai kecepatan maksimal di semua jalan yang mempertemukan mobil, pesepeda, dan pejalan kaki.

Meski anjuran tersebut tidak lantas menjadi poin kesepakatan, menurut Purwanto, hal itu merupakan langkah yang baik untuk diterapkan. Di Jakarta, misalnya, kecepatan rata-rata kendaraan bermotor bisa mencapai 60 kilometer per jam. Dua kali lipat dari batas maksimum yang direkomendasikan. Itu sebabnya, setiap terjadi benturan bisa berakibat fatal. Mereduksi batas kecepatan, dia melanjutkan, juga berarti mengurangi orang yang mati di jalan.
 
ILONA ESTERINA PIRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus