Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tersandera Kontrak Culas

Pemerintah Jakarta siap mengakhiri kontrak dengan PT Palyja. Terancam rugi triliunan rupiah.

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSIDANGAN di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa awal Juni lalu, berlangsung singkat. Baru beberapa menit sidang dibuka, ketua majelis hakim Iim Nurohim sudah mengetuk palu tanda sidang selesai.

Di pengadilan itu, Tim Advokasi Hak Atas Air tengah menggugat perjanjian kerja sama pengelolaan perusahaan air Jakarta antara PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) serta PT Aetra Air Jakarta. Hari itu sidang diundurkan satu pekan lantaran saksi dari PAM Jaya berhalangan hadir.

"Penundaan seperti itu sering terjadi, menyebabkan kasus ini tak kunjung selesai," ujar Arif Maulana, salah satu penggugat. Tim Advokasi Hak Atas Air melayangkan gugatan ini sejak November 2012. Hampir dua tahun berlalu belum ada tanda kapan kasus tuntas.

Penggugat merupakan koalisi sejumlah lembaga kemasyarakatan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Komunitas Solidaritas Perempuan, dan Urban Poor Consortium. Mereka menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan membentuk Tim Advokasi Hak Atas Air, yang beranggotakan 12 pengacara.

Dasar gugatannya antara lain protes sejumlah elemen masyarakat atas buruknya layanan air di Ibu Kota pada 2012. Belasan tahun sejak pengelolaan air Ibu Kota diserahkan ke swasta pada 1998, hanya 62 persen wilayah Jakarta yang terjangkau layanan air PAM. Tingkat kebocoran air mencapai 44 persen dari kapasitas produksi 18 ribu meter kubik per detik.

"Layanan air Jakarta buruk lantaran kontrak kerja sama yang tak adil antara PAM Jaya dan Palyja serta Aetra," kata pengacara publik LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa.

Dia menuding buruknya kinerja itu berbanding terbalik dengan tuntutan operator yang menginginkan untung besar. Palyja dan Aetra mengelola air menggunakan prinsip full cost recovery. Artinya seluruh biaya produksi plus keuntungan harus ditanggung oleh harga jual air.

Yang menjadi masalah, internal rate of return (IRR) atau keuntungan wajar yang diminta kedua perusahaan itu sangat tinggi, mencapai 22 persen. Padahal, kalau mengacu pada Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 2011, IRR yang wajar semestinya hanya 14,68 persen.

Inilah penyebab tingginya tarif air Jakarta. Rata-rata tarif di Jakarta pada 2007 adalah Rp 7.800 per meter kubik. Bila perjanjian kerja sama tidak diubah, pada 2022 tarif air DKI seharusnya menjadi Rp 22.227 per meter kubik.

Kabar baiknya, pada 2007 Mahkamah Agung melarang pemerintah DKI Jakarta menaikkan tarif air. Tapi, celakanya, di sisi lain Palyja dan Aetra terus menaikkan nilai imbalan yang mereka tagih ke PAM Jaya. Akibatnya, short fall atau kekurangan bayar akibat nilai tarif yang lebih kecil dari imbalan yang harus ditanggung PAM Jaya membengkak. Hingga 2012, PAM Jaya tercatat menanggung biaya short fall sekitar Rp 400 miliar untuk Palyja dan Rp 330 miliar untuk Aetra.

Bila kontrak tidak diubah, di akhir kontrak pada 2022, PAM Jaya akan punya utang Rp 10,9 triliun kepada Palyja dan Rp 7,3 triliun kepada Aetra. "Itu jelas perampokan," ucap Alghiffari sengit.

Berkali-kali Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengubah isi kontrak. Kalau langkah itu gagal, pemerintah punya jurus pamungkas: membeli saham kedua perusahaan tersebut. "Ya, setengah injak kaki," ujar Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kala ditemui Tempo awal Juni lalu.

Belakangan, Aetra melunak. Perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Acuatico Pte Ltd (95 persen) dan PT Alberta Utilities (5 persen) itu akhirnya bersedia mengkaji ulang isi kontrak pada Juni 2012. Sejumlah hal penting disepakati, antara lain menurunkan IRR dari 22 persen menjadi 15,82 persen.

Perjanjian baru itu juga menyepakati utang short fall PAM Jaya kepada Aetra yang Rp 330 miliar akan dihapus secara bertahap hingga akhir 2016. Caranya dengan menaikkan kinerja dan produktivitas Aetra. "Pada 2017, short fall harus jadi Rp 0. Bila ternyata Aetra tidak bisa memenuhi target, itu jadi risiko Aetra," kata Direktur Utama PAM Jaya Sriwidayanto Kaderi.

Poin lain yang tak kalah penting: setelah akhir 2016, segala defisit yang terjadi di pihak kedua akan menjadi tanggung jawab Aetra sendiri. Artinya, sejak itu, "Tidak akan ada lagi potensi short fall," ujar Presiden Direktur Aetra Mohamad Selim saat ditemui Tempo di kantor Aetra, Gedung Menara Satu Sentra Kelapa Gading, Jakarta Utara, Juni lalu.

Masalahnya: Palyja bergeming. Perusahaan yang dikuasai Suez Environnement (51 persen saham) dan Astratel Nusantara (49 persen) itu berkukuh mempertahankan kontrak lama. Mereka juga tak mau menjual sahamnya ke PAM Jaya. Jika PAM Jaya berkeras, mereka mengancam akan mendenda perusahaan air minum daerah itu Rp 3,8 triliun. Perjanjian kerja sama memang mencantumkan perihal denda itu.

Yang membuat pemerintah DKI marah, Suez Environnement malah sempat hendak melego sahamnya ke Manila Water Co, perusahaan air asal Filipina. "Kami tak paham maksud Palyja itu apa?" ujar Ahok dengan nada tinggi.

Agar rencana penjualan itu dibatalkan, pemerintah DKI lalu menyorongkan PT Jakpro dan PT Pembangunan Jaya-dua badan usaha milik daerah-untuk membeli saham Palyja. "Yang akan beli bukan PAM Jaya, jadi tidak melanggar kontrak," kata Ahok.

Palyja tidak bersedia mengomentari hal ini. Surat permintaan wawancara yang diajukan Tempo tidak ditanggapi. "Pihak manajemen tidak berwenang memberi keterangan mengenai itu," ujar Kepala Divisi Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial Palyja, Meyritha Maryanie.

Pemerintah DKI optimistis Palyja setuju dengan skema itu. Ahok memperkirakan harga saham Palyja Rp 1,5 triliun, seperti yang ditawarkan ke Manila Water. "Tapi, karena mereka telah bagi-bagi dividen sekitar Rp 500 miliar, harga pembelian turun jadi sekitar Rp 1 triliun. Mereka sudah sepakat," ucapnya.

Hanya, sampai sekarang, rencana jual-beli saham Palyja ini belum bisa dieksekusi. Pemerintah DKI Jakarta tak mau bertransaksi sementara gugatan hukum atas kontrak kerja sama pengelolaan air Palyja dan Aetra masih berlangsung di pengadilan.

"Bila nekat, kami bisa dijerat pasal korupsi. Orang akan bilang ada peluang ambil Palyja dan Aetra lewat hukum dan tanpa biaya, kenapa dibeli?" kata Ahok.

Karena itu, ia berharap Tim Advokasi mencabut gugatan mereka di pengadilan. "Menunggu proses hukum selesai terlalu lama. Belum lagi tidak ada yang jamin gugatan bakal menang," ujar Ahok. Menurut dia, penyelesaian secara bisnis adalah langkah terbaik. Dengan cara itu, kata Ahok, Palyja bisa secepatnya diambil alih, kontrak dihapus, dan pelayanan publik ditingkatkan.

Masalahnya, Tim Advokasi masih yakin langkah hukum adalah solusi terbaik. Lagi pula, menurut Arif Maulana, gugatan mereka justru berangkat dari aspirasi publik. "Karena itu, untuk mencabutnya, kami mesti mendapat persetujuan publik," ucapnya.

Arif malah menyarankan pemerintah DKI merebut paksa pengelolaan Palyja dan Aetra sambil menunggu hasil sidang gugatan. "Kontrak kerja sama itu jelas timpang dan menyalahi aturan, mengapa diikuti?" katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus