Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor - Ratusan warga Perumahan Sentul City yang tergabung dalam Komite Warga Sentul City (KWSC) mengaku terancam pemutusan sambungan layanan air bersih dari pengelola dan pengembang PT Sentul City Tbk ke rumah-rumah mereka. Penyebabnya, mereka menunggak pembayaran air bersih serta biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (BPPL).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris KWSC, Deni Erliana, mengatakan saat warga membeli rumah di Sentul City pada 20 tahun lalu, pihak pengembang menjanjikan warga mendapat fasilitas jaringan air bersih siap minum, karena katanya pengembang memiliki pengelolaan air baku sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Nyatanya mereka hanya menjadi biong atau perantara, karena air bersih itu mereka beli dari PDAM dengan harga murah dan dijual ke warga dengan harga lebih mahal," ujar Deni, Selasa, 10 April 2018.
Selama ini, Sentul City membeli air dari PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor Rp 3.912 per meter kubik, lantas menjual ke warga Sentul City Rp 9.200 per meter kubik. Harga itu dianggap lebih mahal daripada tarif resmi yang ditetapkan PDAM untuk perumahan mewah, Rp 4.900.
Menurut Deni, banyak warga merasa tertekan dengan kebijakan pengelola yang menggabungkan tagihan rekening air dengan biaya pengelolaan lingkungan. Yang memjuat mereka tambah kesal, tarif iurannya ditentukan sendiri oleh pengelola tanpa melibatkan warga. Tarif iuran yang dibebankan kepada warga adalah Rp 2000 per meter dari luas tanah,
"Mereka tahu air itu kebutuhan dasar, sehingga jika ada warga tidak membayar dari salah satu tagihan itu, salah satunya Sentul mengancam memutus sambungan air, seperti yang terjadi saat ini," kata Deni.
Deni mengatakan, ancaman memutus air bersih oleh pengembang perumahan Sentul City dilakukan sejak lama. Atas beban dan tekan itu, kata Deni, warga melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM dan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Karena air merupakan kebutuhan dasar warga, maka kami minta negara turun tangan. Karena air yang harusnya menjadi kebutuhan dasar, pengelolaanya ditangani swasta," kata Deni. “Kami menolak biaya tagihan air dan lingkungan karena ditetapkan pengelola tanpa musyawarah.”
Menurut Deni, masyarakat dan pemerintah jangan berpersepsi penghuni perumahan Sentul City terdiri dari orang kaya, tapi banyak juga warga kelas menengah. "Dari tampak depannya memang rumah di Sentul itu sangat besar dan mewah-mewah, tapi harus diketahui banyak juga warga biasa dan hanya sebagai mantan pejabat," ucap Deni.
Juru bicara PT Sentul City Tbk Alfian Mujani menyayangkan adanya siaran pers admin WALHI dan sekelompok orang yang mengatasnamakan KWSC mengenai adanya pemutusan fasilitas air oleh Sentul City.
"Kami menyesalakan adanya pernyataan sepihak yang mereka keluarkan terkait pemberhentian fasilitas air oleh Sentul City, karena tidak membayar BPPL atau penggunaan air bersih," kata Alfian.
Menurut Alfian, sesuai dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1992 jo Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dijelaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dilaksanakan untuk memenuhi hak penghuni agar mendapatkan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan aman.
"Semua konsumen memutuskan untuk membeli rumah di Sentul City, konsumen mengatur adanya biaya-biaya yang menjadi komponen dari BPPL dan fasilitas air," ujar Alfian. PT Sentul City, Alfian mengklaim sudah mengantongi Izin Penyelenggaraan SPAM untuk memenuhi kebutuhan penghuni di kawasan Sentul City yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan sesuai dengan Peratutan Menteri PUPR nomor 25 tahun 2016.
"Intinya adalah pihak, Sentul memiliki izin untuk pelaksanaan penyelenggaraan air minum untuk memenuhi kebutuhan sendiri oleh badan usaha, karena PDAM tidak dapat memenuhi kebutuhan air untuk warga Sentul City," kata Alfian.