Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trubus, Yuski Hakim, dan Martin Sagara bahkan menjadi kader partai itu. Sanggar Pelukis Rakyat pun mulai identik dengan Lekra. Pembicaraan di sanggar sehari-hari mulai berat ke arah politik. Beberapa anggota memilih keluar, antara lain Edhi Sunarso, Rustamadji, C.J. Ali, Abas Alibasyah, dan Bagong. Bagong pindah ke Sanggar Pelukis Indonesia karena tak setuju dengan Lekra. “Setelah Pak Bagong pindah ke Pelukis Indonesia, lukisannya lebih banyak bertema gerak tari. Jarang yang berupa tema-tema khusus,” kata Djoko Pekik, pelukis Sanggar Bumi Tarung, sanggar yang terinspirasi konsep berkesenian Lekra.
Bagong pernah menggarap tari berjudul Ganjang Nekolim. Karya tari ini dipuji sebagai kreasi yang sesuai dengan garis Lekra dan mengejawantahkan keinginan Dipa Nusantara Aidit, petinggi PKI. Karya itu menggambarkan seseorang yang kedua tangannya terbelenggu tapi akhirnya mampu memutus belenggu tersebut. Para aktivis kiri menyebut tari itu terinspirasi kisah rakyat yang tertindas. Padahal karya tersebut sesungguhnya diciptakan Bagong setelah ia mengunjungi festival Jacob’s Pillow di Amerika Serikat. Bagong juga menciptakan tari Layang-layang. Menurut Djoko Pekik, Hendra Gunawan sebelumnya menggarap tari Layang-layang ketika mendapat proyek seni dari Presiden Sukarno untuk Asian Games 1961.
Pada 1965, banyak teman seniman Bagong yang tidak tahu-menahu tentang politik, di antaranya pemain ketoprak dan pelukis, ditangkap. Kepada Djaduk Ferianto, anaknya, Bagong bercerita, pada 1968, tentara hendak menangkap Sudarsono, anak dari kawan Bagong yang sama-sama belajar di Krido Bekso. Bagong kemudian menyelamatkan Sudarsono, yang hampir diangkut ke truk, dengan cara menyembunyikannya di antara pohon pisang. Situasi selepas peristiwa 30 September 1965 juga membuat warga Patuk, Gunungkidul, yang dianggap sebagai simpatisan Lekra ditangkap tanpa proses hukum. Menurut versi keluarga Bagong, Ketoprak Sapta Mandala yang dipimpin adik Bagong, Handung Kussudyarsana, digunakan untuk menyelamatkan sebagian warga Patuk.
Bagong lalu mendirikan Sanggar Banjar Barong pada 1971 sebagai wadah bagi para seniman yang sulit berkarya karena peristiwa 1965. Sejumlah pelukis Lekra yang tak bisa berkarya, di antaranya Djoni Trisno, diajak Bagong melukis di Banjar Barong. Djoni saat itu tidak berani ke luar rumah. “Lewat Pak Sentot, asisten bapakku yang bertetangga dengan Djoni, bapak berpesan agar Djoni ke luar rumah dan bergabung dengan Sanggar Barong,” kata Djaduk.
Penangkapan terhadap orang yang dituduh sebagai simpatisan Lekra juga hampir menimpa empu karawitan Jawa, Ki Tjokrowasito. Peristiwa itu terjadi pada 1968, sepekan sebelum Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja menggelar konser pertama menggunakan gamelan. Tjokrowasito menjadi penata musik Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja sejak sebelum pecah peristiwa 1965. Maestro karawitan ini pernah menggarap musik tari Bagong berjudul Igel-igelan Pertama yang bercerita tentang ruwatan dan Igel-igelan Kedua yang berkisah tentang pencak silat. Bagong turun tangan menyelamatkan Tjokrowasito yang ditangkap tentara. ”Bapakku bilang, ’Saya yang tanggung jawab’,” ucap Djaduk. Tjokrowasito kemudian mengajar di Amerika Serikat dan pernah menjadi profesor di California Institute of the Arts, Amerika.
Hendra Gunawan pun ditangkap serta ditahan di penjara Kebonwaru, Bandung. Setelah dibebaskan, Hendra tinggal di Bali. Djaduk ingat, pada 1983, ia diajak Bagong mengunjungi Hendra di Bali. Hendra mengucapkan terima kasih karena pada zaman itu Bagong berani menyebut Hendra sebagai gurunya. “Pak Hendra bilang makasih ke bapakku karena mendukungnya hingga Hendra bisa melukis kembali,” ujar Djaduk.
Bahkan Hendra saat itu berpesan kepada Bagong agar jenazahnya dibuang ke laut supaya tubuhnya dimakan ikan ketika ia meninggal. Bagong kaget dan menanyakan alasannya. Hendra menjawab dengan mengatakan selama ini merasa berutang budi kepada ikan. Gaya Hendra melukis tubuh orang yang senantiasa meliuk-liuk torsonya sesungguhnya terinspirasi liukan ikan. ”Biar mayat saya menjadi makanan ikan,” tutur Hendra. Hendra meninggal di Bali pada 17 Juli 1983. Dalam perjalanan ke Bandung, jenazah Hendra sempat dibawa ke rumah Bagong di Singosaren, Yogyakarta. Djoko Pekik, yang mengantar jenazah Hendra, memampirkannya ke rumah Bagong.
Dalam pameran arsip di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja juga ada sebuah foto menarik: Bagong bersama Affandi terlihat menghadap Presiden Soeharto di sebuah ruangan. Entah apakah itu ada hubungannya dengan masalah penangkapan para seniman.
SHINTA MAHARANI, SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo