Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Song’i dan Tanggung Jawab Ais

BRAK. BRAK. Tiga kardus seukuran lemari es dua pintu itu tiba-tiba terjatuh. Dari dalamnya, terlihat masing-masing seorang aktor berupaya membebaskan diri dari plastik yang membungkus tubuhnya. Penonton sebelumnya tak tahu bahwa kardus di depan panggung prosenium Graha Bhakti Budaya itu berisi manusia. Mereka mengiranya hanya bagian properti biasa.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Komunitas Poleleo di Taman Ismail Marzuki. -Gigih Ibnur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIGA aktor itu kemudian menyikut dan menendang plastik sekuat tenaga layaknya seorang bayi yang berupaya keluar dari rahim ibunya. Ketiganya kemudian menggambarkan proses perkembangan seorang anak, dari merangkak, berdiri, hingga berjalan.

Karya berjudul Song’i itu dibawakan Komunitas Polelea asal Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, untuk Pekan Teater Nasional di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perjuangan Komunitas Pololea untuk sampai ke Jakarta mengharukan. Sanak saudara mereka ada yang hilang dan tewas karena gempa dan tsunami pada Jumat, 28 September lalu. ”Saat tsunami terjadi, istri dan anak saya ada di pinggir laut dalam Festival Palu Nomoni,” kata Ais Mangala, sutradara Komunitas Pololea.

Pada 1 Oktober, Ais baru menemukan istri dan anaknya. ”Istri saya terseret tsunami. Untung ia tersangkut pemecah ombak. Sementara itu, anak saya berpegang pada sebuah mobil Avanza di jalan,” ujarnya. Ais mendengar kabar bahwa kondisi Perumahan Nasional Balaroa di Palu mengenaskan. Rumah-rumah ambles. Padahal di sana kakak perempuannya tinggal. Setelah menyelamatkan istrinya, Ais berusaha ke Balaroa, tapi kakaknya tak tertolong.

Kamis, 4 Oktober, lima hari seusai gempa, sinyal jaringan telekomunikasi mulai bisa beroperasi di Sigi dan Palu. Di tengah suasana tak menentu, Ais membaca semua pesan WhatsApp yang beberapa hari sebelumnya masuk ke telepon selulernya. ”Saya baca ada kabar dari Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta bahwa dana produksi dari Direktorat Seni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk teater Polelea sudah ditransfer. Saya langsung merasa terbebani secara moral. Saya merasa tidak enak apabila tidak datang ke Jakarta,” ucap Ais. Ia lalu mencari serta mengumpulkan sepuluh anggota kelompok teaternya yang tercerai-berai dan tak diketahui nasibnya.

Menurut Ais, pada 4 Oktober itu bensin masih langka, sementara rumah anggota kelompoknya berjauhan. ”Diar Filateli, penata artistik saya, yang punya cukup bensin akhirnya dengan sepeda motor bisa mendatangi mereka satu per satu.” Pada 5 Oktober, akhirnya mereka berkumpul kecuali Niraarbaina, aktor utama perempuan Polelea yang keluarganya mengalami trauma. Semua juga mengalami kedukaan. Pemusik Hendra Datupalinge kehilangan tiga saudaranya. Ade Rotan, aktor yang tinggal di Langaleso, tampak lelah karena mengevakuasi puluhan mayat. ”Kampung Langaleso, tempat Ade tinggal, tertimpa oleh kampung lain bernama Kampung Jonaage yang hanyut dibawa lumpur,” kata Ais.

Kepada anggota kelompok teaternya, Ais bertanya apakah mereka masih sanggup pergi ke Jakarta untuk tampil di Taman Ismail Marzuki. ”Hendra bilang dia kuat. Annas Valiri, aktor yang istrinya baru melahirkan sehari sebelum gempa, juga menyatakan siap,” ujar Ais. Pada 5 Oktober, Ais mengirimkan kabar kepada Dewan Kesenian Jakarta bahwa Komunitas Polelea minta diuruskan tiket. Dewan Kesenian Jakarta sigap. Di Palu, baru tanggal 8 Oktober pesawat komersial bisa beroperasi. ”Tanpa latihan lagi, mantra yang seharusnya dinyanyikan Niraarbaina saya berikan kepada Hendra,” kata Ais.

Song’i mengangkat cerita tentang tradisi suku Kaili di Sulawesi Tengah. Song’i merupakan bilik kecil yang digunakan dalam ritual nokeso. Bilik itu dipakai untuk anak merenungi nasihat-nasihat tetua Kaili. ”Saya juga menggunakan unsur-unsur mompaota dan mosabiraka nganaritoya—ritual-ritual tentang kelahiran bayi,” ujar Ais. Menurut dia, Palu memiliki banyak khazanah ritual adat, tapi menjadi prob-lem bagi masyarakat yang fanatik.

”Hari pertama saya mencari jenazah kakak saya di Balaroa, saya mendengar banyak masyarakat menyumpah-serapahi Festival Palu Nomoni. Mereka menganggap festival ini menjadi penyebab tsunami. Saya diam saja saat itu,” kata Ais. Festival Palu Nomoni adalah festival yang menampilkan banyak ritual dari ritual tolak bala Palu. Festival ini baru berlangsung tiga tahun.

”Waktu berlangsung pada 2016, ada hujan badai. Pada 2017 juga ada hujan petir. Dan tiba-tiba buaya-buaya di Sungai Palu muncul. Dua warga tewas dimakan buaya. Nelayan katanya juga melihat ada ikan besar aneh di Teluk Palu,” ujar Ais. Sebagian masyarakat melihat itu semua pertanda buruk Festival Palu Nomoni.

”Sebelum kami berangkat, dua suling dan gendang pemusik saya dirusak oleh orang tua mereka sendiri karena dianggap alat ritual penyebab tsunami,” tutur Ais. Dia mengatakan akan meluruskan hal ini setelah pulang. ”Yang saya ambil untuk pementasan saya hanya spirit ritual. Pementasan kami pementasan kontemporer,” kata Ais.

SENO JOKO SUYONO, PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus