Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh penari perempuan berusia 60-an tahun sedang berlatih menari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Para penari yang sebagian berjarit itu sedang berlatih tari berjudul Bedhayan Sepuh Macak Kere karya koreografer Bimo Wiwohatmo. Bimo mengadaptasi tari bedaya dalam karya tersebut. “Lewat tari itu, saya menangkap fenomena sosial pada zaman sekarang,” katanya, 2 Oktober lalu.
Bimo mencontohkan, orang-orang justru sibuk menggunakan telepon seluler ketika bertatap muka untuk mengobrol. Ada juga fenomena orang-orang yang berlagak miskin, misalnya beramai-ramai meminta keringanan biaya sekolah anak. Sikap pura-pura kere atau miskin juga ditunjukkan koruptor yang lihai menyimpan uang hasil kejahatannya.
Bimo dan tujuh penari perempuan itu akan berpentas dalam acara temu akbar alumnus cantrik-mentrik pada 18-20 Oktober ini. Acara ini merupakan bagian dari perayaan ulang tahun ke-90 maestro seniman Bagong Kussudiardja, 60 tahun berdirinya Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, dan 40 tahun usia Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
Murid-murid Bagong yang tersebar di banyak daerah akan menampilkan tari kreasi masing-masing dalam acara reuni itu. Seniman Djaduk Ferianto, yang juga anak Bagong, bertugas mengurasi pertunjukan tari para murid Bagong. Djaduk memperkirakan terdapat seribu lebih murid Bagong yang tersebar di banyak daerah di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Murid perempuan yang diajar Bagong disebut mentrik, sementara murid laki-laki dinamai cantrik. Cantrik-mentrik Bagong akan menampilkan karya-karya mereka selama tiga hari. Setiap malam akan ada enam penampil tari anak-anak hingga dewasa. “Saya mengurasi karya ciptaan mereka dengan warna lokal daerah masing-masing,” ujar Djaduk.
Gagasan menari yang bersumber dari kekhasan lokal tiap daerah ini dipengaruhi pesan Bagong kepada semua muridnya agar tak menari persis seperti dirinya. “Bapak saya bilang, jangan meniru Bagong. Jadilah diri sendiri atau Bagong-Bagong besar, bukan Bagong-Bagong kecil,” ucapnya.
Dalam proses belajar kepada Bagong, beberapa murid justru memilih jalan di luar kesenian. Menurut Djaduk, sejumlah murid Bagong memilih menjadi politikus dan pejabat di daerah masing-masing. Tak semua murid Bagong berhasil menjadi penari.
Murid Bagong yang akan berpentas, kata Djaduk, antara lain Iwan Irawan Permadi, Basri Baharuddin Sila, Endang Tonny, Bimo Wiwohatmo, dan Maria Magdalena Ngatini.
Iwan Irawan murid Bagong asal Pekanbaru yang membuat Festival Pasar Tari Kontemporer yang berbasis pada ranah Melayu. Melalui Pusat Latihan Tari Laksemana, Iwan akan menampilkan tari koreografinya pada hari pertama pertemuan alumnus cantrik-mentrik Bagong.
Murid Bagong lain, Basri Baharuddin Sila, dari Makassar, akan tampil pada malam kedua bersama Sanggar Seni Batara Gowa. Basri Sila pernah bekerja bersama komposer musik tradisional Jawa, Rahayu Supanggah, untuk mementaskan I La Galigo dalam bentuk musik. I La Galigo adalah kisah epik masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Tari karya Endang Tonny dari Kudus, Jawa Tengah, melalui Sanggar Seni Puring Sari akan dipentaskan pada malam pertama. Adapun Maria Magdalena Ngatini dari Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Bantul, dan Bimo Wiwohatmo dari Bimo Dance Theatre bakal menampilkan karya mereka pada malam terakhir.
Bimo berguru kepada Bagong selama 13 tahun. Dia belajar bagaimana penari harus mampu mengeksplorasi tubuh serta memiliki kebebasan dan kesadaran akan ruang. Dia mencontohkan bagaimana penari mesti mengenal lingkungannya dengan baik dan bisa memerankan tokoh dengan sangat hidup. “Misalnya penari harus mampu merasakan tanah, kerikil, sebagai bagian dari kreativitas,” ujarnya.
Pemahaman Bagong terhadap peran, Bimo mencontohkan, terlihat ketika ia menjadi penari kera di Keraton Yogyakarta. Sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk mempelajari seni tari, Bagong dikenal sebagai penari kera yang mumpuni. Interpretasi Bagong terhadap gerakan-gerakan kera berasal dari hasil pengamatannya pada gerakan primata tersebut.
Bagong, Bimo menambahkan, juga selalu mengajarkan hal-hal baru dalam tari. Karakter kuat Bagong yang menancap di kepala Bimo adalah gerak, rasa, dan ruang yang kerap muncul spontan. Dasarnya adalah kegelisahan karena tidak terima dengan segala sesuatu yang statis. Dalam menciptakan tari, Bagong kritis terhadap lingkungan sosialnya. Bimo menjelaskan metode pengajaran yang Bagong bawa ke Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja. Metode itu berasal dari pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara. Bagong mengajari muridnya secara kekeluargaan, yakni antara guru dan murid tidak berjarak. Metodenya sederhana. Misalnya semua penari harus menghafal gerakan-gerakan tari dalam beberapa pertemuan. Bimo ingat bagaimana ia harus menari dengan sangat ekspresif dari ujung rambut hingga jempol kakinya.
Pengajaran model Ki Hadjar Dewantara yang Bagong terapkan juga dirasakan Maria Magdalena Ngatini. Bagong meminta murid-murid yang tergolong senior mengajari para murid baru agar mereka cepat bisa. “Murid-murid yang belum lancar menari diminta gigih belajar kepada yang bisa. Itu metode pengajaran Pak Bagong,” ucap Ngatini.
Bagong, Bimo menambahkan, juga selalu mengajarkan hal-hal baru dalam tari. Karakter kuat Bagong yang menancap di kepala Bimo adalah gerak, rasa, dan ruang yang kerap muncul spontan. Dasarnya adalah kegelisahan karena tidak terima dengan segala sesuatu yang statis.
Buat Ngatini, tari Bagong yang fenomenal adalah Bedhaya Gendheng dan Sekar Jagad karena punya unsur Jawa yang sangat kuat. Ngatini pernah tampil dalam pementasan tari Bedhaya Gendheng di Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Ngatini memandang Bagong tidak pernah rapi dalam menempatkan penarinya di panggung untuk memanjakan mata penonton.”Pola lantai itu seperti ketika Pak Bagong melukis. Goresan cat pada kanvas yang tak beraturan itulah seninya,” ujarnya.
Penari-penari Bagong diberi kebebasan bereksplorasi, tapi tidak keluar dari garis atau konsep yang ia tentukan. Contohnya ketika penari melompat sambil berguling. Ngatini belajar menari kepada Bagong sejak berumur 17 tahun. Bagong sering menjadikan Ngatini model untuk memperagakan tari karyanya. Dia harus selalu siap kapan pun Bagong memintanya memperagakan tari ketika kreativitas Bagong muncul dalam proses penciptaan. Dia harus mampu menerjemahkan gerakan-gerakan Bagong selama latihan.
Bagong melatih Ngatini dengan sangat keras dan penuh kedisiplinan. Ngatini mengisahkan bagaimana Bagong memintanya berusaha keras membawakan tari Ponggawa dari Cirebon dengan penuh rasa. Ngatini, yang berperan sebagai laki-laki, harus membayangkan tubuhnya terasa berat dan menginjak bumi. Dalam wawancara dengan Tempo, Ngatini sedang sakit karena kakinya patah akibat terjatuh ketika ia memperagakan gerakan tangan saat menari.
Kemampuan mengolah rasa adalah ciri khas Bagong yang ditanamkan kepada semua muridnya. Penari harus mampu membawakan gerakan seperti obyek yang dibayangkan. Misalnya gerakan menari seperti rumput laut yang selalu bergerak di lautan. “Semua gerakan penari harus mengendap dan penuh rasa sehingga benar-benar hidup,” tutur Ngatini. Kini Ngatini masih setia mengajari anak-anak menari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo