Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CARA dan gaya pemerintahan Joko Widodo menangani bencana asap yang mengharu-biru negeri ini tak pelak mengesankan sebuah indolensi—alias kelembaman. Seraya di sekujur Sumatera dan Kalimantan penduduk sudah terbengap dalam bencana yang—menurut data Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA)—terburuk sepanjang sejarah Indonesia modern itu, Presiden Joko Widodo terkesan kalem-kalem belaka tanpa atensi.
Sekretaris Kabinet berusaha "menambal" kebelepotan itu dengan tetap menyatakan pemerintah serius menangani bencana. Sebagai bukti, Presiden akan kembali mengunjungi Sumatera untuk mengkoordinasi penanganan bencana. Dikatakan pula, dalam sebulan Presiden sudah mengunjungi tiga provinsi yang terpapar asap. Keterangan ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya diharapkan korban bencana.
Jika diuji melalui survei independen, bisa dipastikan penduduk di daerah bencana tidak mengharapkan kunjungan seremonial kepala negara sebagai penawar dukacita mereka. Masalah pokok mereka adalah bagaimana memadamkan api—sesuatu yang memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi, paling tidak, rakyat ingin melihat kesungguhan pemerintah menangani bala tahunan ini. Dan kesungguhan itu tidak seyogianya diperagakan lewat kunjungan seremonial.
Hingga dua pekan lalu, pantauan satelit Terra/Aqua menunjukkan 1.559 titik api di Andalas dan 257 titik api di Borneo. Di Jambi, indeks pencemaran udara mencapai lebih dari 600, dua kali lipat ambang batas berbahaya. Angka yang kurang-lebih sama terpantau di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Di Riau, alih-alih berbelanja mi instan dan minuman ringan, penduduk mulai berebutan membeli oksigen kalengan. Sungguh aneh bila kenyataan ini tidak membangkitkan komitmen pemerintah untuk turun tangan.
Asap yang membekap saudara kita di Sumatera dan Kalimantan bukanlah sembarang asap. Asap ini mengandung berbagai bahan kimia yang berpotensi merusak kesehatan, terutama saluran pernapasan dan paru-paru. Asap ini juga berbahaya untuk kulit dan mata. Khusus untuk anak-anak di kawasan bencana, sistem pernapasan mereka yang sedang berkembang dengan sendirinya membuat mereka lebih aktif bernapas—dan dengan demikian lebih banyak menghirup asap.
Menteri Dalam Negeri mengirim radiogram kepada perangkat pemerintah di daerah bencana, sampai ke tingkat desa, supaya mereka "menjemput bola" untuk mengatasi bencana. Sama sekali tak jelas ke mana mereka harus "menjemput bola". Sebab, para perangkat desa itulah yang kini sudah menjadi "bola". Bukan sembarang bola, melainkan "bola api" pula.
Presiden Joko Widodo tak perlu sungkan mengumumkan petaka ini sebagai bencana nasional. Korban sudah berjatuhan. Keputusan Jokowi menerima bantuan asing, sejak pekan lalu, merupakan pilihan tepat walaupun terlambat. Toh, tanpa resmi-resmian, lembaga swadaya masyarakat Singapura, Relief Singapore (RSG), sudah menerabas masuk ke Kalimantan Tengah dan membagi-bagikan 25 ribu masker N95.
Langkah berikutnya adalah menindak tanpa ampun perusahaan-perusahaan besar yang bertanggung jawab atas pembakaran lahan. Sebagai sarjana kehutanan, semestinya Jokowi paham tak semua lahan gambut bisa dikonversi menjadi perkebunan. Harus ada yang tetap dipertahankan sebagai lahan gambut untuk tujuan konservasi. Tanpa memahami dan mengambil tindakan tegas, sukar sekali bagi Jokowi menghindari kesan bahwa pemerintahannya layak menjadi contoh indolensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo