Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA tinggal di sebuah apartemen sederhana di lantai dua puluh lima gedung tua di Shubra Garden, Kairo, Mesir. Bukan kawasan elite. Tidak sebaik tempat tinggalnya dulu di Giza, sebelum semua usahanya diberangus oleh rezim Husni Mubarak. Lift gedung itu berdenyit dan berderak saat merambat ke lantai atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Nawal El Saadawi hidup sendiri di sini. Anak-anaknya sudah punya keluarga masing-masing. Ia berpisah dengan suami ketiganya, Sherif Hatatah, pada 2010, setelah 43 tahun hidup bersama. “Saya menceraikan ketiga suami saya agar bisa merdeka,” katanya kepada sebuah majalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia tinggal bersama ribuan buku dan encok yang melambatkan geraknya. Sebagian buku itu tersusun tidak rapi di rak yang menempel pada dinding yang sudah lama tidak dicat ulang. Buku dan kertas juga menyesaki ruang tamu, terserak di atas meja makan dan di kedua kamarnya. Tidak ada jendela yang dibuka sehingga ruangan terasa makin sempit dan gelap.
Saya mengunjunginya pada Februari 2011, di puncak Revolusi Tahrir yang berdarah-darah. Di luar sana, di Midan Tahrir (Medan Merdeka) yang berjarak 12 kilometer, ribuan pemuda berteriak menuntut Mubarak turun. Puluhan orang mati. Tapi pemilik unit apartemen di lantai 25 itu, Nawal El Saadawi, tak takut oleh teror tentara. Setiap hari selama sepuluh jam berada di sana, menyemangati anak-anak muda, dia tidak pernah merasa lelah.
“Saya seperti terlahir kembali. Revolusi seperti ini, melihat orang memperjuangkan pendapatnya, adalah mimpi masa saya sejak masa kecil. Ini adalah hari saya. Seperti berusia 20 tahun, saya tak capek sama sekali. Biasanya saya gampang lelah, tapi sekarang saya bisa sepuluh jam lebih di Tahrir. Berteriak, berdiskusi, saya tak pernah berhenti berbicara di sana. Lalu saya tidur empat-lima jam, bangun lagi di pagi hari dan menemui media massa,” tuturnya.
Saadawi adalah pejuang dan pemberontak sepanjang hidupnya. Karakter itu menurun dari ayah dan ibunya. Ibunya adalah pemberontak yang pasif, sesuatu yang kerap disayangkan Saadawi. Darah yang selalu bergolak itu dia dapatkan dari ayahnya, seorang pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang “diasingkan” pemerintah Raja Farouk (raja terakhir Mesir) karena terlibat dalam pemberontakan melawan penjajahan Inggris yang disokong Kerajaan Mesir.
Meski memiliki banyak catatan tentang perilaku patriarki sang ayah, Saadawi tetap mengagumi dia sebagai ayah dan suami ibunya yang baik. Ayah Saadawi, yang meninggal karena kesedihan mendalam empat bulan setelah istrinya wafat, memiliki cita-cita memerdekakan Mesir dari Inggris dan sistem kerajaan.
Seperti kebanyakan generasi muda Mesir pada 1950-an, Saadawi memilih sosialisme sebagai dasar perjuangannya untuk memerdekakan perempuan. Dia menganggap hanya sosialisme yang mampu membebaskan perempuan dari kungkungan sistem patriarki yang disokong kerja sama kapitalisme dan agama. Karena itu, dia mengkritik keras Presiden Anwar Sadat yang dengan kebijakan keran terbukanya membuat modal asing masuk dan menaikkan fundamentalisme agama.
“Di masa Sadat, pemerintah menggulirkan apa yang disebut ‘kebijakan pintu terbuka’ yang membuka Mesir kepada negara asing, terutama Amerika Serikat, impor barang dan investasi mereka. Hasilnya adalah meningkatnya kemiskinan, pengangguran, fundamentalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan. Islamisasi di Mesir berjalan beriringan dengan Amerikanisasi. Toko-toko menjual barang dari Amerika dan Arab Saudi. Sajadah dari Mekah dijual bersamaan dengan lipstik dan jins ketat. Televisi kami dibanjiri ulama yang mengkhotbahkan kesucian dan kesopanan, tapi dalam iklan perempuan-perempuan seksi muncul untuk menjual barang impor. Saya merasa mustahil diam. Saya mempublikasikan artikel di koran oposisi, dan tiba-tiba saja saya dipenjara dengan tuduhan mengkhianati Mesir,” tulis Saadawi dalam pengantar God Dies by the Nile.
Keyakinan itu muncul dari apa yang dia lihat sejak kecil. Tekanan terhadap perempuan selalu didasarkan pada dua alasan: perintah agama atau melindungi kelompok elite. Saat dia baru belajar membaca pada umur 5 tahun, kata pertama yang bisa ia tulis adalah namanya, kemudian nama ibunya. Ia menyandingkan namanya dengan Zainab, nama ibunya. Tapi sang ayah menghapus nama Zainab dan menulis namanya sendiri setelah nama Saadawi. Saat ditanya kenapa, ayahnya menjawab, “Karena Tuhan menginginkan demikian.”
“Itulah pertama kalinya saya mendengar nama Tuhan,” ujar Saadawi dalam bukunya, A Daughter of Isis. Ia merasa Tuhan telah berlaku tidak adil. “Dalam pikiran saya, Tuhan bertanggung jawab atas hal itu dan saya merasa itu tidak adil. Tapi Ayah bilang Tuhan Maha Adil. Saya tak mengerti, karena itu saya menulis surat kepada Tuhan. Itu surat pertama yang saya tulis dalam hidup. Surat itu dimulai dengan kalimat ini: ‘Tuhan, jika Engkau Maha Adil, kenapa Engkau memperlakukan ayah dan ibuku berbeda?’.”
Pengalamannya yang paling traumatis adalah saat seorang bidan datang dan menyunatnya di kamar mandi rumahnya. Saat ia bertanya kenapa, sekali lagi dikatakan, “Karena Tuhan menginginkan demikian.” Selama puluhan tahun Saadawi memendam pengalaman traumatis itu. Ia baru bisa menuliskannya secara detail saat berada di tebing pantai di India. Sayangnya, kertas tempat Saadawi menulis hilang tertiup angin dan ia memutuskan tidak menuliskannya lagi. Namun perjuangannya menentang sunat perempuan—juga laki-laki—tak pernah surut. Masalah ini menjadi salah satu agenda utama perjuangan feminismenya, selain soal poligami, undang-undang pernikahan, dan hukum waris.
Namun semua itu, menurut Saadawi, adalah simtom. Akar permasalahan represi terhadap perempuan ada pada agama sendiri. Bukan hanya Islam, bagi dia, semua agama represif. “Saya tak setuju dengan istilah feminisme Islam, Kristen, atau Yahudi. Menurut saya, perempuan ditekan oleh semua agama, kau bisa pelajari itu. Itulah sebabnya kita butuh sekularisme. Agama harus menjadi hal yang amat pribadi di dalam rumah dan jauh dari kehidupan publik. Tak ada feminisme Islam atau feminisme Kristen. Feminisme harus dipisahkan dari agama. Yang ada adalah feminisme sekuler,” ucapnya kepada saya.
Karena itu, bagi dia, tidak mungkin memerdekakan perempuan tanpa memerdekakan masyarakat dari agama. Saadawi menyuarakan hal ini secara lantang, tanpa tedeng aling-aling, meski dia tinggal di negara dengan keislaman kuat tempat institusi keagamaan sebesar Al-Azhar dan organisasi pergerakan Islam sekuat Al-Ikhwan Al-Muslimun. “Saya bukannya pemberani, dunia saja yang pengecut,” katanya saat ditanya kenapa begitu lantang bersuara.
Ia muncul mengisi kekosongan perjuangan perempuan setelah era Huda Sha’arawi dan teman-temannya pada 1940-an. Setelah era Sha’arawi, para feminis sibuk saling serang. Saadawi muncul sendiri dengan teriakannya yang kencang. Ia tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tapi hak asasi manusia secara keseluruhan. Karena itulah ia kemudian mendapat banyak tekanan, terutama di era Anwar Sadat.
Awalnya, sebagai dokter, Saadawi kerap menemukan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Saat mencoba membela pasiennya yang korban kekerasan rumah tangga, dia malah dimutasi. Dia berteriak lebih kencang lewat majalah kesehatan yang dipimpinnya. Dia justru dipecat. Dia lalu menyadari bahwa tak ada gunanya berteriak jika hanya menyasar orang per orang. Maka dia mulai mengkritik keras sistem pemerintahan Sadat. Saadawi lantas dipenjara selama tiga bulan pada 1981. Pengalamannya di penjara itu dituangkan dalam Memoirs from the Women’s Prison.
Ia dibebaskan saat Sadat terbunuh dan digantikan Husni Mubarak. Presiden baru itu dan istrinya, Suzanne, mencoba merangkul Saadawi. Tapi mereka seperti hendak merangkul seekor macan. “Ia memang mengeluarkan saya dari penjara, tapi ia memasukkan saya ke pengasingan secara intelektual,” tutur Saadawi. Dia justru menuntut pemerintah memberikan kompensasi atas penahanannya, dan menang. “Saya tidak akan melepaskan hak saya, sedikit pun.” Hal itu, menurut Saadawi, membuat Mubarak marah dan mengucilkannya dari pergaulan intelektual.
Di masa Sadat dan Mubarak, Saadawi dan suami ketiganya, Sherif Hatatah (seorang Marxis yang menurut Saadawi adalah satu-satunya feminis laki-laki di muka bumi), hampir tidak mendapat tempat untuk bernapas. “Sejak kami menikah, pemerintah tidak pernah memberi kami napas sehari pun. Setiap kali kami memulai sesuatu, membuat majalah, asosiasi, kelompok budaya, proyek penerbitan, setelah lima atau enam tahun, mereka akan menutupnya. Pemerintah menghancurkan semua yang kami bangun, meniup lilin yang kami coba nyalakan,” tulisnya dalam A Daughter of Isis.
Meski berkali-kali ditekan, Saadawi bergeming. Ia seperti burung phoenix yang diramalkan ibunya, “Lempar Nawal ke dalam api, dan dia akan keluar dengan selamat.”
QARIS TAJUDIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo