Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memblokir 227 perusahaan jasa keuangan berbasis digital atau financial technology (fintech). Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK, Tongam Lumban Tobing, mengatakan platform fintech yang diblokir tidak mengantongi izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tongam, tindakan tersebut merupakan lanjutan dari penyidikan yang dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi yang beranggotakan tim Kementerian Komunikasi dan Informatika, OJK, dan kepolisian. Selain tak berizin, kata dia, ratusan perusahaan fintech itu ditutup karena berpotensi merugikan dan tidak mempunyai skema perlindungan hak nasabah. "Satgas juga khawatir fintech itu dimanfaatkan untuk pencucian uang serta pendanaan teroris," kata dia di kantornya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rata-rata dari fintech yang diblokir bergerak dalam bisnis peer to peer lending atau penyaluran kredit. Perusahaan itu membuat aplikasi digital yang mempertemukan investor dan peminjam dana. Salah satu tawaran yang menggiurkan calon nasabah adalah tidak adanya ketentuan agunan atau jaminan, seperti yang dipersyaratkan bank. OJK mencatat, hingga Juni 2018, total transaksi pinjam-meminjam di platform fintech berizin mencapai Rp 6 triliun.
Tongam mengatakan sebagian besar platform ilegal berasal dari luar negeri, seperti Cina. Sebanyak 155 developer terlibat dalam pembuatan aplikasi yang diblokir. Aplikasi itu bisa diunduh di berbagai platform, seperti Google Play, App Store, hingga situs e-commerce. "Kami sudah meminta Google Indonesia memblokir aplikasi tersebut," ucap dia.
OJK sudah menerbitkan aturan main tentang penyelenggara pinjam-meminjam dana berbasis teknologi informasi. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi perusahaan fintech, seperti berbadan hukum, berkantor di Indonesia, dan mempunyai karyawan lokal. Dari ratusan perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia, baru 63 yang memiliki izin OJK.
Koordinator Bidang Hukum Fintech P2P Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Chandra Kusuma, mengatakan lambatnya pendaftaran dan proses perizinan tak lepas dari kemampuan masing-masing perusahaan. "Ini industri baru, banyak pemain baru. Mereka masih harus melakukan beragam penyesuaian," ujar dia.
Menurut Chandra, ada lima syarat dari OJK yang harus diperbaiki oleh perusahaan fintech, yakni pengawasan nasabah, pengelolaan data pribadi nasabah, sosialisasi bisnis fintech P2P lending, pembuatan prosedur pelaporan (pengaduan), serta skema kerja tim penagih (collector). "Aftech ikut mengawasi ini," kata dia.
Salah satu perusahaan fintech yang tengah melakukan perbaikan adalah RupiahPlus. OJK sempat menjatuhkan sanksi kepada perusahaan ini, berkaitan dengan dugaan intimidasi saat menagih ke nasabah. RupiahPlus diberi waktu tiga bulan untuk memperbaiki kesalahannya.
Direktur RupiahPlus, Yesy Rasella, mengatakan proses perbaikan sudah mencapai 50 persen. Dua hal utama yang menjadi perhatian OJK untuk diperbaiki ialah prosedur pengawasan dan penagihan. "Sebenarnya tidak ada unsur kesengajaan dalam tindakan yang dilakukan saat itu. Tapi prosedurnya kami sempurnakan," ucapnya saat berkunjung ke kantor Tempo, kemarin. ADITYA BUDIMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo