Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menghidupkan Ceramah Takdir Alisjahbana

Seseorang membawa alat rekam model kuno. Diletakkannya alat itu di lantai. Dan dari alat rekam tersebut muncul suara Sutan Takdir Alisjahbana. Suara itu bagian dari ceramah Takdir pada 10 April 1970 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, berjudul “Masyarakat Kebudayaan Dunia yang sedang Tumbuh dan Kedudukan Indonesia di Dalamnya”. Salah satu ceramah Takdir yang paling penting tentang modernitas.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Teater Ghanta di Graha Bhakti Budaya. -Eva Tobing
Perbesar
Teater Ghanta di Graha Bhakti Budaya. -Eva Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HANYA beberapa detik suara Takdir terdengar, alat rekam itu lalu dimasukkan ke kardus. Ceramah Takdir seolah-olah dibuang atau disingkirkan. Layar lalu menyorotkan visual kaset jadul yang berputar. Bersamaan dengan itu, empat aktor Teater Ghanta di panggung, yakni Faris As Jaka, Kartika C. Manurung, Diah Lestari, dan Ikke Dirga Santosa, menghadirkan kembali (re-enactment) pidato asli Takdir yang “dibungkam” tadi. Pentas semacam lecture performing.

Pertunjukan kelompok teater asal Jakarta itu lain daripada yang lain. Terasa intelektual. Pentas itu bertolak dari arsip audio yang disimpan di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada 2006-2010, DKJ mendigitalkan arsip rekaman pidato, ceramah, dan diskusi penting yang pernah berlangsung di Taman Ismail Marzuki dalam bentuk MP3. Yustiansyah Lesmana, sutradara Teater Ghanta, tertarik pada ceramah Takdir pada April 1970 itu. Menurut Yustiansyah—akrab dipanggil Tiyan—keseluruhan rekaman tak sempurna. Ada kalimat putus dan bising kresek-kresek elektronik. Ia memperhatikan beberapa hal dalam rekaman itu: ujaran (speech) Takdir, noise (gangguan) berupa suara orang batuk, suara langkah dalam diskusi, dan jeda ketika Takdir menarik napas. Pentas Ghanta ingin bermain-main di sejumlah frame tersebut.

Tidak seluruh pidato Takdir dihadirkan kembali. “Saya memilih rekaman pertama bagian side B, yang hanya berdurasi 47 menit,” ucap Yustiansyah. Menurut dia, di bagian itu Takdir menyampaikan pemikiran yang menggigit. “Serta ada tanya-jawab yang dinamis.” Bagi sebagian penonton, pertunjukan ini mungkin membosankan. Tapi cara aktor-aktor Ghanta mempresentasikan kembali pidato itu cukup menarik. Mereka tidak berdiri kaku di tempat membaca partitur, tapi hilir-mudik sembari mendorong meja yang berisi sejumlah mikrofon kecil. Panggung yang dibuat bertingkat di belakang memicu dinamika gerak. Dan, yang paling penting, artikulasi aktor mampu secara jernih mengulang kalimat-kalimat Takdir yang isinya sangat kontroversial.

Takdir berpendapat suatu kebudayaan juga merupakan hak orang lain. Kita tidak bisa mengklaim kebudayaan hanya dimiliki masyarakat yang melahirkan kebudayaan itu. Bagi Takdir, yang disebut ahli waris kebudayaan adalah siapa pun yang sungguh-sungguh mempelajari dan menguasai suatu kebudayaan tidak peduli orang mana pun. Takdir melihat kecintaan terhadap tradisi menghalangi kemajuan. Grafis yang ditampilkan Ghanta di layar cukup mengaktualisasikan persoalan. Diperlihatkan poster sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki pada 2016 bertajuk “Setelah Polemik Kebudayaan: Di Mana, ke Mana Indonesia?”. Tatkala para aktor menyampaikan kalimat Takdir mengenai penjajahan bukanlah sesuatu  yang jelek tapi justru memberi Indonesia keuntungan karena Indonesia menjadi ditarik ke pusat dunia, ditampilkan grafis sampul buku Richard Wright, sastrawan Amerika Serikat yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika.

Pembicaraan Takdir saat ceramah itu sampai ke masalah sastra dan teater absurd. Pada akhir 1960-an, banyak intelektual muda Indonesia terpikat oleh gagasan eksistensialisme. Takdir mengkritik eksistensialisme. Ia tak habis pikir mengapa suatu gelombang pemikiran yang berbau pesimisme mewabah di sini. Layar lalu menampilkan foto Samuel Beckett, tokoh dramawan absurd. Bagi Takdir, kebudayaan Barat menemui jalan buntu. Adapun di Indonesia orang tidak tahu mana yang buntu dan yang tidak. Takdir mengusulkan agar kaum intelektual membentuk suatu avant-garde baru. Saat menyampaikan pemikiran Takdir ini, secara menarik para aktor seperti mengeluarkan kor.

Para aktor juga menghadirkan suasana sesi diskusi. Salah seorang aktor yang berperan sebagai moderator seolah-olah memberikan kesempatan bertanya. Lalu ada aktor yang mengacungkan tangan. Kita tak tahu siapa yang pada 1970-an menyanggah pemikiran Takdir tersebut. Dari yang disampaikan aktor, kita hanya tahu orang itu mempertanyakan pemikiran Takdir yang terlalu kebarat-baratan. Tapi jawaban Takdir juga tajam. Takdir mengatakan kebudayaan kita tidak melahirkan agama, tidak melahirkan filsafat. Nasionalisme sudah out of date. Manusia abad ke-20 memiliki tugas yang lebih berat. Di layar lalu dipampangkan waktu yang terus bergerak per detik sampai menunjukkan angka 00.47.03.

Yustiansyah Lesmana ingin, saat ada momen kosong Takdir bernapas, para aktor mengekspresikan sikap tubuh terhadap teks ceramah. ”Ketika jeda, kami ingin menyampaikan posisi kami terhadap arsip tersebut.” Tapi itu yang kurang terlihat. Yustiansyah menyebutkan, pada saat jeda itu, para aktor akan menampilkan suatu momen somatic healing. Mungkin penamaan ini yang berlebihan. Tidak terlihat bahwa aktor itu mengalami “trauma” saat mengulang kalimat-kalimat Takdir. 

Pentas itu juga tak sampai menegasi tesis modernitas Takdir. Apalagi merobohkannya. Yang tertangkap sekadar upaya menghadirkan kembali polemik yang hilang. Tapi itu sudah cukup karena mereka mampu menyajikan sebuah ironi. Pikiran Takdir kini sudah banyak dilupakan. Tapi, di tengah kondisi masyarakat kini yang banyak terjangkiti nasionalisme sempit yang anti-globalisme dan fanatisme agama, masa depan kita terasa masih dihantui pikiran Takdir.

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus