Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anak Serdadu Dari Waitalibu

Wawancara tempo dengan gubernur timor timur, mario viegas carascalao, 45, mengenai pengaruh gangguan keamanan terhadap pembangunan di tim-tim, kebocoran dalam penggunaan anggaran, permainan komisi, dst. (nas)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA anak seorang serdadu buangan dari Portugal. Lahir di Desa Waitalibu, Venilale. Cita-citanya, di waktu kecil, sebagai petani. Tapi, ketika ia berusia 45 tahun, nasib menentukan lain. Ia terpilih menjadi orang Nomor I di Provinsi Timor Timur. Dialah Ir. Mario Viegas Carrascalao, putra kelima pasangan Manuel Viegas dan Marcelina Gutteres, yang dilantik sebagai Gubernur Timor Timur ketiga, 1982 lalu. Setahun setelah dilantik, tiap Jumat siang, dan itu berlangsung sampai sekarang, Carrascalao menyediakan waktu untuk bertatap muka dengan rakyatnya. "Macam-macam persoalan yang disampaikan kepada saya, mulai dari perlakuan buruk terhadap mereka sampai minta uang buat iuran sekolah anak sebesar seratus rupah," cerita Carrascalao. Tapi, dengan cara itu, katanya, ia bisa mengetahui langsung keinginan rakyatnya. Kini, acara Jumat siang itu, kata Carrascalao, tak lagi diikuti oleh banyak orang. Sebab, ia juga meminta para bupati untuk menerima keluhan rakyat. Tapi, "Bapak hari Jumat" ini, demikian julukan yang diberikan warganya pada Carrascalao, tetap pulang lambat ke rumah -- sekitar pukul 22.00. "Saya tak suka menumpuk pekerjaan," katanya. Bahkan makan siang, cerita Carrascalao, dilakukannya di kantor, sekalipun untuk pulang ke rumah tak sampai 10 menit. Makan siangnya adalah setangkup roti, kebiasaannya sejak di bangku kuliah Instituto Superior de Agronomia (sama dengan IPB di sini) di Lisabon, dulu. Karena itu, ukuran pakaiannya tak berubah dari dulu: ukuran buat pria tinggi 178 cm dengan berat badan 75 kg. Hari istirahat bagi Cartascalao adalah hari Minggu. Karena itu, ia tidak mau ada tamu menganggu. Pada masa pergolakan Timor Timur, Carrascalao termasuk tokoh utama UDT, yang, setelah Pertemuan Balibo, menyatakan tekad penyatuan dengan Republik Indonesia. Akhir 1975, keluarga Carrascalao hijrah ke Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai Departemen Luar Negeri. Tahun 1980, ia menjadi Konsul pada Perwakilan Indonesia di PBB, New York. Di sinilah Carrascalao mulai belajar bahasa Indonesia secara tekun, sehingga ia bisa berbicara dengan fasih sekali. Dan, Carrascalao akan berang jika tamu-tamunya, terutama orang Indonesia, mengajaknya berbahasa asing: baik Inggris maupun Portugis. "Di rumah, saya pun berbahasa Indonesia," katanya. Ia menikah dengan Maria Helena Stoffel Cidrack di Lisabon pada 1968, dan dikaruniai sepasang anak (Mario, 17, dan Sonya, 14). Di sela-sela kesibukannya, Juni lalu, Carrascalao meluangkan waktu menerima wartawan TEMPO Herry Komar dan Rizal Pahlevi untuk berwawancara sampai tiga kali -- dua kali di kantor dan sekali di rumah. Petikannya: Adakah pengaruh gangguan keamanan terhadap pembangunan di Timor Timur? Praktis tidak ada. Siap lebih besar justru bukan di kabupaten-kabupaten yang masih ada gangguan GPK. Tapi, di kabupaten yang boleh dikatakan 100% aman. Di Kabupaten Covalima, misalnya, yang sejak 1979 tak seorang anggota GPK pun berani masuk ke situ. Siap malah tinggi. Ini mungkin juga karena pemimpinnya sudah jenuh, sehingga mereka kehilangan kreativitas. Berapa besar sisa-sisa kekuatan GPK diperkirakan? Kecil sekali. Tak sampai 100 orang. Kerja mereka merampok harta dan makanan penduduk. Berapa besar kebocoran dalam penggunaan Anggaran Pembangunan? Menurut hasil pengamatan saya, 15%-20%. Sebab, komisi, yang dituntut setiap pimpinan proyek kepada pemborong, angkanya bervariasi. Di sektor mana kebocoran besar itu terjadi? Pada Anggaran Pembangunan Sektoral. Tapi, tangan saya tak sampai untuk melakukan penertiban sampai ke sana. Karena itu, saya undang para inspektur jenderal agar sering turun ke lapangan untuk melihat keadaan sebenarnya. Kewenangan yang ada pada saya cuma untuk mengawasi Anggaran Pembangunan Inpres. (Tahun ini, Anggaran Pembangunan Sektoral dan Anggaran Inpres untuk Timor Timur, masing-masing, sekitar Rp 25,5 milyar dan Rp 22,7 milyar -- Red.). Apa permainan komisi itu bisa disebut korupsi? Bagi saya, itu korupsi. Satu rupiah pun, kalau uang yang sudah direncanakan untuk suatu sasaran diambil secara tidak sah, itu korupsi. Perlu berapa tahun lagi untuk mengatasi masalah permainan komisi itu? Tergantung aparat dan sistem pengawasannya. Kalau kita bisa memperbaiki mutu aparat pengawasan, saya rasa bisa cepat ditanggulangi. Apakah untuk menjadi kepala daerah di Timor Timur masih perlu putra daerah? Saya tidak suka pakai istilah putra daerah. Di Timor Timur, sudah saya larang penggunaan istilah itu. Sebab, kita adalah warga negara Indonesia. Kalau kita bicara tentang kepala daerah, tidak perlu kita pikir apakah ia putra daerah atau bukan. Yang harus kita lihat, siapa yang bisa melayani masyarakat sebaik-baiknya. Mengenai jabatan gubernur Timor Timur, saya yakin, siapa saja bisa menduduki jabatan itu, tak peduli ia orang Minang, Batak, atau daerah lain. Yang penting, kemampuannya harus dicurahkan 100% untuk Timor Timur. Dan, ia jangan cuma menerima masukan dari lapisan tertentu saja, karena hanya negara maju yang demikian. Kita belum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus