Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gandrung Banyuwangi dan Irama Besi

Teater Garasi mementaskan teater musik yang terinspirasi tarian gandrung Banyuwangi. Dilatarbelakangi sejarah kelam bangsa ini.

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA rebana nyaring terdengar. Lima orang kompak menepuk-nepuk alat musik Melayu yang mereka pegang masing-masing itu dengan ketukan serupa. Pada saat bersamaan, tiga orang lain berulang kali memukul daun pintu di hadapan masing-masing. Tapi pukulan mereka tak beraturan.

Tak lama berselang, delapan peralatan berbahan besi turun dari atas panggung, antara lain cangkul, sekop, dan kapak. Delapan orang itu mendapat jatah masing-masing satu. Mereka kemudian memukulnya berulang kali dengan besi kecil yang sudah disiapkan. Pukulan mereka tak seragam, tapi menciptakan irama yang beraturan.

Bunyi besi beradu menjadi irama yang kerap ditonjolkan dalam pementasan teater musik berjudul Menara Ingatan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu pekan lalu. Pertunjukan kelompok Teater Garasi Yogyakarta itu adalah karya komposisi Yennu Ariendra. Besi dipilih sebagai kekuatan utama karena dianggap mewakili tema pertunjukan. "Mudah membicarakan kekerasan lewat besi," kata Yennu.

Ide pembuatan Menara Ingatan memang diawali dari kisah kekerasan yang dialami kakek Yennu. Dia menjadi korban tragedi 1965 lantaran diisukan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Kisah itu lantas mengingatkan Yennu pada kejadian serupa di tanah kelahirannya, Banyuwangi, Jawa Timur. Beberapa di antaranya penembakan misterius pada 1980-an serta pembantaian dukun santet dan isu ninja pada akhir 1990-an.

Kejadian-kejadian kelam itu membawa Yennu mendalami tari tradisional gandrung Banyuwangi. Ternyata sejarah gandrung juga berkaitan dengan kekerasan. Terciptanya gandrung Banyuwangi dilatarbelakangi perlawanan Kerajaan Blambangan terhadap Majapahit, Bali, dan Mataram serta Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Gandrung Banyuwangi ditampilkan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan seusai perang.

Tarian tersebut kemudian menginspirasi Yennu. Dia meminjam komposisi musik dan struktur pertunjukan gandrung untuk Menara Ingatan. Ada tiga babak dalam gandrung Banyuwangi, yakni jejer, paju, dan seblang subuh. Jejer pembuka, seblang subuh penutup. Semuanya diisi nyanyian dan tarian yang diiringi musik dari kempul atau gong, kluncing, biola, kendang, kethuk, dan kadang-kadang rebana.

Hampir satu jam Yennu menggambarkan kejadian-kejadian kelam itu di Menara Ingatan, yang dikemas dalam pakem gandrung Banyuwangi. Selama pementasan, mayoritas lagu yang dinyanyikan juga menggunakan bahasa suku Osing. Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi. Pada masa lalu, mereka adalah penentang kerajaan-kerajaan yang ingin menguasai Blambangan. Osing berarti "tidak".

Demi menyampaikan pesan kepada penonton, bahasa Osing diterjemahkan pemain di panggung. Tapi hanya sedikit yang disadur ke bahasa Indonesia. Salah satunya kalimat kebencian tumbuh di lorong-lorong. Sebagian besar lirik tidak dialihbahasakan. "Memang tidak semuanya punya arti. Terkadang cuma bunyi," kata sutradara sekaligus pemain Menara Ingatan, Gunawan Maryanto.

Dari sisi musik, Menara Ingatan tak persis menggunakan instrumen gandrung. Musiknya ditopang peralatan modern seperti drum dan keyboard, yang kemudian dikolaborasikan dengan elemen besi. Di luar itu, diselipkan musik dangdut sebagai metamorfosis gandrung di pesisir Jawa. Musik dangdut mengiringi empat orang yang berjoget dengan mengenakan topeng kepala anjing. Menurut Gunawan, penggunaan topeng itu dilatarbelakangi kisah Kerajaan Mataram yang pernah merendahkan orang Osing. "Raja Osing digambarkan berkepala anjing dan kakinya pincang," ujarnya. "Tapi Osing tetap melawan."

Menara Ingatan tak melulu menggambarkan kekerasan dan perjuangan pada masa lalu. Ada juga adegan yang menggambarkan perjuangan warga Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Di situ, pemain memakai kotak semen di kakinya sebagai simbol penolakan pabrik semen. "Kami juga mencoba menariknya dalam konteks kekinian," kata Gunawan.

Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus