Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gambar Biasa dan Gambar Tak Biasa

Bandung Drawing Festival masih belum banyak menyuguhkan karya yang dihasilkan dari penjelajahan teknik menggambar yang tak biasa.

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah perupa Bandung memamerkan karya-karya gambar dalam pameran Bandung Drawing Festival di NuArt Sculpture Park. Gambar sering ditengok kembali ketika seniman mengalami kejenuhan berkarya. Konon, pada gambar bisa ditemukan ¡±keaslian¡± gagasan atau suasana awal yang tak selalu disadari oleh pembuatnya. Tapi memamerkan gambar ketika pasar sedang lesu seperti sekarang tentu masuk akal. ¡©Pameran ini upaya untuk menghidupkan lingkungan di NuArtkawasan seluas 3 hektare di Sarijadi, Bandung Utarasebagai ruang publik yang lebih bermanfaat.

Festival gambar yang berlangsung sepanjang 20 April-5 Juli 2017 itu melibatkan khalayak yang mau belajar menggambar dan ingin tahu seluk-beluk gambar. Ada pameran, lokakarya menggambar langsung, teknik membuat gambar trimatra, dan lain-lain dari seniman ahli-gambar. Istilah ¡©drawing yang berasal dari Barat tetap dipertahankan. Kenapa ragu menerjemahkan kata itu sebagai gambar (hasil karyanya) atau seni menggambar (prosesnya)? Bahwa definisi atau praktiknya sebagai seni lebih luas dan kompleks, tentunya bisa saja.

Dalam pengantar pameran disebutkan dua kekhasan gambar, yakni kelugasan dan keluasan. Seberapa luas kata itu akan dimaknai, tantangan itu di luar batasan yang sudah ada. Yang kita lihat di pameran ini dan banyak pameran gambar yang lain, yang disebut "keluasan" biasanya sekadar diartikan "mirip lukisan" atau "mirip foto", yang selama ini justru dipertentangkan dengan gambar.

Sebagian besar gambar yang dipamerkan memang berasal dari para perupa Bandung. Kita melihat karya T. Sutanto, 76 tahun, karikaturis tersohor dan pelopor gambar paling senior yang sudah menghafal ragam simbol dan cara gambarnya (citra iluminasi, jambangan, bunga, matahari, bulan, perahu). Gambar Tisna Sanjaya, 59 tahun, adalah rangka atau konsep seninya. Ia memuja charcoal, digambarkan seperti arca menhir dan tumpeng serbuk arang, dijuluki "instalasi gambar" (Life Drawing and Performance, 2017). Itulah peralatan gambar spontan dan pendukung utama performans mencetak tubuh Tisna. Ada penggambar lama Bandung yang sudah menemukan tema, gaya, dan teknik menggores arang dengan lancar.

Dede Wahyudin, 42 tahun, menggambarkan suasana hiruk-pikuk orang ramai (Ngacapruk, 2017). Ngacapruk maksudnya hiburan atau melucu, tapi gambar Dede sebaliknya membuat dahi kita bekernyit. Deden Sambas, 52 tahun, menggambar dengan arang dicampur akrilik, menghasilkan bayangan sebuah wajah seperti lukisan ikon misterius (Face, 2015). Isa Perkasa menampilkan citra persekongkolan aparatur, menggunakan teknik gambar negatif. Caranya, Isa menggambari kanvas berbahan kain seragam polisi dengan pensil putih (Seragam yang Diingatkan, 2012). Oco Santoso, 54 tahun, menonjolkan bagian-bagian tertentu gambar manusia ideal dengan teknik arsir pensil (Catatan Perjalanan, 2017). Tafsirnya, gambar sebagai seni yang tak menampilkan pokok atau subyeknya secara "lengkap".

Dari Bandung, muncul perupa-perupa yang tertarik mengembangkan gambar dengan alat sederhana seperti pensil dan terutama bolpoin. Ada Rega Ayunda Putri, 29 tahun, Maharani Mancanegara (27), dan Michael Binuko (30). Rega membikin gambar berukuran besar (And Then There were None, 2015, 80 x 400 sentimeter), melukiskan suasana kota yang aneh dengan sosok-sosok tubuh yang terasa kosong, saling merangkul dan menindih. Maharani Mancanegara memanfaatkan papan kayu bekas, menggambar dan membentuk figur pemuda-pemudi dalam sejarah fiktif, "Lembaga Biasa Non-Keilmuan" fiktif. (LBNK Legunder, 2016). Michael Binuko menampilkan citra bersahaja, sebuah pohon meranggas dengan cecabang tanpa nuansa. Binuko menghitamkan citra tunggal gambarnya, menghilangkan kekhasan garis-garis arsir yang biasa tampil pada karya gambar (Meraga Jasad, 2016).

Triyadi Guntur Wiratmo, 43 tahun, menggambar potret. Ia dengan teliti menampilkan ekspresi mikro (orang, rambut, tekstur kulit, lipatan baju) sebagai gestur-gestur kecil yang mendukung ekspresi (Gestural Statement, 2017). Windi Apriani, 30 tahun, menggubah gambar sosok perempuan dengan suasana hening dan meditatif. Ia menggunakan bolpoin bernuansa ungu di atas kanvas sangat halus. Sosok perempuan berbayang dua berdiri di dekat gorden, memegang cermin kosong. Pekerjaan Windi sangat rapi, garis-garis arsirnya lurus dan terukur, seperti dikerjakan dengan mistar (Internal Dialogue IV, 2016). Muhamad Sabil Hibatulwafi, 23 tahun, menampilkan teknik menggambar yang berbeda. Gambar spontannya lahir dari goresan kuas sekali jadi. Kita tidak memperoleh rinci, tapi kesan suasana yang berbeda-beda pada ketiga gambarnya (Sesuatu di Antara Kerumunan Masyarakat, 2017).

Dari luar Bandung, ada beberapa perupa yang menampilkan percobaan menata gambar. Indarto Agung Sukmono, lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, membuat gambar berlapis. Seri gambarnya digoreskan di atas beberapa lembar akrilik, memberi kesan berperspektif. Ia menggambar bangunan reot, batu, dan semak-semak (Batu Rahtawu, 2017). Pupuk Daru Purnomo, 43 tahun, adalah penggambar spontan dan penangkap gambar suasana. Ia menampilkan sketsa jadi sosok pastor di dalam kemegahan bangunan gereja, lengkap dengan tiang dan jendela-jendela besar berhiasan rumit (Interior Gereja Duomo, 2013).

Kita juga melihat gambar sebagai unsur lain yang terasa fiktif. Gambar sebagai "bawah sadar" seni rupa, kira-kira begitu. Misalnya pada karya Aliansyah Chaniago, yang menegaskan bagian tertentu foto-foto arsip performansnya dengan blabar pena tebal ("Point of Return Project; Ciburuy, 2015). Ahdiyat Nurhartata, 27 tahun, mengaburkan batas gambar dan citra fotografis pada tiga lembar karyanya bercitra monumen (Welcome to Islamic Country, Welcome to Capitalist Country, Welcome to Indonesia, 2015). Ia menyebut karyanya sebagai media campuran tanpa penjelasan, pendeknya di situ ada yang bisa disebut sebagai proses menggambar.

Gambar-gambar itu boleh disebut gambar tak biasa, baik pokok yang digambar maupun caranya menggambar. Tapi dalam pameran ini tak kurang banyaknya gambar yang cara menggambarnya terkesan harfiah. Maksudnya, menggambar seutuh-utuhnya sebagai cara untuk lebih menjelaskan sesuatu, supaya tafsirnya tak keliru. Misalnya gambar wajah orang beragam suku karya Wahyudi Pratama, 40 tahun, pada Indigenous People (2015-2017).

Kecenderungan menggambar ilustratif dengan lengkap-sempurna juga tampak pada karya Very Aprianto (Multiself, 2012). Atau Andreas Camila yang menggunakan tinta Rotring (Like an Angel, 2015).

Ketiganya cocok disebut sebagai penggambar sempurna, gambar yang dibikin dengan "baik dan benar". Juga pada gambar realis (atau "lukisan" pensil?) Rosid, 48 tahun, yang melukiskan tokoh-tokoh kemerdekaan dengan bingkai pintu dan meja kayu antik. (Wajah-Wajah Tokoh Kemerdekaan, 2015). Di situ ada tokoh pelukis S. Sudjojono yang dulu dengan keras membela status lukisan terhadap gambar.

Adapun cara menafsir gambar yang tidak terlalu biasa di pameran ini misalnya karya gambar Mufti Priyanka, 30 tahun, yang menghasilkan gambar sebagai kolase total, yakni menempel, mengkopi, merusak, menggambar ulang, dan seterusnya (Lindungi Aku dari Segala Keinginan, 2017). Keasyikan serupa tampak kalau kita melihat ragam gambar yang ditempel-tempel hasil lokakarya. Gambar tak biasa tentu saja bisa dihasilkan oleh sembarang kemungkinan pula, seperti pernah ditunjukkan oleh beberapa seniman di masa kini. Misalnya menggambar dengan angin, percobaan berbagai posisi tubuh penggambar, bersekutu dengan unsur-unsur alam, dan menggambar dengan komputer. Penjelajahan tak biasa seperti itu yang belum tampak dipikirkan oleh para penggambar tak biasa ataupun yang biasa-biasa saja dalam pameran ini.

Hendro Wiyanto, penulis seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus