Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Ahli Waris Darah Banteng

Sejumlah partai nasionalis mengusung ideologi marhaenisme. Tapi sebagian besar dinilai tak siap mengikuti pemilu.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekalahan melanda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pemilihan Umum 2004. Dan partai berlogo moncong putih itu segera menanggung imbasnya: tak sampai setahun setelah kekalahan, tubuh partai retak-retak. Sejumlah kader yang selama ini berada di lingkar dekat Megawati keluar. Mereka membentuk gerakan pembaruan, dengan Laksamana Sukardi dan Roy B.B. Janis sebagai lokomotif gerakan. Langkah itu mereka sebut sebagai koreksi kekalahan partai.

Selain Laks dan Roy, terdapat nama Sukowaluyo Mintorahardjo dan Sophan Sophiaan—keduanya sudah almarhum—serta Arifin Panigoro, Noviantika Nasution, dan Didi Supriadi di kubu pembaruan. Jelas mereka bukan kelompok sembarangan. Sukowaluyo dan Sophan, misalnya, dikenal sebagai tokoh kawakan PDI Perjuangan. Keduanya ikut ”naik-turun” bersama Mega melahirkan PDI Perjuangan.

Tuntutan kelompok ini terbilang radikal. Mereka meminta pembaruan manajemen partai dengan menghapus hak prerogatif dan formatur tunggal dalam penyusunan pengurus. Belakangan, gerakan ini bahkan mengusulkan kepemimpinan presidium.

”Kelompok pro-Megawati” tentu saja menentang keras tuntutan tersebut. Jika dikabulkan, itu sama artinya dengan mempreteli kewenangan Ibu, demikian Megawati dipanggil oleh orang-orang dekatnya. Perlawanan terjadi. Pada kongres di Bali, 26 Maret 2005, kelompok Laksamana—yang sebelumnya banyak menempati posisi penting di kepengurusan partai—terpelanting.

Tapi mereka tidak menyerah dan terus menggalang kekuatan. Mereka juga menggugat keabsahan kongres Bali di meja hijau. Megawati pun naik pitam. Mereka yang tergabung dalam gerakan pembaruan dipecat dari keanggotaan PDI Perjuangan. Pada 1 Desember 2005, Laksamana dan kawan-kawan mengibarkan bendera baru: Partai Demokrasi Pembaruan. Kepemimpinannya memakai sistem presidium dengan Laksamana sebagai koordinator.

Pecahan PDI Perjuangan yang lebih dulu lahir adalah Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia. Dideklarasikan pada 27 Juli 2002, pendirinya adalah Erros Djarot. Dia tersingkir dari bursa calon Ketua Umum PDI Perjuangan dalam kongres di Semarang pada 2000. Menurut Erros, ia hengkang karena partai tersebut sudah melupakan rakyat kecil yang mengantarkan PDI Perjuangan menang Pemilu 1999.

Partai-partai baru lain ”keturunan banteng” adalah Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaesnisme), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), dan Partai Pelopor. Umumnya, mereka mengusung nasionalisme dan marhaenisme—ajaran Bung Karno—sebagai dasar ideologi.

Banyaknya partai baru agaknya tak selaras dengan kesiapan mereka mengikuti pemilu. Setidaknya itu hasil survei Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia yang dipaparkan pada Selasa dua pekan lalu di Hotel Milenium Jakarta. Menurut Forum, dari enam partai baru berdarah Banteng, hanya Partai Demokrasi Pembaruan yang cukup siap mengikuti pemilu kali ini.

Forum menggunakan empat elemen mengukur kesiapan partai, yakni jaringan organisasi partai politik di semua provinsi, kabupaten, dan kota; kemampuan menyediakan calon anggota legislatif melebihi jumlah kursi yang diperebutkan (560 kursi); sejauh mana partai punya program menyeluruh, program khusus, dan strategi menyeluruh; serta kesediaan membela kelompok marginal.

Partai Peduli Rakyat Nasional

Nomor Urut: 4

Berdiri: 20 Januari 2006

Pendiri: Darianus Lungguk Sitorus

Ketua: Amelia Achmad Yani

Proyeksi Suara:

  • Lembaga Survei Nasional: 0,2 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI: 0,3 persen

    Partai Penegak Demokrasi Indonesia

    Nomor Urut: 19

    Berdiri: 10 Januari 2003, kelanjutan Partai Demokrasi Indonesia 1973

    Pendiri: Budi Hardjono

    Ketua: Endung Sutrisno

    Proyeksi Suara:

  • Lembaga Survei Nasional: 0,1 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI:0,1 persen

    Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

    Nomor Urut: 15

    Berdiri: 20 Mei 2002, kelanjutan PNI Soepeni 1999

    Pendiri: Sukmawati Soekarnoputri

    Ketua: Sukmawati Soekarnoputri

    Proyeksi Suara:

  • Lembaga Survei Nasional: 0,2 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI: 0,2 persen

    Partai Pelopor

    Nomor Urut: 22

    Berdiri: 29 November 2002

    Pendiri: Rachmawati Soekarnoputri

    Ketua: Rachmawati Soekarnoputri

    Proyeksi Suara:

  • Lembaga Survei Nasional :0,1 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI: 0,1 persen

    Partai Demokrasi Pembaruan

    Nomor Urut: 16

    Berdiri: 1 Desember 2005

    Pendiri: Laksamana Sukardi, Roy B.B. Janis, dkk

    Ketua: Presidium dengan koordinator Laksamana

    Proyeksi Suara:

  • Lembaga Survei Nasional: 0,3 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI: 0,4 persen

    Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia

    Nomor Urut: 26

    Berdiri: 27 Juli 2002

    Pendiri: Erros Djarot

    Ketua: Erros Djarot

    Proyeksi suara:

  • Lembaga Survei Nasional: 0,3 persen
  • LIPI, CSIS, LP3ES, Puskapol UI: 0,1 persen
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus