Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memilih Kandidat Berintegritas

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibrahim Fahmy Badoh
  • Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption WatchDALAM sebuah diskusi tentang pemilihan umum, terlontar ide perlunya rumusan format baru pendidikan pemilih. Alasannya, sistem penentuan kursi yang tiba-tiba berubah di pengujung hari menjelang pemilu juga mengubah persepsi umum pemilih terkait dengan pemilu. Partai politik jelas lebih dikenal oleh pemilih. Sedangkan para calon legislator dipandang tidak siap dengan visi-misi dan agenda sebagai ”dagangan” yang akan cepat laku di daerah pemilihan. Persoalannya: rumusan formatnya seperti apa agar peluang dari perubahan sistem itu dapat digunakan oleh para calon legislator? Besarkah peluang calon berintegritas memenangi perebutan kursi?

    Perubahan mekanisme perhitungan suara dan perolehan kursi untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebetulnya mengandung harapan besar. Perubahan ini secara substansial dapat mengubah model keterwakilan dengan minimalisasi sosok partai politik, karena lebih berbasis pada kandidat. Jika memotret peran partai politik yang dipandang gagal dalam melakukan pendidikan politik dan menciptakan ”parlemen” yang bersih dan berintegritas, sistem berbasis kandidat mungkin dapat menjadi jawabannya.

    Fenomena Parlemen

    Hari ke hari, ”parlemen” semakin meninggalkan sosoknya sebagai lembaga perwakilan. Bukan rahasia lagi, proses yang terkait dengan pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan tak ubahnya pasar transaksi korupsi. Alih-alih memproduksi aturan perundangan yang bergigi, komisi-komisi Dewan Perwakilan Rakyat justru mendagangkan kewenangannya untuk jual-beli pasal. Dari tahun ke tahun, inisiatif memproduksi undang-undang semakin turun. Yang ada dan dapat dibanggakan hanya aturan soal pemekaran wilayah, yang ternyata banyak yang ”copy-paste”.

    Terkadang saya miris memperhatikan tingkah laku parlemen kita. Sudah minim inisiatif, masih ”belagu” pula. Mereka menganggap sosok, diri, dan kewenangannya penting, sehingga gaji dan fasilitas yang sebenarnya sudah wah saja masih tidak cukup. Masih ada saja yang terus minta naik gaji dan terima amplop sana-sini. Kendati plafon untuk anggaran legislasi sudah ditingkatkan, mereka masih juga ”makan” anggaran departemen, termasuk minta difasilitasi dari rekening liar yang sebetulnya haram.

    Fungsi anggaran dan pengawasan juga sama. Kedua proses ini sering tertutup dan kabur dari pantauan publik. Sangat ironis, karena selain Panitia Anggaran Dewan, anggota yang lain kerap mengeluh tidak kebagian informasi yang akurat soal anggaran. Harapan parlemen menjadi terbuka memang masih di alam ide saja. Lembaga resmi dengan tugas mahapenting seperti Komisi Pemberantasan Korupsi saja masih didebatkan keberadaannya di dalam rapat-rapat Panitia Anggaran. Apalagi masyarakat biasa. Namun, di sisi lain, tidak perlu menghitung bulan, kasus-kasus suap yang terkait dengan proyek anggaran masih terus terungkap.

    Kandidat Berintegritas

    Membicarakan format baru penyadaran pemilih memang bukan hal mudah. Konsep yang harus berdiri asing di tengah pesimisme massal terkait dengan kondisi politik yang terpuruk haruslah berisi solusi. Bukan catatan ironi tentang keberhasilan seperti yang dibanggakan dan dikampanyekan oleh politikus dan partai politik yang lupa daratan dan lupa ingatan. Konsep ini haruslah menekankan pentingnya berdialog, telanjang soal realitas, sedikit bermimpi tapi harus realistis.

    Pemilih di dalam pemilu juga bukanlah barang dagangan yang dapat dibeli dengan politik uang. Mereka adalah entitas yang perlu dimintai restu. Kesopanan juga bukan berupa janji-janji. Bukan pula slogan yang terpampang di poster dan baliho yang merusak pemandangan. Pemilih butuh bukti, dan itu sekarang, di saat pemilu. Bukti yang menunjukkan kerelaan para calon anggota legislatif untuk berpindah status menjadi seorang pejabat publik. Mereka kudu mampu menunjukkan tanggung jawab publik. Mereka harus siap dinilai secara telanjang, pernahkah memiliki cacat bawaan seperti melakukan kejahatan publik, mencuri uang publik, atau melakukan sesuatu yang merugikan publik.

    Jika sudah mampu terbuka dan apa adanya sebagai calon pejabat publik, sang kandidat sudah dapat dikatakan berintegritas. Hanya tinggal kapasitas mereka untuk menjalani proses kinerja. Diperlukan kompetensi keilmuan, kepedulian, dan keberpihakan. Kemampuan berproses ini yang paling sulit. Butuh waktu panjang, keterlibatan emosional, dan penguasaan lapangan. Banyak kandidat tidak menyadari hal ini. Banyak yang cukup percaya diri mencalonkan diri di daerah yang bukan domisilinya. Banyak juga yang bermodal sebagai figur terkenal tapi minim kapasitas keilmuan dan penguasaan persoalan kebijakan.

    Banyak hal yang dapat dilakukan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan pemilih. Pemaparan harapan dan mimpi perubahan tetap penting diketahui pemilih. Visi, misi, dan program kandidat perlu pula diketahui. Pemilih juga perlu keyakinan terkait dengan integritas kandidat. Informasi profil dan latar belakang, termasuk sepak terjang kandidat, sangat perlu disampaikan kepada pemilih.

    Terkait dengan persoalan keuangan, kandidat juga perlu menyampaikan catatan kekayaan dan pertanggungjawaban dana kampanyenya. Hal ini banyak yang luput karena di dalam Undang-Undang Pemilu memang sengaja diatur sangat minimalis. Padahal kedua hal ini terbukti mampu menghadirkan dialog yang lebih bermutu antara kandidat dan konstituennya di daerah pemilihan. Dengan terbukanya soal kekayaan, pemilih akan dengan sangat bersemangat menilai kewajaran aset para kandidat untuk dicocokkan dengan aktivitas ekonominya. Model penilaiannya pun cukup interaktif karena pemilih dapat melihat langsung kondisi rumah, mobil pribadi, dan aset lainnya.

    Pelaporan dana kampanye dapat menggambarkan kondisi keuangan kandidat di saat kampanye. Kenyataan yang terungkap dari beberapa forum terkait dengan integritas finansial kandidat, persoalan ini termasuk yang terberat untuk dipenuhi. Ada keharusan mencatat transaksi yang cukup rumit, sementara Komisi Pemilihan Umum belum menyediakan formatnya. Alasan lainnya, kandidat khawatir pemilih akan mengenalnya sebagai kandidat miskin atau bahkan terlalu kaya. Padahal yang terpenting dari konsep akuntabilitas kandidat kepada konstituen adalah mencari parameter konkret tentang kejujuran.

    Kandidat Vs Partai Politik

    Belajar dari sistem pemilu berbasis kandidat, sapaan dan dialog langsung dengan konstituen adalah format komunikasi politik paling efektif. Jika ini terbangun sejak saat pemilu, representasi kepentingan konstituen akan lebih mudah diantarkan oleh para kandidat pascapemilu. Ini akan menjadi modal dasar yang sangat penting untuk menciptakan parlemen yang lebih berintegritas di masa mendatang.

    Berubahnya sistem pemilu seharusnya dapat menguatkan peran anggota parlemen ke depan. Hubungan yang kuat dengan konstituen, selain bisa menguatkan aspek keterwakilan, juga meningkatkan posisi tawar kandidat terhadap kebijakan partai politik. Oligarki atau persekongkolan elite di tubuh partai seharusnya bisa diminimalkan dengan kontrol publik di tingkat konstituen terhadap wakil rakyat.

    Wakil rakyat yang lebih bisa membawa aspirasi—dalam konteks legislasi dan perencanaan pembangunan lewat kebijakan anggaran—dipastikan akan lebih populer di mata konstituen. Jika sistem berbasis perorangan ini dapat terus dipertahankan, ke depan, institusi partai politik hanya akan bersifat mediasi ideologi dan fasilitasi untuk rekrutmen posisi politik. Upaya konstruktif yang dapat dibangun lewat wakil rakyat akan lebih banyak mencerminkan citra perorangan dibandingkan dengan citra partai politik. Atau, dengan kata lain, kendaraan ideologi dapat saja berganti di tengah jalan ketika harapan konstituen bertentangan dengan kebijakan partai politik.

    Sayangnya, paket undang-undang politik belum sepenuhnya mewadahi model keterwakilan yang penuh kepada perorangan. Rancangan Undang-Undang tentang Susunan Kedudukan yang kini masih digodok di Dewan dipastikan tidak mengadopsi beberapa usul mekanisme penting, seperti peluang gugatan publik atas anggota parlemen bermasalah dan revitalisasi badan kehormatan parlemen. Perwakilan partai politik yang ada di Dewan sekarang ini sepertinya masih belum siap untuk mengurangi kontrol kewenangan mereka atas kadernya di parlemen.

    Padahal perubahan sistem pemilu yang berbasis kandidat seharusnya juga mengubah mekanisme pertanggungjawaban politikus. Tidak hanya ke partai politik, tapi juga ke konstituennya di daerah pemilihan masing-masing. Absennya mekanisme gugatan publik akan memupuskan harapan yang besar bagi pemilih terhadap perbaikan parlemen ke depan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus