Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi IX DPR mendesak pemerintah mengkaji ulang program vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu.
Pada masa pandemi, pemerintah semestinya berfokus memperlancar distribusi vaksin secara merata di daerah-daerah, bukan memungut bayaran.
Vaksin itu gratis, kesehatan rakyat tidak untuk dikomersialkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Komisi IX Dewan Perwakilan mendesak Kementerian Kesehatan mengkaji ulang program vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu. Alat kelengkapan DPR yang membidangi urusan kesehatan ini juga mendukung program vaksin Covid-19 berbayar itu ditunda hingga pengkajian ulang rampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Komisi IX DPR mendesak Kementerian Kesehatan mengkaji secara intensif perihal penyempurnaan program tersebut," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh, membacakan kesimpulan rapat kerja parlemen bersama Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan, kemarin.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan peraturan vaksin berbayar. Di masa pandemi yang tengah melonjak, kata Nihayatul, pemerintah semestinya berfokus memperlancar distribusi vaksin secara merata di daerah-daerah, bukan memungut bayaran.
Nihayatul menganggap skema berbayar justru tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengatur hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Dia menyayangkan terbitnya kebijakan tersebut tanpa dibahas lebih dulu dengan Komisi IX DPR.
Program vaksin berbayar muncul dalam revisi kedua peraturan Menteri Kesehatan perihal pelaksanaan vaksinasi Covid-19 yang terbit pada 5 Juli lalu. Tarif maksimal pembelian vaksin sebesar Rp 321 ribu per dosis, sedangkan ongkos pelayanannya Rp 117 ribu per dosis. Pemerintah menetapkan dua vaksin yang digunakan, yaitu produksi Sinopharm dan CanSino—perusahaan asal Cina.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan program vaksinasi berbayar diutamakan bagi karyawan perusahaan yang sebelumnya terdaftar dalam vaksinasi gotong royong. Sebab, kata dia, masih banyak perusahaan yang belum menuntaskan vaksinasi terhadap pekerjanya. Sasaran lainnya, warga negara asing yang hingga kini dianggap belum mendapat suntikan kekebalan terhadap Covid-19.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat mengikuti rapat dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 8 April 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kebijakan ini memantik kontroversi lantaran pada akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan biaya vaksinasi Covid-19 ditanggung seluruhnya oleh pemerintah. Karena ramai dibicarakan, PT Kimia Farma Tbk—pelaksana vaksin berbayar—menunda pendaftaran yang sedianya dibuka pada Senin lalu di delapan klinik badan usaha milik negara itu di enam kota.
Pernyataan kontra juga disampaikan oleh politikus Partai Gerindra, Sri Meliyana. Menurut anggota Komisi IX ini, pemerintah semestinya mengadakan evaluasi besar-besaran terhadap pelaksanaan vaksinasi gotong royong yang menyasar perusahaan. Menurut laporan yang dia terima, program tersebut justru menghambat pekerja mendapatkan vaksin. Faktor utama kemandekan itu adalah birokrasi yang berbelit, dari pendaftaran ke Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, persetujuan Kementerian, hingga persetujuan PT Bio Farma (Persero).
Jika tujuannya mempercepat program vaksin ini, kata Sri, pemerintah bisa menunjuk PT Kimia Farma sebagai pendamping dalam satu rangkaian program. Upaya membuat program vaksinasi yang berbeda, kata dia, justru berisiko menambah kerumitan masalah.
Anggota Komisi IX DPR dari Partai Demokrat, Aliyah Mustika Ilham, mengatakan pandemi saat ini merupakan kondisi darurat. Program vaksin berbayar, kata dia, memberatkan masyarakat dan menguntungkan satu pihak saja.
“Vaksin itu gratis. Kesehatan rakyat tidak untuk dikomersialkan. Tidak benar bahwa vaksin ini kemudian diperjualbelikan,” ujar dia.
Menurut anggota DPR dari partai oposisi ini, jika tujuannya mempercepat pencapaian herd immunity atau kekebalan kelompok masyarakat, vaksinasi gotong royong perusahaan seharusnya digenjot agar lebih agresif dan masif lagi, bukan malah membuka opsi vaksin individu berbayar.
“Kalau pemerintah masih ngotot untuk menjual vaksin, bisa diganti nama vaksinnya bukan vaksin gotong royong, tapi vaksin mandiri, karena jangan sampai korbannya digotong, royongnya hilang,” ujar Aliyah dalam penjelasan yang diterima Tempo, kemarin.
Senada dengan Aliyah, Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay mengatakan pemerintah semestinya berfokus pada distribusi vaksin untuk pemerataan akses imunitas terhadap Covid-19 hingga ke daerah-daerah terpencil. Jika program vaksinasi berbayar dipaksakan, Saleh khawatir tingkat kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi pemerintah akan turun sehingga menghambat pemenuhan target kekebalan kelompok. "Jangan sampai nila setitik, rusak susu sebelanga," kata dia.
Anggota Komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Edy Wuryanto, menganggap program vaksinasi berbayar saat ini kurang tepat. Ia mengatakan program ini justru berisiko mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena bisa menimbulkan kesan pelayanan vaksin berjalan lancar bagi warga yang mampu secara ekonomi. Kendati begitu, Edy mengamini masyarakat yang mampu harus diberi kesempatan berpartisipasi untuk membiayai program vaksinasi mandiri guna meringankan kas negara. Syaratnya, pemantauan stok vaksin dan pelaksanaannya harus diperketat untuk meredam risiko penyimpangan.
Adapun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah akan kembali merancang teknis program ini setelah vaksinasi nasional menjangkau lebih banyak masyarakat. Per kemarin, vaksinasi Covid-19 baru memenuhi 17,78 persen dari total sasaran sebanyak 208 juta penduduk. Dari angka itu pun baru 7,32 persen populasi yang menjalani imunisasi lengkap alias dua kali penyuntikan. "Sehingga benar-benar akses masyarakat akan lebih besar, sedangkan masyarakat yang ingin mengambil opsi lain juga tersedia," kata dia.
VINDRY FLORENTIN | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo