Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Syafruddin Temenggung, restrukturisasi utang menjadi pekerjaan sehari-sehari satu dekade silam. Tapi, sebelas tahun setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional bubar, ia masih disibukkan perkara serupa. Gara-gara urusan itu, bekas Ketua BPPN ini mengirim surat kepada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, akhir April lalu.
Isi surat itu meminta Menteri Keuangan membatalkan perjanjian jual-beli aset kredit Adyaesta Ciptatama Group dengan Victoria Securities International Corporation. "Surat itu menunjukkan penjualan hak tagih piutang ada yang keliru," kata Johnson Panjaitan, kuasa hukum Adyaesta, Selasa pekan lalu.
Menurut salinan surat yang diperoleh Tempo, perjanjian itu mesti dibatalkan karena terjadi konflik kepentingan antara Adyaesta dan Victoria. Adyaesta, menurut seorang penyidik di Kejaksaan Agung, telah menjalin komunikasi dan kesepakatan sebelum Victoria membeli hak tagih piutang di BPPN.
Dalam surat itu, Syafruddin mengatakan pembatalan tersebut bertujuan agar pemerintah memperoleh penerimaan yang maksimal. Sebab, bila perjanjian dibatalkan, Menteri Keuangan, selaku kreditor, dapat memaksa Adyaesta Group membayar kewajibannya kepada negara Rp 419 miliar. Perjanjian jual-beli piutang yang diteken antara BPPN dan Victoria menyebutkan Menteri Keuangan berhak membatalkan perjanjian tersebut.
Usul pembatalan itu mengemuka dalam rapat koordinasi di Kementerian Keuangan. Rapat itu dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Indra Surya, tim Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan sejumlah eks pejabat BPPN, termasuk Syafruddin.
Rapat koordinasi itu merupakan tindak lanjut dari surat serupa yang dikirim Syafruddin kepada Menteri Keuangan Chatib Basri, Oktober tahun lalu. Sama seperti surat sebelumnya, surat kedua ditembuskan kepada sejumlah pejabat negara, antara lain Jaksa Agung M. Prasetyo, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman, dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Sonny Loho. Surat ini dikirim setelah Kejaksaan Agung mengambil alih kasus tersebut dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Kasus ini bermula setelah Adyaesta berusaha merebut kembali aset tanah seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat, yang pernah lepas ke BPPN. Victoria Securities International Corporation, pemegang hak tagih piutang (cessie) lahan itu, tidak mau menjual murah. Adyaesta, melalui kuasa hukumnya, Johnson Panjaitan, melaporkan perseteruan ini ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dua tahun lalu.
Sejak itu, Syafruddin bolak-balik diperiksa kejaksaan. Dalam pemeriksaan itulah sejumlah kejanggalan terungkap. Dalam surat kepada Menteri Keuangan awal Oktober lalu, misalnya, Syafruddin mengatakan baru mengetahui ada persyaratan administrasi yang belum diserahkan Victoria saat mengikuti lelang. "Saya baru mengetahui informasi itu dari Kejaksaan Tinggi," ujarnya.
Salah satu syarat administrasi yang belum diserahkan itu adalah pendapat hukum yang menyatakan Victoria Secu-rities International Corporation, yang berkedudukan di British Virgin Islands, merupakan badan hukum yang memenuhi syarat untuk membeli aset kredit di BPPN.
Syafruddin menyadari ada pelanggaran pada saat hak tagih Adyaesta terjual kepada Victoria. Menurut dia, fakta baru itu merupakan post factum yang dapat menjadi bukti bagi Kementerian Keuangan untuk meninjau kembali proses penjualan hak tagih Adyaesta kepada Victoria Securities.
Menurut seorang penyidik kejaksaan, sejumlah kejanggalan sebenarnya sudah terlihat sejak awal proses lelang. Semula BPPN melelang hak tagih Adyaesta dalam Program Penjualan Aset Kredit I pada 2002. Jumlah kewajiban yang mesti dilunasi Adyaesta Rp 266,4 miliar. Saat itu, BPPN sudah menetapkan First Capital sebagai pemenang lelang. Angka penawaran First Capital, senilai Rp 69,53 miliar, mengalahkan pesaingnya. Perjanjian jual-beli piutang ditandatangani pada Oktober 2002.
Salah satu pesaing yang dikalahkan First Capital tak lain Victoria Securities International Corporation. Victoria berada di urutan kedua setelah menyodorkan harga Rp 40-an miliar. Keduanya kebetulan saat itu berkantor di gedung yang sama, yakni di Panin Tower, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Satu tahun kemudian, First Capital mengajukan permohonan kepada BPPN agar pembelian hak tagih Adyaesta dibatalkan. Alasannya, First Capital hanya mendapat fotokopi sertifikat hak guna bangunan di Karawang seluas 300 hektare.
Padahal, kata penyidik kejaksaan tadi, perjanjian jual-beli piutang itu tidak dapat dibatalkan karena menggunakan skema apa adanya (as is basis). First Capital sejak awal juga sudah mengetahui sertifikat tersebut masih dalam proses pemecahan di Badan Pertanahan Nasional. "First Capital tahu karena pengacaranya sudah melakukan due diligence," ujar penyidik tersebut.
Satu hari setelah First Capital mengajukan pembatalan, Syafruddin mengirim memo internal kepada sejumlah deputi BPPN. Isi memo itu meminta berkas dokumen Adyaesta dibereskan sebelum dilelang, untuk menghindari masalah hukum.
Dalam suratnya, Syafruddin mengaku baru tahu alasan yang tercantum dalam akta pembatalan itu bukan untuk menghindari masalah hukum, melainkan karena ada penambahan fasilitas baru atas nama Adyaesta sebagai debitor. Aset kredit Adyaesta dilelang bersama aset kredit PT Sentraloka Adyabuana dan PT Jestrido Surya Cemerlang dalam satu obligor. Totalnya Rp 419 miliar.
Sebelum perjanjian dengan First Capital dibatalkan, BPPN sudah memasukkan Adyaesta ke daftar Program Penjualan Aset Kredit IV. Menurut Johnson, hal ini memantik kecurigaan karena aset kredit Adyaesta tidak pernah tercantum dalam daftar aset yang akan dilelang pada Program Penjualan Aset Kredit IV.
Menurut penyidik tadi, Victoria bahkan mengajukan penawaran sebelum perjanjian jual-beli cessie antara BPPN dan First Capital dibatalkan. Victoria mengajukan harga lebih rendah, yakni Rp 32,075 miliar. BPPN menetapkan Victoria sebagai pemenang di hari yang sama ketika perjanjian pengalihan piutang kepada First Capital dibatalkan.
Syafruddin belum bisa dimintai keterangan soal surat yang ia kirim. Amir Syamsuddin, bekas kuasa hukum Syafruddin, mengatakan belum dihubungi bekas kliennya. Adapun Primaditya Wirasandi, kuasa hukum Victoria Securities Indonesia, menolak kliennya dikaitkan dengan aksi Victoria Securities International karena kliennya baru berdiri pada 2011.
Dihubungi Rabu malam pekan lalu, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan tidak pernah melihat surat yang dikirim Syafruddin. Sebab, setiap surat yang masuk diperiksa lebih dulu oleh unit eselon I yang terkait. Setelah itu, pejabat eselon I akan memberikan pendapatnya kepada menteri. "Karena dikirim di akhir pemerintahan, surat itu belum sempat masuk ke saya," ujar Chatib.
Surat Syafruddin mulai dibahas di era Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Meski begitu, Bambang belum akan mengambil langkah apa pun karena masih menunggu keputusan Kejaksaan Agung. "Yang saya lakukan sejauh ini sebatas konsolidasi di internal kementerian sambil melakukan koordinasi dengan kejaksaan," kata Bambang.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo