Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saling Salip Perkara Victoria

Sejumlah Pengusaha Dan Politikus Masuk Ke Pusaran Sengketa Tanah Bernilai Triliunan Rupiah Hasil Lelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Ada Setya Novanto, Yorrys Raweyai, Juga Tomy Winata. Membuat Kejaksaan Dan Kepolisian Berhadapan.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETYA Novanto mengawali pertemuan tertutup dengan Jaksa Agung M. Prasetyo di ruang kerjanya dengan menunjukkan surat pengaduan PT Victoria Securities Indonesia. Pada pertengahan Agustus lalu, Victoria digeledah tim satuan tugas pemberantasan korupsi bentukan Kejaksaan Agung yang, menurut Setya, tidak menunjukkan identitas dan surat perintah penggeledahan.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu kemudian menganggap tim kejaksaan salah alamat karena menggeledah kantor Victoria Securities Indonesia di lantai 8 Panin Tower. Menurut dia, penggeledahan seharusnya dilakukan di kantor Victoria Securities International Corporation, pemenang lelang hak tagih piutang PT Adyaesta Ciptatama dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Menurut saksi yang mengetahui pertemuan itu, Setya lalu bertanya, "Mengapa Kejaksaan Agung menyelidiki lelang hak tagih Victoria Securities?"

Rapat antara pimpinan Dewan dan Jaksa Agung itu membuka aneka kejanggalan hiruk-pikuk kisruh penjualan hak tagih atau pengalihan piutang (cessie) pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pertemuan itu dihadiri dua Wakil Ketua DPR, yaitu Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Mereka hanya mengundang Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin dari Partai Golkar dan wakilnya, Desmond Junaidi Mahesa dari Partai Gerindra. Tiga wakil ketua komisi itu, yakni Benny Kabur Harman, Trimedya Panjaitan, dan Mulfachri Harahap, tak tercantum dalam surat undangan.

Setya memanggil Jaksa Agung hanya lima hari setelah Victoria mengirim surat pengaduan pada 13 Agustus lalu. Surat diteken Direktur Utama Yangky Halim, berisi permintaan "jaminan kepastian hukum menjalankan usaha di Indonesia". Victoria juga mengadukan tim kejaksaan yang, menurut perusahaan ini, tidak mengizinkan manajemen menyaksikan penggeledahan. Menurut Yangky, para penggeledah tak pernah menjelaskan pelapor, terlapor, dan pasal pidana yang dituduhkan.

Setya Novanto berdalih hanya meneruskan surat yang masuk. "Saya bicarakan dengan pimpinan DPR lain dan diputuskan mengundang Jaksa Agung," katanya ketika dimintai konfirmasi.

Pertemuan ini dikritik politikus lain di Komisi Hukum DPR, termasuk Desmond, yang mengikuti pertemuan. Surat undangan pertemuan juga tak pernah ditembuskan ke Komisi Hukum. Desmond mengatakan fungsi pengawasan seharusnya dilakukan komisi, bukan pimpinan DPR. "Bukan kapasitas pimpinan DPR bertanya kasus," ujarnya. Wakil Ketua Komisi Hukum Trimedya Panjaitan mengatakan sama sekali tak mengetahui pemanggilan Jaksa Agung oleh pimpinan DPR. "Barangkali hanya ditujukan personal kepada Aziz dan Desmond," ujar Trimedya.

****

PADA 1997, PT Adyaesta Ciptatama milik Johnny Wijaya mengajukan permintaan kredit ke Bank BTN sebesar Rp 469 miliar untuk membangun perumahan seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat. Bank itu hanya menyetujui Rp 176,56 miliar. Terhantam krisis keuangan 1998, Adyaesta gagal membayar utang itu. BTN bernasib sama: tergoyang krisis dan harus masuk program penyehatan bank di BPPN.

Keluar dari krisis, Adyaesta menyatakan bersedia melunasi utang Rp 176,56 miliar ke BPPN. Badan Penyehatan Perbankan menolak jumlah itu karena utang Adyaesta disebutkan telah membengkak menjadi Rp 247,9 miliar. Alasannya, ada tambahan tunggakan bunga Rp 142,7 miliar. Di tengah proses ini, BPPN melelang aset tanah jaminan utang Adyaesta. Lelang dimenangi Victoria Securities International Corporation dengan harga supermurah: Rp 32 miliar-hanya 7,63 persen dari nilai tagihan.

Pada April 2013, kuasa hukum Adyaesta, Johnson Panjaitan, bersurat kepada Direktur Victoria Securities International, menyampaikan bahwa kliennya bersedia membayar tunai utang Rp 266,4 miliar. Surat ini dijawab Direktur Victoria Securities International Boediarto Boentaran pada 18 Juli 2013, yang menyebutkan utang telah membengkak menjadi Rp 2 triliun. Johnson mewakili kliennya merespons jawaban itu melalui "jalur nonbisnis": melapor ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tuduhannya, ada dugaan korupsi dalam penjualan piutang BPPN ke Adyaesta.

Pengusaha yang mengetahui kasus ini menuturkan, sejak perkara diambil alih Kejaksaan Agung pada 7 April 2015, Victoria bergerilya ke sejumlah pejabat negara. Selain ke Ketua DPR, Victoria mengirim surat ke Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Setya kemudian melibatkan seorang pengusaha besar di bidang perminyakan.

Mantan Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi, yang masuk jajaran direksi Victoria Securities International Corporation pada Februari 2015, turun gelanggang. Hampir bersamaan dengan penanganan kasus oleh kejaksaan, Fachrul melaporkan Johnny Wijaya ke kepolisian. Ia menuduh Johnny menggelapkan sertifikat tanah seluas 300 hektare di Karawang, yang diambil pada 1997 untuk dipecah tapi tak dikembalikan. "Sertifikat itu bagian dari cessie," kata Fachrul.

Johnson menyatakan heran anggota Tim Bravo 5 bentukan Luhut Binsar Pandjaitan pada kampanye pemilihan presiden 2014 itu tiba-tiba menjadi anggota direksi Victoria Securities International Corporation. Dalam perundingan awal, nama Fachrul tak tercantum di jajaran manajemen. "Kok, tiba-tiba nongol?" ujar Johnson. Fachrul tak bersedia menjelaskan kronologi perekrutannya oleh perusahaan itu.

****

MASUKNYA tokoh-tokoh politik membuat kepolisian dan kejaksaan berhadapan. Dua institusi ini saling salip di tikungan dengan kasus yang berbeda. Setelah Kejaksaan Agung menggeledah kantor Victoria Securities Indonesia, Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Johnny Wijaya sebagai tersangka penggelapan sertifikat. Juru bicara Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Agus Riyanto, mengatakan Johnny belum akan ditahan.

Pada saat tim kejaksaan menggeledah kantor Victoria, menurut seorang jaksa, dua kali tim dari Kepolisian Daerah Metro Jaya menghalang-halanginya. Awalnya, sejumlah petugas dari Subdirektorat Kejahatan dengan Kekerasan datang menanyakan alasan penggeledahan. Setelah menerima penjelasan, mereka pergi. Beberapa saat kemudian, mereka kembali dan menanyakan hal yang sama.

Pengacara Victoria Securities Indonesia, Primaditya Wirasandi, mengakui kliennya menelepon polisi. "Kami merasa ada yang janggal dengan penggeledahan," katanya.

Kejaksaan mengklaim menemukan aneka dokumen yang terkait dengan pembelian hak tagih Adyaesta di kantor Victoria Securities Indonesia. Di antaranya bundel perjanjian piutang Adyaesta dengan Victoria Securities Internasional Corporation dan kronologi kasus Adyaesta Ciptatama. Berita acara penggeledahan ini diteken Yangky Halim.

Dugaan intervensi politikus Senayan muncul ketika Komisi Hukum DPR menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung M. Prasetyo pada 31 Agustus lalu. Selain membahas rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rapat dijadwalkan membahas penyelidikan kasus Victoria. Namun rapat dibatalkan atas permintaan Aziz Syamsuddin, yang sedang berada di Amerika Serikat bersama Ketua DPR Setya Novanto. Aziz mengaku dialah yang meminta rapat itu dibatalkan. "Berdasarkan kesepakatan di antara pimpinan, tidak ada agenda pengawasan," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.

Aziz membantah menjadi "beking" Victoria dalam kasus ini. Namun dia mengakui Victoria pernah melayangkan surat ke Komisi Hukum DPR untuk meminta perlindungan hukum. Dia justru menuding, banyak mafia hukum yang terlibat kasus ini. "Apa motif kejaksaan bersemangat mengusut cessie Victoria padahal di BPPN ada 87 kasus serupa?" katanya.

Sebaliknya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, mempersoalkan langkah Setya Novanto memanggil Jaksa Agung. "Dia mengirim surat atas nama lembaga, padahal untuk kepentingan individu," ujar Masinton.

****

JAUH sebelum hiruk-pikuk di kejaksaan dan kepolisian, kedua kubu beberapa kali menggelar pertemuan. Dalam perundingan awal, menurut pengusaha yang ikut dalam prosesnya, kedua pihak membahas harga dan nilai aset yang pantas. Pemilik Victoria, Suzanna Tanojo, berkukuh pada angka Rp 2,1 triliun. Adapun Johnny Wijaya menyatakan hanya bersedia membayar Rp 1,2 triliun. Karena tak mencapai kesepakatan, Johnny diwakili pengacara Johnson Panjaitan melayangkan somasi. Setelah itu, mereka melaporkan dugaan korupsi pelelangan piutang ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Setelah dilaporkan ke kejaksaan, kata sumber itu, Suzanna meminta bantuan bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, menjadi fasilitator untuk menuntaskan sengketa ini. Adapun kubu Johnny Wijaya mendekat ke Presiden Komisaris PT Jasuindo Tiga Perkasa, Robert Priantono Bonosusatya, yang memiliki hubungan dekat dengan petinggi-petinggi kepolisian. Johnson Panjaitan mengatakan kedua pihak tiga kali berunding di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Juni 2014, difasilitasi Tomy Winata. "Kami membahas posisi masing-masing," ujar Johnson.

Menurut Johnson, Johnny mengajukan skema penyelesaian yang lain. Ia bersedia melepaskan aset ke Victoria dengan tambahan tunai Rp 300 miliar. Johnson mengatakan Suzanna menyanggupi angka lebih tinggi, yaitu Rp 500 miliar, dengan syarat Johnny mencabut laporannya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. "Kami setuju dengan syarat Victoria membayar uang muka 10 persen sebelum kami mencabut gugatan," katanya. Ia menyebutkan kesepakatan buyar karena Suzanna tak kunjung membayar uang muka.

Tomy Winata membantah pernah menjadi fasilitator pertemuan antara Victoria dan PT Adyaesta. Ia mengatakan tak pernah berurusan dengan perusahaan yang menjadi jaminan di BPPN. "Saya tidak pernah merasa menjadi mediator," ujarnya ketika diwawancarai melalui telepon oleh Mustafa Silalahi dari?Tempo. Robert belum bisa dimintai konfirmasi mengenai perannya dalam sengketa ini. Anggota stafnya yang berjanji akan menyampaikan permintaan?wawancara tidak memberi kabar hingga tulisan ini diturunkan.

Penghubung lain kubu Suzanna dan Johnny Wijaya adalah politikus Partai Golkar, Yorrys Raweyai. Yorrys beberapa kali menemui Setya di ruang kerjanya, lantai 3 gedung Nusantara III, Senayan, membicarakan soal ini. Yorrys membenarkan informasi ini, tapi ia enggan memberikan keterangan secara rinci. "Saya tidak banyak komentar," ujarnya. Sedangkan Setya mengatakan tak ikut-ikutan mengurusi soal Victoria.

Nilai aset yang dijaminkan memang luar biasa. Tak aneh, pebisnis dan politikus masuk ke lingkaran sengketa. Seorang jaksa mengatakan nilai jual obyek pajak tanah ini Rp 2 triliun. Nilai pasar biasanya lebih tinggi daripada angka itu. Johnson Panjaitan mengatakan sejumlah perusahaan mengajukan proposal pembelian tanah itu kepada Johnny Wijaya. Namun transaksi baru bisa dilakukan setelah sengketa berakhir. Wayan Agus Purnomo


Sengketa Aset Peninggalan BPPN

PT Adyaesta Ciptatama berusaha merebut kembali aset tanah seluas 1.200 hektare yang lepas ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1999. PT Victoria Securities International Corporation, pemegang hak tagih piutang (cessie) atas lahan itu, menolak menjualnya dengan harga murah. Sempat ada kesepakatan, tapi belakangan berantakan. Adyaesta melapor ke kejaksaan, Victoria mengadu ke kepolisian.

1997

PT Adyaesta Ciptatama meminjam uang Rp 176,56 miliar dari Bank BTN untuk membangun perumahan di Karawang, Jawa Barat.

1998

Terjadi krisis moneter. Adyaesta gagal melunasi pinjaman.

1999

BTN kolaps dan menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Aset kredit Adyaesta beralih ke BPPN, dengan jumlah utang Rp 266,4 miliar.

2001

Adyaesta mengajukan permohonan kepada BPPN untuk melunasi utang pokok Rp 176,56 miliar. BPPN menolak dan meminta Adyaesta membayar 50 persen bunga dan denda. Total Rp 247,929 miliar.

2002

BPPN melelang aset kredit Adyaesta. First Capital ditetapkan sebagai pemenang setelah mengajukan penawaran Rp 69,53 miliar. Perjanjian pengalihan piutang diteken tahun itu juga.

2003

8 Juli

BPPN menggelar Program Penjualan Aset Kredit IV.

" 15 Juli

Daftar aset kredit yang ditawarkan diumumkan di surat kabar.

" 5 Agustus

First Capital mengajukan pembatalan perjanjian pengalihan piutang Adyaesta.

" 14 Agustus

BPPN menyatakan proses pengalihan piutang kepada First Capital dibatalkan.

" 18 Agustus

BPPN menyisipkan Adyaesta ke dalam daftar Program Penjualan Aset Kredit IV dua hari sebelum lelang. Hak tagih Adyaesta dilelang bersama aset kredit PT Sentraloka Adyabuana dan PT Jestrido Surya Cemerlang dalam satu obligor. Totalnya Rp 419,986 miliar dengan luas lahan 1.200 hektare. Perubahan ini hanya diumumkan di website BPPN.

" 20 Agustus

Victoria Securities International Corporation mengajukan surat penawaran kepada BPPN atas aset kredit Adyaesta Group. Totalnya Rp 30,155 miliar atau 7,18 persen dari Rp 419,986 miliar.

" 26 Agustus

BPPN meminta Victoria Securities mengajukan revisi penawaran.

" 28 Agustus

Victoria Securities menyampaikan revisi penawaran Rp 32,075 miliar.

" 1 September

BPPN dan First Capital sepakat membatalkan perjanjian jual-beli piutang.

Pada hari yang sama, BPPN menetapkan Victoria Securities sebagai pemenang lelang dengan harga jauh lebih rendah daripada penawaran First Capital. Rinciannya:

o Adyaesta Ciptatama, nilai utang Rp 266,4 miliar, dijual Rp 20,345 miliar.

o Jestrido Surya Cemerlang, nilai utang Rp 34,467 miliar, dijual Rp 1,79 miliar.

o Sentraloka Adyabuana, nilai utang Rp 130,119 miliar, dijual Rp 9,937 miliar.

" 7 November

BPPN dan Victoria Securities meneken perjanjian jual-beli piutang.

" 17 November

BPPN dan Victoria Securities meneken perjanjian pengalihan piutang.

2012

Adyaesta menemui Komisaris Utama Victoria Investama Tbk Suzanna Tanojo dan pemilik Panin Group, Mu'min Ali Gunawan, membahas rencana pelunasan utang. Pertemuan itu tidak menghasilkan titik temu.

2013

" 18 April

Adyaesta, melalui kuasa hukumnya, Johnson Panjaitan, bersedia melunasi kewajiban Rp 266,4 miliar kepada Victoria Securities International Corporation.

" 18 Juli

Direktur Victoria Securities International Corporation Boediarto Boentaran meminta Adyaesta melunasi total kewajiban, termasuk bunga dan denda, Rp 2 triliun.

" 23 Juli

Adyaesta menolak membayar total kewajiban Rp 2 triliun. Alasannya: Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan Nomor 01/K.KKSK/05/2002 menyatakan aset tidak dikenai denda dan bunga berjalan.

" 23 September

Adyaesta melaporkan BPPN dan Victoria Securities International ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

2014

Di depan pengusaha Tomy Winata, Komisaris Utama Victoria Investama Tbk Suzanna Tanojo sepakat menyetor Rp 500 miliar kepada Adyaesta. Victoria berjanji membayar 10 persen uang muka asalkan Adyaesta mencabut gugatan di kejaksaan. Victoria tidak menjalankan kesepakatan.

2015

" Awal April

Polisi menetapkan Direktur Utama Adyaesta Johnny Wijaya sebagai tersangka penggelapan dokumen tanah di Karawang.

" 7 April

Kejaksaan Agung mengambil alih kasus penjualan aset kredit Adyaesta, Sentraloka, dan Jestrido.

" 12 Agustus

Kejaksaan Agung menggeledah kantor Victoria Securities Indonesia di Panin Tower, Jakarta.

" 14 Agustus

Kejaksaan Agung kembali menggeledah kantor Victoria Securities Indonesia.

" 17 Agustus

Victoria melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto atas penggeledahan yang dilakukan kejaksaan.

" 21 Agustus

Setya Novanto memanggil Jaksa Agung M. Prasetyo ke ruang kerjanya di DPR.

NASKAH: YANDHRIE ARVIAN

Sumber: Wawancara, BPPN, KKSK, perjanjian jual-beli piutang


"Nama Fachrul Razi tidak pernah muncul saat perundingan awal. Kok, tiba-tiba sekarang nongol?"
-Johnson Panjaitan, kuasa hukum Adyaesta Ciptatama

"Saya yang melaporkan Johnny Wijaya ke kepolisian karena ada sertifikat tanah di Karawang yang digelapkan."
-Fachrul Razi, bekas Wakil Panglima TNI dan Direktur Victoria Securities International

"Saya tidak ikut-ikutan masalah itu."
-Setya Novanto, Ketua DPR

"Saya merasa tidak pernah menjadi mediator."
-Tomy Winata


Fakta Baru Di Tengah Perkara

Setelah Adyaesta dan Victoria terlibat sengketa, bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Temenggung mengirim surat kepada Kementerian Keuangan. Surat itu mengungkap fakta baru:

oBPPN membatalkan perjanjian jual-beli piutang dengan First Capital bukan dengan alasan menghindari sengketa hukum, melainkan karena ada penambahan aset kredit dari Jestrido Surya Cemerlang dan Sentraloka Adyabuana. Walhasil, harga penawaran First Capital tidak lagi memadai.

oVictoria tidak memenuhi salah satu persyaratan administrasi pembelian hak tagih. Perusahaan ini belum menyerahkan pernyataan dan pendapat hukum yang menyatakannya sebagai lembaga yang berwenang untuk membeli aset di BPPN.

oTerjadi benturan kepentingan antara debitor dan kreditor baru karena diam-diam Adyaesta dan Victoria menjalin kesepakatan sebelum Victoria membeli piutang di BPPN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus