Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para pedagang sapi asal Bima Nusa Tenggara Barat menjerit karena sapi-sapi yang mereka bawa ke Jabodetabek untuk dijual sebagai hewan kurban saat Idul Adha 1444 Hijriah, banyak yang tidak laku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sapi-sapi untuk hewan kurban yang tidak laku itu dilarang untuk dibawa pulang ke daerah asal. Padahal, mereka harus menyewa lapak atau lahan untuk sapi-sapi yang mereka jual itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Asisosiasi Pedagang dan Peternakan Sapi Bima Indonesia Furkan Sangiang mengatakan berdasarkan catatan yang ia meiliki, setidaknya ada sekitar 26.000 ekor sapi yang masuk ke Jabodetabek jelang Idul Adha 1444 H pada akhir Juni lalu.
"Karena daya beli masyarakat rendah, sapi yang dibawa tidak terjual semua. Masih ada sekitar 8 ribu hingga 10 ribu ekor," kata Furkan saat di konfirmasi di lapaknya di kawasan Grand Depok City (GDC), Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Selasa 4 Juli 2023.
Sapi-sapi yang tidak terjual itu kini tidak boleh dibawa pulang ke Bima. Pemerintah Provinsi NTB melarang dan tidak mengizinkan sapi-sapi itu dibawa pulang, karena khawatir akan membawa penyakit.
Di saat yang sama, masa sewa lahan untuk sapi kurban itu sudah habis sehingga membuat pedagang semakin bingung. "Kalau bertahan biaya operasional membengkak, pedagang dan peternak kesulitan untuk bertahan hidup," katanya.
Sementara, pemilik lahan sudah memberikan ultimatum untuk memindahkan sapi ke kandang lainnya dan itu tentu saja menambah biaya.
Masalah ini sudah diketahui Kementerian Pertanian. Mereka pun turun tangan untuk memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi para pedagang. Pedagang dan Kementan sudah rapat melalui zoom meeting pada Sabtu, 1 Juli 2023
"Hasilnya sapi bisa dipulangkan dengan catatan sudah divaksinasi dan karantin selama 28 hari," ujar Furkan.
Namun rupanya keputusan rapat tidak melegakan para pedagang. Sebab, jika harus karantina 28 hari tentu pedagang mesti mengeluarkan biaya lagi yang tidak sedikit.
Karena itu, pedagang berharap agar sapi-sapi bisa dipulangkan, seperti dibawa dulu ke NTB dan dikumpulkan di satu tempat untuk karantina.
"Di sana karantina selama 40 hari agar masa inkubasi virus berjalan maksimal. Tapi sampai hari ini tidak ada kejelasan dari pemerintah NTB," ujar Furkan.
Furkan belum bisa memastikan jumlah pedagang sapi yang bertahan di Jabodetabek. Ia hanya memperkirakan saat ini ada 30 sampai 60 titik lapak pedagang yang masih belum pulang.
Ditengah situasi yang pelik ini, sebagian pedagang ada yang memilih menjual sapinya dengan harga murah, asal bisa pulang. Tapi ada pula yang bertahan untuk membawa pulang sapi-sapinya ke Bima.
Menurut Furkan ada 5 sampai 20 tronton yang pulang dengan kapasitas per tronton 28 sampai 30 ekor sapi. Namun, dia memperoleh informasi bahwa sapi-sapi yang mau dibawa pulang itu ada yang tertahan di Banyuwangi, tak bisa masuk ke Bali.
Bagi pedagang yang memutuskan yang bisa pulang, mereka terpaksa menjual sapi-sapinya dengan harga miring. "Murah sekali, per sapi bisa sampai Rp 8 juta," ungkapnya.
Para pedagang sapi berharap kebijaksanaan pemerintah agar mereka bisa kembali ke NTB. "Kami hanya ingin pulang," ucap Furkan.