Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokumen rahasia dari Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), lembaga intelijen kejahatan keuangan pemerintah Amerika Serikat, mengungkap lalu lintas transaksi keuangan mencurigakan dalam skala global senilai lebih dari Rp 29.000 triliun
Di Indonesia, bocoran arsip itu memuat transfer mencurigakan antara Rosoboronexport--perusahaan produsen persenjataan militer milik pemerintah Rusia--dan pengusaha Indonesia bernama Sujito Ng.
Liputan ini merupakan kolaborasi global yang dipimpin jejaring internasional jurnalis investigasi (ICIJ) dan BuzFeed News bersama 108 media dari 88 negara, termasuk Tempo.
DIIDENTIFIKASI hanya sebagai “individu yang tampaknya bermukim di Indonesia”, nama pengusaha Sujito Ng disebut sebanyak 26 kali dalam bocoran laporan rahasia milik Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN). Lembaga intelijen keuangan Amerika Serikat ini mendeteksi lalu lintas transfer dana puluhan miliar rupiah yang melibatkan Sujito dengan Rosoboronexport, perusahaan alat pertahanan milik pemerintah Rusia, sepanjang 2011-2013.
Transfer fulus dari Rosoboronexport ke Sujito Ng merupakan bagian dari 2.100 dokumen bocoran laporan keuangan mencurigakan yang dikirim perbankan Amerika kepada FinCEN. BuzzFeed News memperoleh salinan dokumen itu, tapi menolak membuka identitas sumber dokumennya. Sebagian terungkap ketika Komite Kongres Amerika menyelidiki dugaan keterlibatan Rusia dalam pendanaan dan aktivitas kampanye Presiden Donald Trump pada Pemilihan Umum 2016 dan sisanya diperoleh dari permohonan informasi ke lembaga penegak hukum lain.
BuzzFeed News kemudian membagikan data ini ke International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Lembaga jurnalisme investigatif nonprofit yang berbasis di Washington, DC, Amerika, itu kemudian menghimpun lebih dari 400 jurnalis dari 108 media di 88 negara untuk menyelidiki sistem perbankan dan laporan keuangan ilegal sebagaimana terekam dalam bocoran dokumen itu. Tempo adalah satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek kolaborasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sujito Ng, saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi V, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Mei 2012. TEMPO/Imam Sukamto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocoran itu sendiri mencakup ribuan transaksi senilai sedikitnya US$ 2 triliun—setara dengan Rp 29.600 triliun—sepanjang 2000-2017. Namun data ini hanya 0,02 persen dari total 12 juta berkas laporan aktivitas keuangan mencurigakan yang diterima FinCEN pada 2011-2017.
Meski hanya sekelumit, laporan ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan transaksi mencurigakan di berbagai bank di seluruh dunia. Banyak bank memilih tak mencari tahu dengan lebih detail soal transaksi yang diduga melibatkan pelanggaran hukum.
Tentu saja, keberadaan dokumen FinCEN ini semata belum mengindikasikan pelanggaran hukum atau aksi kriminal lain. Namun, kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur yang juga pakar masalah pencucian uang, Yudi Kristiana, “Setidaknya transaksi janggal merupakan pintu masuk untuk penyelidikan lebih jauh.”
Kembali pada Sujito. Bocoran data yang dilihat Tempo menerangkan Rosoboron mencoba mengirim dana ke Sujito setidaknya lewat dua bank asal Amerika Serikat: JPMorgan Chase dan Bank of New York Mellon.
Mula-mula Rosoboron mentransfer sekitar US$ 52 ribu—kini senilai Rp 765 juta—ke Sujito pada 28 Oktober 2011. Sebelum masuk ke rekening Sujito di Bank Mandiri cabang Singapura, duit itu diputar ke JSCB International Financial Club di Moskow, Rusia, sebelum sampai ke JPMorgan Chase Bank di New York, Amerika. Transaksi ini dinilai cukup janggal karena rekening bank Sujito di Singapura itu ternyata dikendalikan entitas lain yang berbasis di Swiss.
Setelah fulus perdana terkirim ke Sujito, beberapa bulan kemudian, dalam dua kali kesempatan, Rosoboron kembali mengirim duit ke pengusaha yang dikenal memiliki bisnis minuman beralkohol di Jakarta itu. Kali ini jumlahnya bertambah: total US$ 272 ribu—sekitar Rp 4 miliar—dengan pola yang sama. Namun transfer pada 29 Desember 2011 dan 24 Januari 2012 ini gagal. JPMorgan membatalkan transaksi itu. Rupanya, bank itu menemukan ada sanksi pemerintah Amerika kepada Rosoboron terkait dengan dugaan penjualan senjata ke Iran dan Suriah.
Kantor Pusat milik Financial Crimes Enforcement Network, di Virginia, Amerika Serikat, 17 September 2020. Scilla Alecci/ICIJ
Pembatalan itu bukan kisah akhir lalu lintas duit panas buat Sujito. Dokumen FinCEN menyebutkan ada setidaknya 14 transaksi mencurigakan sejak Juli 2011 hingga Januari 2012 senilai US$ 10 juta—sekitar Rp 148 miliar—yang mengaitkan Sujito dengan Rosoboron. Kali ini transfer dilakukan melalui Bank of New York Mellon. Uang itu ditransfer ke tiga perusahaan di Hong Kong melalui sejumlah bank di Moskow serta Hong Kong. Nama perusahaan itu adalah Sin Ching Trading Co, Hong Seng Trading Co, dan New Force Investments Inc Co.
Selain itu, Bank of New York Mellon melaporkan tujuh transfer janggal yang terkait dengan Sujito senilai total US$ 4,89 juta—setara dengan Rp 72,5 miliar. Rinciannya, sekitar US$ 4,4 juta dikirim rekening Marvel Link Investment Limited di Swiss ke rekening Sujito di Bank CIMB Niaga. Sisanya dikirim Sujito melalui rekening Shanoy—agen penjualan wiski milik Sujito—di Swiss, juga ke CIMB Niaga. Semua dilaporkan bank-bank Amerika itu kepada FinCEN pada tahun yang sama, berselang enam bulan saja.
Selain karena Rosoboron memang masuk daftar perusahaan yang dipantau secara ketat oleh sistem finansial Amerika Serikat sejak September 2006, radar perbankan Amerika saat itu menangkap transaksi janggal Sujito karena jumlahnya yang besar, berulang, dan tanpa latar belakang relasi bisnis yang jelas. Sayangnya, laporan FinCEN berhenti di sana. Tak ada komunikasi lebih lanjut yang tercatat antar-penegak hukum setelah dokumen terakhir tercatat pada 2013.
Gelap di sana, kongsi Sujito dengan Rosoboron justru terang di sini. Hampir bersamaan dengan kiriman dana buat Sujito pada pertengahan 2011, Kementerian Pertahanan mengumumkan pembelian enam jet tempur Sukhoi pada Desember tahun yang sama. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin saat itu mengatakan belanja Sukhoi sudah diresmikan melalui penyerahan kontrak antara Kementerian Pertahanan dan Rosoboron pada 29 Desember 2011—persis pada hari ketika Rosoboron mentransfer US$ 220 ribu kepada Sujito.
Nama Sujito Ng alias Djin Tjong sebenarnya sudah mulai terendus pada saat pengumuman resmi pengadaan Sukhoi dirilis dua bulan sebelumnya, 21 Oktober 2011. Dalam pengumuman itu, Markas Besar TNI Angkatan Udara menerangkan bakal melakukan penunjukan langsung serta meminta Rosoboron, yang diageni PT Trimarga Rekatama, segara mendaftar dan mengurus berkas pengadaan. Sujito adalah bos Trimarga, agen Rosoboron di Indonesia. “Kehadiran agen atau pihak ketiga diduga membuat harga jet Sukhoi itu meroket,” ujar Tama S. Langkun, peneliti Indonesia Corruption Watch, yang waktu itu bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk mengkaji kasus ini.
Bisa jadi transfer dana dari Rosoboron memang honor untuk jasa Sujito sebagai makelar pembelian Sukhoi. Meski jumlahnya cukup mencengangkan, praktik jasa perantara dalam transaksi persenjataan militer adalah sesuatu yang dianggap lazim. Namun riset bersama Indonesia Corruption Watch dan Imparsial mengungkap kejanggalan lain dalam pengadaan Sukhoi itu.
Penelusuran dua lembaga masyarakat sipil ini menemukan surat bertarikh 8 Desember 2010 dari Markas Besar TNI Angkatan Udara kepada Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, setahun sebelum proyek pengadaan Sukhoi diumumkan. Dalam surat itu, TNI Angkatan Udara memberitahukan bahwa anggaran pembelian Sukhoi yang semula berasal dari kredit ekspor akan digeser menggunakan pinjaman pemerintah Rusia yang skemanya lebih lunak. Namun Kementerian Pertahanan justru mengembalikan sumber pendanaan enam pesawat Sukhoi itu ke skema kredit ekspor. Penegasan itu disampaikan lewat surat kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 21 Maret 2011.
Dengan skema baru, Koalisi menghitung banderol satu unit Sukhoi mencapai US$ 78-83 juta—artinya, nilai total enam unit US$ 470-500 juta. Padahal Indonesia pernah membeli pesawat Sukhoi serupa pada 2007 dengan harga satuan sekitar US$ 55 juta. Apalagi harga resmi yang dirilis Rosoboron ketika itu hanya berkisar US$ 70 juta.
Walhasil, Koalisi pun menuding pembelian enam jet itu berpotensi merugikan negara Rp 1,5-2,4 triliun dengan kurs saat ini. Sayangnya, meski kasus itu sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Maret 2012, kelanjutannya tak pernah terang. Dimintai konfirmasi soal kelanjutan penyelidikan kasus Sukhoi pada 19 September lalu, pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan akan mengecek dulu ke kalangan internal.
Sujito sendiri belum menjawab surat permintaan konfirmasi yang dikirim ke kantor PT Trimarga di Jalan Raya Mabes Hankam Nomor 51, Cipayung, Jakarta Timur, hingga Sabtu, 19 September lalu. Aris, penerima tamu di kantor itu, membenarkan pemimpin Trimarga adalah Sujito. Dia berjanji menyampaikan surat Tempo kepada bosnya.
Kepada wartawan Tempo Nur Alfiyah pada Mei 2012, Sunaryo, yang mengaku sebagai konsultan Trimarga, menjelaskan bahwa perusahaannya ditunjuk langsung oleh pemerintah Rusia untuk menjadi agen Sukhoi di Indonesia. “Kami sudah bekerja sama dengan Rusia sejak 2000,” ujar Sunaryo.
Mentok di lembaga penegak hukum, kejanggalan harga Sukhoi ini sebenarnya sempat dipersoalkan di parlemen. Tubagus Hasanuddin, waktu itu menjabat Wakil Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, menjelaskan bahwa harga beli enam jet yang mencapai US$ 470 juta memang dinilai kemahalan. Pemerintah seharusnya bisa mendapat banderol yang lebih murah karena ada opsi kerja sama antar-pemerintah. “Saya tak suuzan, tapi pihak Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia harus menjelaskan selisih harga yang muncul,” ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Sebelum kontrak pembelian yang kisruh pada Desember 2011 itu, Indonesia sudah diperkuat sepuluh pesawat Sukhoi. Presiden Megawati Soekarnoputri membeli empat jet tempur itu pada 2003 dengan skema imbal dagang komoditas pertanian. Empat tahun kemudian, memakai skema kredit ekspor senilai US$ 335 juta, Susilo Bambang Yudhoyono mendatangkan lagi enam Sukhoi. Nama Trimarga baru terdengar pada pembelian ketiga.
Seorang mantan petinggi Kementerian Pertahanan pekan lalu mengungkapkan, pembelian Sukhoi jilid ketiga itu memang sempat alot karena Kementerian Keuangan “membintangi” skema pembiayaan alat pertahanan tersebut. Tanda bintang ini diberikan Kementerian Keuangan sebagai simbol anggaran itu belum disetujui.
Ditanyai soal ini, seorang bekas pejabat tinggi Kementerian Keuangan menjelaskan ada sejumlah alasan lembaganya memberikan tanda bintang untuk belanja jet tempur Sukhoi pada waktu itu. Menurut dia, pemerintah belum memperoleh persetujuan dari DPR serta ada peraturan unilateral dari Amerika yang melarang negara mitranya berdagang dengan sejumlah negara tertentu. “Dokumen kreditnya juga belum ready,” ujarnya.
Ketika kasus ini merebak, Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pertahanan 2009-2014, membantah terjadi penggelembungan harga jet Sukhoi. Ia menyebutkan harga beli itu sudah termasuk biaya suku cadang, mesin, dan perawatan. “Ada juga perbedaan harga karena banderol pada 2007 berbeda dengan 2012,” kata Purnomo waktu itu. Adapun juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengaku tak mengetahui proyek itu karena baru masuk ke Kementerian pada 2019.
Meski diwarnai berbagai kontroversi, transaksi pembelian Sukhoi jalan terus. Pada September 2013, Rosoboron menyerahkan enam unit Sukhoi ke pemerintah dan kini pesawat-pesawat itu memperkuat Skuadron Udara 11, Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar.
•••
DOKUMEN FinCEN mengungkap, Rosoboron tak hanya mengirim dana ke Sujito. Ada 22 laporan transaksi mencurigakan atau lazim disebut suspicious activity report yang menyebut nama perusahaan Rusia itu. Dalam setiap dokumen, tercatat ratusan transaksi ke berbagai negara mitra penjual senjata itu.
Perusahaan India, Hindustan Aeronautics Ltd, misalnya, sempat mencoba mengirim dana sebesar US$ 2 juta dalam enam kali transfer. Otoritas pertahanan di India juga tercatat mengirim dana US$ 1,3 juta dalam tiga pembayaran. Transaksi serupa tercatat dilakukan China National Aero-Technology Import and Export Corporation dan sebuah perusahaan di Korea Selatan.
Yang menarik, ada transaksi mencurigakan yang melibatkan Rosoboron dari sebuah perusahaan bernama Fragrance & Co di negara suaka pajak Seychelles. Transaksi ini dibatalkan JPMorgan karena tak jelas hubungan bisnisnya.
Di Republik Niger, negara di bagian barat Afrika, pengadaan senjata militer yang melibatkan Rosoboron bahkan menuai skandal. Penyelidikan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada 2016 menemukan ada kelebihan bayar kepada Rosoboron senilai US$ 19,7 juta—setara dengan Rp 292 miliar—dalam pembelian dua jet tempur dan satu helikopter.
Auditor dari otoritas Niger sempat mengunjungi Moskow untuk menginvestigasi skandal itu, tapi Rosoboron tak memberikan informasi apa pun. Kepada tim OCCRP, Rosoboron menolak berkomentar. Permintaan konfirmasi Tempo yang dikirim ke alamat surat elektronik resmi Rosoboron juga tak berbalas hingga Sabtu, 19 September lalu.
•••
DI luar Indonesia, bocoran data #FinCENFiles menyebut keterlibatan sejumlah figur tersohor. Transaksi jumbo senilai US$ 1,2 miliar di akun Bank JPMorgan milik miliarder asal Malaysia, Jho Low, ada di antaranya. Pria bernama asli Low Taek Jho itu ditengarai berada di balik skandal rasuah 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang menyeret bekas Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.
Nama Jho Low sempat heboh di Indonesia ketika Kepolisian RI menangkap kapal pesiar mewah Equanimity di Tanjung Benoa, Bali, pada Maret 2018. Dalam berkas gugatan yang diajukan Departemen Kehakiman Amerika, dana US$ 250 juta—sekitar Rp 3,7 triliun dengan kurs sekarang—yang digunakan Jho Low untuk membeli kapal itu ditengarai berasal dari pundi-pundi 1MDB. Jho Low membantah seluruh keterlibatannya dalam kasus 1MDB saat menjawab wawancara harian The Straits Times yang berbasis di Singapura pada awal 2020.
Selain itu, #FinCENFiles menemukan laporan transaksi senilai US$ 50 juta di JPMorgan Bank yang melibatkan mantan penasihat kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Paul Manafort. Bank itu juga mencatat beberapa kali transfer dengan total US$ 6,5 juta di rekening Manafort setelah ia mengundurkan diri di tengah tuduhan korupsi dan pencucian uang karena ditengarai dekat dengan organisasi politik pro-Rusia.
Pengusaha batu bara, Haji Syamsudin. Dok TEMPO/Dwianto Wibowo
Kepada ICIJ, JPMorgan, Bank of New York Mellon, dan bank-bank besar lain menjelaskan bahwa otoritas perbankan dilarang menyebarkan informasi mengenai aktivitas transaksi nasabah. Mereka juga mengklaim telah bertindak proaktif menyelidiki setiap temuan dan berinovasi memerangi praktik kejahatan finansial.
FinCEN sendiri mengutuk pembocoran dokumennya dan menolak berkomentar. Pekan lalu, lembaga ini mengumumkan rencana meminta masukan publik untuk memperbaiki sistem deteksi anti-pencucian uang di sana.
Dimintai konfirmasi tentang bocoran dokumen #FinCENFiles ini, Corporate Secretary Bank Mandiri Rully Setiawan mengaku tak bisa menyampaikan informasi tentang nasabah. “Hal itu merupakan rahasia perbankan sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Adapun Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae memastikan lembaganya telah menindaklanjuti laporan keuangan mencurigakan sebagaimana dilaporkan FinCEN. Ia menolak mengkonfirmasi sejumlah temuan dalam bocoran dokumen #FinCENFiles yang melibatkan perusahaan dan figur publik di Indonesia. “Kami tak bisa memberikan informasi terkait kasus-kasus individual,” kata Dian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Wayan Agus Purnomo, Aisha Shaidra, Devy Ernis, berkontribusi dalam penulisan artikel ini bersama Tim Liputan ICIJ dan Buzzfeed News. Liputan ini adalah hasil kolaborasi Tempo dalam jejaring 110 media dari 88 negara yang dikoordinasi International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan BuzzFeed News. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terbang Dolar Bersama Sukhoi".