Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDUL Chaer memasuki usia tujuh dekade saat memutuskan menyerah menulis dengan komputer sepenuhnya. Kira-kira sepuluh tahun lalu. Dia tak tahan dengan mata yang berair dan kelewat perih, padahal baru sebentar saja menatap monitor. Namun itu tak berarti penulis lebih dari 40 judul buku tentang ilmu bahasa dan budaya Betawi tersebut berhenti pula membuat karya. Naskah demi naskah terus dia serahkan kepada penerbit dalam bentuk tulisan tangan di atas ratusan lembar kertas. “Biasanya oleh penerbit diketik ulang, lalu diserahkan lagi ke saya untuk dikoreksi,” kata pria yang akrab disapa Babeh Chaer ini lewat wawancara virtual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan cara ini pula dia menulis buku terbarunya, Mencari Si Pitung: Kontroversi Jago-Jago Betawi, yang terbit bertepatan dengan peringatan ulang tahunnya yang ke-80 pada 8 November lalu. Tak jarang Chaer memanfaatkan kertas-kertas sisa cetakan untuk menulis. JJ Rizal, sejarawan dan pendiri penerbit Masup Jakarta yang banyak mencetak buku Chaer, paling ingat saat Chaer menyerahkan naskah edisi revisi Kamus Dialek Jakarta. Naskah kamus berisi daftar lebih dari 10 ribu kata dalam dialek Betawi itu ditulis Chaer di atas kardus bekas. Berkas bertulisan tangan Chaer itu hingga kini masih disimpan di kamar Abdul Chaer, salah satu nama kamar di penginapan Rumah Sawomateng, Depok, Jawa Barat, yang dikelola Rizal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Rizal, upaya Chaer terus menulis hingga usia senja tak hanya menunjukkan ketekunannya, tapi juga sekaligus menjadi peruntuh macam-macam stereotipe orang Betawi yang umum diyakini. “Segala yang sifatnya stereotipe tentang orang Betawi, seperti pemalas, tidak produktif, atau hanya mengandalkan kekayaan dari menjual tanah, mati di tangan seorang Abdul Chaer,” ujar Rizal dalam wawancara telepon.
Abdul Chaer adalah seorang Betawi tulen yang lahir di Karet Kubur, Tanah Abang, Jakarta. Pada 1962, Chaer menamatkan pendidikan di sekolah guru atas dan lanjut mengambil jurusan bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia, yang menjadi cikal-bakal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Setelah menjadi dosen linguistik di almamaternya, Chaer makin tekun mendalami ilmu tersebut. Studi pascasarjananya adalah ilmu linguistik di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, pada 1976-1977.
Separuh dari puluhan buku yang ditulis Chaer adalah buku perkuliahan. Bersama penerbit Rineka Cipta, dia mencetak 27 judul, antara lain Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (1990), Gramatika Bahasa Indonesia (1993), Sosiolinguistik Perkenalan Awal (1995), Psikolinguistik: Kajian Teoretik (2003), serta Leksikologi dan Leksikografi (2007). Buku-buku Chaer hingga kini masih menjadi pegangan mahasiswa bahasa di sejumlah universitas. “Buku-buku untuk bahan kuliah adalah yang paling rumit karena harus benar dan bertanggung jawab terhadap akademi,” tutur Chaer.
Bersamaan dengan kecintaannya pada linguistik, Chaer mendalami budaya tanah kelahirannya. Sekitar pertengahan 1970-an, seorang temannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan sebuah kamus bahasa Betawi yang disusun penulis Jerman. Chaer merasa terketuk karena bahasa ibunya malah dibukukan oleh orang asing. Ini mendorongnya untuk menyusun buku Kamus Dialek Jakarta yang akhirnya diterbitkan oleh Nusa Indah pada 1976. “Menurut saya, kamus ini pencapaian paling tinggi Abdul Chaer,” kata JJ Rizal.
Penerbitan kamus itu membuka jalan Chaer untuk bergaul makin akrab dengan bermacam lembaga dan komunitas Betawi. Dia antara lain menjadi anggota pakar Lembaga Kebudayaan Betawi. Dari situ, dia terus menggali ragam kebudayaan Betawi dan merekamnya dalam puluhan buku.
Pendekatan Chaer atas budayanya kadang serius, kadang sangat ringan. Pada 2007, dia menerbitkan buku Ketawa-Ketiwi Betawi: Humor dari Batavia sampai Jabodetabek yang berisi kumpulan cerita humor yang konon “betoel kedjadian” di Betawi-Jakarta. Humor-humor pendek ini menyentuh banyak isu, dari sosial, politik, ekonomi, hingga tokoh terkemuka. Meski jenaka, buku kecil ini ternyata merupakan upaya serius Chaer untuk meluruskan persepsi atas humor Betawi yang sering digambarkan kasar dan menghina di media serta televisi. Pendekatan serupa dilakukan Chaer saat ia mengumpulkan dongeng yang berkembang di tengah masyarakat Betawi dalam Dongeng Betawi Tempo Doeloe.
Banyak di antara tulisan Chaer tentang Betawi dapat dijadikan referensi berharga untuk mengenal dan mempelajari segala aspek sejarah dan tradisi yang tumbuh di komunitas ini. Betawi Tempo Doeloe (2015) adalah hasil penelusuran ilmiah tentang asal-usul kelompok etnis Betawi, bagaimana mata pencarian hingga kepercayaannya, juga nilai-nilai yang menjadi identitas kebudayaan Betawi.
Adapun lewat Folklor Betawi, yang sudah dicetak dua kali, Chaer mendokumentasikan segala informasi tentang prosa rakyat, nyanyian, permainan tradisional, bahkan ragam arsitektur, busana, kuliner, dan perabot dalam kehidupan orang Betawi. Chaer tak hanya menyinggung secara umum, tapi juga mencantumkan dengan rinci lirik-lirik lagu Betawi, teknik dan langkah dalam tiap permainan tradisional, serta bahan yang digunakan untuk memasak hidangan kuliner Betawi.
Tulisan-tulisan Chaer juga mencerminkan kedisiplinannya sebagai seorang akademikus karena selalu menjelaskan landasan dan metodologi yang dia pakai. Kekuatan lain karya-karyanya, menurut JJ Rizal, adalah kemampuannya menempatkan legenda dan sejarah pada konteks permasalahan sosial yang masih muncul hingga hari-hari ini. Misalnya, ketika menulis tentang Si Pitung, narasi yang dikemukakan Chaer bukanlah konteks merayakan kepahlawanan Pitung dalam memori orang Betawi. “Chaer justru membawa kita untuk melihat bagaimana kekuasaan yang zalim, memiskinkan, dan mengabaikan kemanusiaan akan melahirkan hal-hal yang berbahaya bagi kekuasaan itu sendiri,” ujar JJ Rizal.
Dalam buku lain, tecermin nostalgia pribadi Chaer sebagai orang yang terlahir saat kampung-kampung Betawi masih hijau dan berada di pusat kota. Hampir empat tahun dia mempersiapkan buku Tenabang Tempo Doeloe, yang diterbitkan Masup Jakarta pada 2017. Dalam buku itu, Chaer menuangkan ingatan dan sejarah personalnya sebagai anak Tanah Abang terkait dengan keberagaman etnis warganya, keramaian masa lalu di salah satu pasar tertua di Batavia itu, juga seniman kenamaan asal Tenabang, seperti Bang Beni, Bang Jaid, dan Bang Maman.
Seperti banyak orang Betawi lain, Chaer telah tergeser jauh dari kampung aslinya. Dia kini tinggal di Pondok Kelapa, Duren Sawit, yang dia sebut “bersempitan dengan orang lain”. “Sewaktu masih kecil, tinggal di kampung rasanya nikmat sekali. Sekarang kampung Betawi sudah habis tergusur tuntas, tas, tas, tas…,” ucapnya, getir.
Dalam acara virtual perayaan 80 tahun usia Abdul Chaer, sastrawan Betawi, Zen Hae, menyebutnya sebagai ahli bahasa yang berdiri sendirian karena dialah satu-satunya intelektual Betawi pada masa kini yang menelaah bahasanya sendiri. Perhatian Chaer juga tak terbatas hanya pada bahasa Betawi. Dia juga menggali folklor, sejarah lisan, dan cerita rakyat Betawi yang berada di antara mitologi dan fakta sejarah, seperti Si Pitung. “Maqom Abdul Chaer belum tergantikan,” tutur Zen Hae.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Abdul Chaer
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 8 November 1940
Pendidikan:
- Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (1969)
- Rijksuniversiteit Leiden, Belanda (1977)
Penghargaan:
- Penghargaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Bidang Kebudayaan (2002)
- Anugerah Budaya dari Gubernur DKI Jakarta (2011)
- Penghargaan Bentara Budaya Jakarta sebagai Pelaku Kebudayaan (2017)
- Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari Budaya dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo