Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Satir Corona Ala Heri Dono

Heri Dono memvisualisasi pandemi corona dalam pemeran tunggalnya di Yogyakarta, yang digelar sejak 6 November 2020. Menampilkan tujuh lukisan dan empat instalasi.

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan karya Heri Dono berjudul Battle of the Invisible Enemies di Galeri Srisasanti Syndicate Tirtodipuran, Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRABU Salya menggenggam jam weker, menunggang kuda berkaki roda. Dia datang bersama candrabirawa. Ajian Prabu Salya itu membawa malapetaka berupa pagebluk. Bencana mematikan berbentuk raksasa dengan kepala bermahkota paku-paku, citraan virus corona. Virus ini menyebar dan berhamburan ke semua penjuru medan perang Baratayuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makhluk berotot itu mengenakan celana dalam dan sepatu lars merah. Dengan mulut menganga, ia memperlihatkan gigi tajam seperti buaya, menjulurkan lidah berwarna merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Baratayuda antara pasukan Kurawa dan Pandawa terus berkobar. Yudhistira, salah satu tokoh Pandawa, akhirnya menang melawan Prabu Salya yang menggunakan ajian.

Itu adalah bagian dari lukisan perupa Heri Dono yang berjudul Battle of the Invisible Enemies. Lukisan berukuran 180 x 420 sentimeter tersebut mengeksplorasi cerita wayang pada lakon Mahabharata. Karya bertarikh 2020 yang menggunakan bahan cat akrilik di atas kanvas tersebut berukuran paling besar dibandingkan dengan enam lukisan lain.

Selain menampilkan karya dua dimensi, Heri Dono menyuguhkan dua karya seni instalasi berefek kinetik yang memunculkan berbagai bebunyian. Dua seni instalasinya berbentuk becak elektronik dan televisi dengan robot mekanik. Karya ini menghasilkan gerak, bebunyian, dan lampu bila pengunjung menyentuh tombol melalui kaki.

Karya Heri Dono berjudul Pseudo Superheroes di Galeri Srisasanti Syndicate Tirtodipuro, Yogyakarta. Tempo/Shinta Maharani

Karya Heri Dono tersaji dalam pameran tunggal bertajuk “Kala Kali Incognito” di Galeri Srisasanti Syndicate, Jalan Tirtodipuran, Yogyakarta, 6 November 2020-3 Januari 2021. Kala Kali Incognito menggambarkan pertempuran manusia melawan virus corona. “Pertarungan tanpa harapan melawan roda waktu. Kala adalah dewa waktu dan Kali sebagai dewi kematian,” kata Heri Dono saat ditemui di galeri tersebut, Rabu, 18 November lalu.

Dalam mitologi Jawa, ketika terjadi gerhana bulan, manusia harus keluar pada malam hari dan memukul kentongan bambu, lalu membuat suara sebanyak mungkin. Tujuannya untuk menakut-nakuti Kala yang ingin menelan bulan dan menjerumuskan bumi dalam kegelapan.

Seniman yang kerap diundang dalam perhelatan biennale internasional ini sudah sering menggarap lukisan dan seni instalasi dengan figur-figur karikatural. Dia kerap memindahkan cerita wayang ke kanvas sesuai dengan gaya melukisnya. Adapun dalam lukisan Battle of the Invisible Enemies, Heri ingin menunjukkan bahwa pagebluk dan cara mengatasi makhluk tak kasatmata sudah ada pada masa lampau. Dia meminjam kisah Yudhistira yang melawan ajian candrabirawa milik Prabu Salya.

Dalam dunia pewayangan, candrabirawa adalah jin raksasa bertubuh kerdil yang bila dipukul atau diserang akan membelah menjadi dua. Bila diserang lagi, ia akan membelah diri menjadi empat dan begitu seterusnya, mengikuti deret ukur. Candrabirawa berganti kulit setiap seribu tahun sekali.

Heri pun mengajak orang untuk merenung dan berkontemplasi tentang asal virus tersebut. Penyakit-penyakit baru yang ditularkan dari hewan ke manusia, seperti virus corona, muncul karena ulah manusia yang merusak ekosistem. “Untuk melawan corona, manusia harus terbebas dari sifat serakah dan merusak lingkungan,” ucap Heri.

Heri juga menyindir kepongahan manusia menghadapi pandemi Covid-19 lewat lukisan berjudul Pseudo Superheroes berukuran 200 x 200 cm. Dia memparodikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyepelekan virus corona. Dengan rambut kuning emas dan tekstur wajah serupa komodo, Trump digambarkan sedang membuka mulut dan menjulurkan lidah. Dia memanggul senjata. Di lengan kanan dan kirinya masing-masing tertera tulisan “ketua” dan “gila”.

Lain halnya Presiden Cina Xi Jinping, musuh Trump, yang digambarkan sedang mengisap cerutu dengan pipa cangklong. Ada juga figur mirip vampire yang digambar melayang bersama Xi Jinping. Sekilas figur-figur itu seperti Casper, tokoh animasi film kartun. Di sebelah Trump juga ada figur dengan embel-embel kata “super” dan “hero” pada masing-masing lengannya. Di sampingnya lagi ada citraan makhluk serupa tokoh kartun Jenny yang diberi keterangan tulisan “hansip” dan “linmas”.

Lewat karyanya, alumnus Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini menyindir politikus berlagak pahlawan yang ingin menyelamatkan manusia dari wabah. Trump, misalnya, menganggap virus corona sebagai bagian dari strategi politik Cina. Dia juga kerap melontarkan pernyataan rasis. “Politikus dunia bukan ahli dan malah menyepelekan virus corona,” kata Heri.

Corona juga memicu perdebatan antarnegara mengenai siapa yang paling bertanggung jawab terhadap virus itu. Pada lukisan berjudul Jokers in Conspiracy Theory, seniman yang meraih Prince Claus Award dari Belanda itu menggambar tiga figur yang mewakili politikus, badut, dan joker. Ketiga makhluk berlidah merah menjulur tersebut sedang berbincang akrab. Dua di antaranya berada di mobil beroda tanpa atap. Virus corona jumbo melayang di sekitar mereka.

Lukisan itu menceritakan rumor tentang siapa yang menciptakan virus corona. Di tengah saling tuding tentang siapa yang bertanggung jawab, para politikus berusaha membangun tatanan hidup baru untuk mengontrol kehidupan manusia dengan teknologi dan satelit ruang angkasa. Di bagian ini, Heri ingin membawa pesan soal teknologi yang terus mempengaruhi kehidupan manusia.

Hampir semua karya dua dimensi Heri menampilkan bentuk roda. Dia menjelaskan, citraan roda dalam karyanya adalah simbol kemajuan, seperti halnya teknologi di dunia modern. “Diwujudkan melalui orang menciptakan gear dan bermacam-macam mekanik yang menggunakan sistem roda,” ujarnya.

Selain membikin karya dua dimensi, Heri berkreasi dengan instalasi, yang terlihat lebih segar. Salah satunya berjudul Babies Corona Watch Virtual Creatures. Pada karya ini, Heri menampilkan efek kinetik menggunakan rangkaian sirkuit elektronik sederhana. Dari sirkuit elektronik muncul efek bergerak atau bunyi tertentu. Heri merakit lima layar televisi dan kotak radio kuno. Semua kotak itu berisi makhluk dalam posisi duduk dan membaca. Dari dalam kotak di balik kaca, dua bola mata seperti sedang mengawasi.

Untuk instalasi ini, Heri memakai maneken kepala bayi yang ditancapi paku-paku mirip jamur, mirip wujud virus corona. Bayi-bayi itu serempak menelengkan kepala ke kanan-kiri di depan lima layar sembari menonton layar televisi beriring bunyi orang mengobrol dalam bahasa Inggris. Menurut Heri, itu adalah suara dialog pendaratan manusia pertama di bulan dalam misi wahana antariksa Apollo 11 milik Amerika Serikat. Nukilan suara itu ia ambil dari YouTube.

Perupa Heri Dono dan karya seni instalasi berjudul Babies Corona Watch Virtual Creatures dipamerkan di Galeri Srisasanti Syndicate Tirtodipuro, Yogyakarta. Tempo/Shinta Maharani

Seniman kelahiran Jakarta, 12 Juni 1960, ini semula merencanakan pamerannya berlangsung pada Juli 2020. Tapi panitia pameran dari galeri memundurkan jadwal pameran dengan mempertimbangkan protokol kesehatan. Materi pamerannya mulai digarap Heri pada Maret lalu di Studio Kalahan miliknya. Dia meriset dari sejumlah literatur tentang pagebluk, selain dari perkembangan berita teranyar.

Elisabeth D. Inandiak, penulis buku Kala Kali Incognito, yang melengkapi pameran itu, mengatakan semua karya dalam pameran ini adalah cerminan Heri Dono selama pandemi. Pada awal Maret, Heri tidak melakukan apa-apa selain menjaga kesehatan. Dia menghabiskan waktu untuk berjemur di bawah sinar matahari serta mengonsumsi vitamin, buah-buahan, dan jamu. Beberapa bulan kemudian, baru Heri membuat catatan, sketsa, lalu melukis dan merakit dua seni instalasi.

Dia memberikan catatan tentang bayi-bayi corona karya Heri yang muncul pada tahap paling akhir. Menurut Elisabeth, bayi-bayi itu menjadi pemeran utama dari dua instalasi seni yang dipamerkan. Sejak lahir, mereka menyaksikan berita dengan takjub melalui kotak dan televisi berlubang. “Gambaran bagaimana manusia menggerakkan tangannya seperti robot dan mencemari bumi,” tulis Elisabeth dalam buku itu.

SHINTA MAHARANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus