Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN rahasia itu terjadi di salah satu sudut Kota Bangkok, Thailand, pada Maret 1967. Ali Moertopo mendapat tugas mahapenting: membujuk Sumitro Djojohadikusumo kembali ke Tanah Air. Pakar ekonomi pembangunan ini meninggalkan Indonesia karena ikut mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, 15 Februari 1958.
Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali di Operasi Khusus, yang hadir di sana, mengingat dengan jelas peristiwa itu. Ali mengajak bertemu untuk makan siang bersama. Perbincangan mereka dimulai dengan beragam topik tentang kondisi Indonesia.
Menjelang pertemuan itu usai, Ali melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah disiapkan dari Jakarta: "Apakah Pak Mitro bersedia kembali ke Tanah Air?" Berpikir sejenak, ayah mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Prabowo Subianto ini langsung menyanggupi. Misinya berhasil, Ali sangat lega ketika itu.
Menurut Sugiyanto, operasi di Negeri Gajah Putih itu merupakan tugas khusus dari Soeharto yang menjadi penjabat presiden. Sebagai staf pribadi, Ali dinilai bisa merayu Sumitro pulang. "Dan tugas itu bisa dilaksanakan dengan baik," katanya.
Kepada Tempo pada April 1999, Sumitro membenarkan pertemuannya dengan Ali. Dia mengaku sudah lama mendengar kabar bahwa Soeharto mengutus Ali untuk mendekatinya. Sang Presiden ingin menjadikannya juru damai sengketa Indonesia dengan Malaysia.
Semula Sumitro mencoba berkelit dari tawaran itu, sampai akhirnya Ali datang ke Bangkok dan membujuknya pulang. Dia menyebut tiga tokoh PRRI lain yang berperan sebagai mediator, yaitu Henk Tombokan, Jerry Sumendap, dan Frans Saerang.
Empat bulan setelah pertemuan itu, Ali mengutus Sugiyanto menjemput Sumitro. Operasi ini benar-benar senyap karena hanya diketahui dua orang: Ali dan Soeharto. Menurut Sugiyanto, hampir selama tiga bulan dia menyembunyikan Sumitro dengan cara berpindah-pindah tempat tinggal.
Pertama kali, Sumitro diinapkan di Hotel Indonesia selama dua pekan. Pekan ketiga, ia menumpang di rumah teman Sugiyanto di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Selanjutnya, mereka mengontrak rumah di sekitar kawasan Kebayoran Baru. "Tujuannya agar tidak mudah ditemukan orang-orang Presiden Sukarno," katanya. "Ini perintah Pak Ali."
Keputusan pulang ke Tanah Air berbuah manis buat Sumitro. Tepat di hari ulang tahunnya pada 29 Mei 1968, Soeharto mengangkat dia sebagai Menteri Perdagangan. Jabatan itu ditawarkan saat Sumitro ditemani Ali dan Soedjono Hoemardani bertandang ke kediaman Presiden. Saat itu, mereka bertiga dijamu Soeharto.
Seusai perjamuan di rumah Presiden, Ali mengakhiri operasi rahasia menyembunyikan Sumitro. Sugiyanto diperintahkan mengundang wartawan ke Gedung Press Club, Wisma Berita, Jakarta Pusat. Pertemuan di gedung yang sekarang menjadi tempat berdirinya Hotel Grand Hyatt itu bertujuan membuka jejak sang Menteri ke media. Saat tampil membacakan pernyataan, Sumitro didampingi Sudharmono dan Widjojo Nitisastro.
Sebagai staf pribadi dan pemimpin Operasi Khusus, kata Sugiyanto, tugas Ali beraneka ragam. Tidak hanya menyiapkan keperluan administrasi, ia aktif dalam melancarkan operasi intelijen. "Ali juga menjadi penghubung Soeharto dengan pihak lain," ujar Sugiyanto. "Sebagai intelijen, tugasnya macam-macam."
Cerita lain, Ali pernah diminta Soeharto mencari seorang pelukis. Saat itu 12 Maret 1967, Soeharto baru saja dilantik sebagai presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Dari sejumlah kandidat pelukis, Ali memilih Basoeki Abdullah.
Sepekan kemudian, Sugiyanto ditugasi menjemput Basoeki di Bangkok. Nama Basoeki bukan muncul dari Soeharto. "Kami mencari pelukis tanpa perlu menunggu perintah Presiden," katanya.
Jusuf Wanandi, pengurus Centre for Strategic and International Studies, mengatakan Soeharto sudah sedemikian percaya kepada Ali sejak Ali menjadi anak buahnya di Teritorium IV Divisi Diponegoro. Selain Ali, dua anggota Divisi Diponegoro yang dipilih menjadi staf pribadi Presiden adalah Yoga Soegomo dan Soedjono Hoemardani. "Cuma, mereka sempat terpisah karena dituduh korupsi," ujarnya.
Ketiga anak emas itu kembali disatukan Soeharto saat memimpin Cadangan Utama Angkatan Darat, yang menjadi cikal-bakal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, hingga terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Awal-awal menjadi penjabat presiden, Soeharto menghimpun mereka dalam lembaga staf pribadi.
Alamsyah Ratu Perwiranegara ditunjuk sebagai koordinator. Anggotanya antara lain Soedjono Hoemardani, yang membawahkan bidang ekonomi, Yoga Soegomo (bidang intelijen luar negeri), dan Ali Moertopo (bidang intelijen dalam negeri).
Dua tahun berjalan, lembaga staf pribadi ini dibubarkan karena menuai sorotan. Tapi, pada Juli 1968, Soeharto membentuk lagi lembaga baru dengan nama asisten pribadi (aspri). Di sana hanya ada tiga orang anggota, yaitu Ali, Soedjono, dan Soerjo Wirjohadipoetro. Ali dipercaya mengurus bidang politik dan keamanan, Soedjono bidang ekonomi, sedangkan Soerjo sebagai bendahara operasi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Di lembaga baru itu, peran duet Ali dan Soedjono tetap dominan. Mereka diberi keleluasaan datang bertemu dengan Soeharto di Cendana tanpa melalui protokoler. "Kalau Ali datang, Soeharto pasti menerimanya," kata Sugiyanto.
Jusuf memiliki cerita lain tentang peran dua orang itu. Sebelum mengambil sebuah keputusan, Soeharto pasti meminta pendapat Ali. Selanjutnya, Ali meminta "penerawangan" Soedjono sebelum memberikan jawaban. "Soedjono memang dikenal jago soal kebatinan," ujarnya.
Dominasi kedua aspri itu memantik ketidaksenangan para seniornya di militer. Salah satunya Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Perseteruan mengemuka saat terjadi Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Ali tersingkir sebagai asisten pribadi dan Soemitro terpental dari Kopkamtib.
Tulang Babi di Rumah Nomor 18
Ali Moersalam masih mengingat satu kejadian pada 1970-an. Di rumah Ali Moertopo di Jalan Matraman Raya Nomor 18, Jakarta Timur, Soedjono Hoemardani menegur sedikit keras sahabatnya itu soal sebongkah tulang babi yang tergantung di salah satu sudut rumah. Si empunya rumah percaya tulang babi bisa menjauhkannya dari bahaya.
Soedjono, yang dikenal sebagai penganut aliran kebatinan dan penghayat spiritual, pun menganggap tulang babi tak baik bagi Ali Moertopo. "Copot itu. Itu tidak hanya menjauhkan mara bahaya, tapi malaikat juga tidak mau masuk ke rumah kamu," ujar Ali Moersalam menirukan ucapan Soedjono kepada kakaknya, dua pekan lalu. Ali Moertopo mengikuti nasihat Soedjono dengan membuang tulang babi itu.
Ali Moertopo dan Soedjono selama ini dikenal sebagai dua orang kepercayaan Soeharto ketika membangun Orde Baru. Tapi tak banyak orang yang mengetahui kedekatan mereka di luar urusan pekerjaan. Menurut Moersalam, Soedjono dan Ali memiliki hubungan khusus. "Keluarganya juga dekat. Mereka sudah seperti saudara," ujar pria 81 tahun itu kepada Tempo.
Lucky Ali Moerfiqin, anak kedua Ali Moertopo, menuturkan hubungan ayahnya dan Soedjono seperti kakak-adik. Soedjono beserta istri dan 12 anaknya kerap bertandang ke rumahnya untuk berdiskusi tentang pelbagai hal. Mereka berbincang berdua dan membiarkan anak-anak bermain. Istri mereka kerap pergi bersama karena sama-sama aktif di Yayasan Ria Pembangunan—yayasan istri pejabat Orde Baru yang dibentuk Tien Soeharto. "Saya dulu sunatannya bareng sama anak Pak Soedjono, Mas Tony," katanya.
Ali juga kerap meminta nasihat Soedjono jika hendak menggelar hajatan penting, seperti pernikahan atau sunatan. Menurut Lucky, ayahnya sering meminta Soedjono menghitung tanggal baik untuk hajatan. "Sewaktu saya dan kakak saya menikah, Pak Soedjono yang menghitung tanggal baik, syaratnya apa saja."
Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama bertugas di Divisi Diponegoro, Semarang, pada akhir 1950-an. Soeharto, yang masih berpangkat kolonel, menjabat panglima divisi itu. Soedjono sudah bertugas di sana sejak awal kemerdekaan dan menjabat Kepala Urusan Keuangan Teritorial IV pada 1958. Sedangkan Ali baru pindah ke Semarang pada akhir 1958, setelah menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Ali, yang berpangkat kapten, menyandang jabatan Deputi Asisten V Divisi Diponegoro. Keahlian Ali dalam bidang operasi dan intelijen serta keahlian Soedjono dalam mengurus bisnis dan keuangan membuat mereka menjadi orang kepercayaan Soeharto.
Namun, ketika Soeharto ditarik ke Jakarta pada 1959, hanya Ali yang dibawa. Di Jakarta, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Abdul Haris Nasution menugasi mereka membentuk Korps Tentara Ke I/Cadangan Umum Angkatan Darat (Korra-I/Caduad), yang kemudian dikenal sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Soedjono baru menyusul setahun kemudian, setelah Nasution mengangkatnya sebagai Asisten Deputi Keuangan Kepala Staf Angkatan Darat.
Menurut Moersalam, hubungan sepasang sahabat ini pun makin erat, terutama setelah mereka diangkat sebagai staf pribadi Soeharto pada pertengahan 1966. Jabatan itu kemudian berubah menjadi asisten pribadi pada 1968. Soedjono menjadi asisten bidang ekonomi, sedangkan Ali bidang politik.
Keduanya juga dikenal sebagai pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang menjadi lembaga think thank Orde Baru. Moersalam mengatakan keberhasilan Soedjono mendatangkan pengusaha Jepang berinvestasi di Indonesia tak lepas dari peran Ali Moertopo, yang bergabung dalam Indonesia Lobby. Tim ini bertemu dengan Soedjono dan Menteri Luar Negeri Adam Malik pada 1966 di Jepang. Salah satu anggota tim lobi adalah Nakajima Shinzaburo, pengusaha yang pernah mendukung pemberontakan PRRI di Sumatera Barat yang ditumpas Ali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo