Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perihnya gila merica

Dayang,29, warga desa delas, sumatera selatan, gila akibat harga lada anjlok. orang tuanya, bakri,53, memanfaatkan deritanya dengan cara memasung di tengah sawah. ulahnya menyebabkan burung pemakan padi kabur ketakutan

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LADA alias merica pedasnya bukan main. Sampai menyengat saraf, akibatnya bisa gila, seperti dialami Dayang, 29 tahun, warga Desa Delas, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka, Sumatera Selatan. Perempuan berkulit putih ini anak ketiga dari empat bersaudara dalam keluarga petani lada. Semula ia waras, dan menikah tujuh tahun silam dengan Husni, 31 tahun. Mereka dibekali satu hektare lahan perkebunan, yang mereka tanami lada. Pada tahun 1986 itu di pasar harga lada sedang top, yakni Rp 9.500/kg. Umpan uang, ya, uang juga. Mereka pun menumpahkan jutaan rupiah di kebun lada itu. Tiba saat panen, dua tahun kemudian. Harganya anjlok menjadi Rp 1.000/kg. Meski nasib malang ini bukan cuma monopolinya, toh Dayang merasa badannya jadi bayang-bayang. Dia oleng, lantas sedeng atau sinting. Upaya mengobatinya ke beberapa dukun sia- sia. Dayang suka memekik, memukul -- termasuk anaknya sendiri yang masih berusia setahun. Husni, yang tak ikut sinting, tak tahan. Lalu ia memboyong anaknya, raib entah ke mana. Orang tua Dayang, yakni Umi, 49 tahun, dan Bakri, 53 tahun, seraya mengurut dada terus berkebun lada dan tanaman tumpang sari. Namun, nasib masih mengolok-olok mereka. Sudah lada jatuh di pasar, eh, panen jagung, singkong, dan lain-lain pun mereka kalah cepat dari burung atau babi hutan. Apalah daya kecuali bertepuk untuk mengusir hama tanaman itu. Letih, memang. Sampai satu saat Bakri bagai terjaga mendengar Dayang yang menjerit- jerit sendirian terkurung di kamar. Ia kemudian memindahkannya ke kebun, dan membiarkannya mengobral jeritan, sekaligus dianggapnya bisa mengusir hama tanaman tadi. Itulah awalnya Dayang dipasung di dangau tanpa dinding itu. Kaki dan tangannya diikat. Buhulnya dihubungkan dengan tali yang merentang ke seluruh penjuru kebun. Jadi, tiap kali Dayang berontak, kebun jadi meriah karena kaleng susu berisi kerikil di sepanjang tali kelontang-kelonteng. "Babi dan burung, semuanya lari," tutur adiknya kepada Ali Fauzi dari TEMPO. Ternyata, orang gila diberi tugas menjaga kebun bukan cuma Dayang. Menurut sumber di Kantor Wilayah Departemen Sosial Sumatera Selatan, sedikitnya ada delapan orang gila yang pernah ditugasi menghalau hama. Menurut Camat Toboali, Soekami, 41 tahun, di wilayahnya terdapat 210 warga pengidap aneka penyakit. Yang cacat mental diperkirakannya sekitar 10%. "Bisa jadi lebih banyak, karena masyarakat tak mau melaporkan anaknya yang gila," kata Soekami. Akan halnya nasib si Dayang, orang sekampung, termasuk kepala desa, tampaknya mafhum alasan pemasungannya meski disadari tidak manusiawi. Maka, Duarni, kepala desa setempat, menyeru segenap warga untuk menyumbang. Terkumpul Rp 50.000. Dayang diboyong ke rumah sakit jiwa Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka, sekitar 185 km dari Desa Delas. Tiga kali dirawat, tapi, begitu pulang, ia kumat lagi. Sampai hari ini Dayang dipasung di ruang 2,5 m X 3 m, di belakang rumah orang tuanya. Di ruang gelap berlantai tanah itu ia makan, minum, tidur, atau buang hajat. Juga mandi, dibantu Misnawati, 18 tahun, adik kandungnya. Setahun terakhir keadaannya kian parah dan sumbangan juga merosot. Usaha memanfaatkan orang semacam Dayang boleh jadi karena menurut orang tua-tua tak ada manusia yang tak berguna di muka bumi ini, termasuk yang cacat sekalipun. Itu terkenal dengan ungkapan, si tuli penyundut meriam, si buta peniup lesung, si lumpuh penjaga jemuran, dan sebagainya. Tapi orang gila juga dimanfaatkan terus menggila, ini tentu perlu diseminarkan lebih jauh.Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum