Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ibu kita priayi dan santri

Penulis : th. sumartana jakarta: pustaka utama grafiti, 1993 resensi oleh: mohamad sobary

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM menyikapi Islam, kaum orientalis orang Barat yang, kabarnya, mengagungkan objektivitas itu selalu terperosok ke dalam lembah prasangka buruk dan kehilangan objektivitas. Lain halnya dengan teolog Kristen kita, Dr. Th. Sumartana yang menulis buku ini. Objektivitas dengan teguh ia pertahankan. Dan kehangatan pendekatannya malah membuat kita merasa buku ini bak ditulis "orang dalam" sendiri. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, bagian yang dicuplik dari disertasinya itu, memperkenalkan sisi lain dari "potret" Ibu Kita Kartini. Tokoh gerakan emansipasi wanita, yang disebut Dr. Taufik Abdullah dalam pengantar, "aktor sejarah yang berselimut dunia nilai" atau "tokoh yang pernah hidup di dunia nyata sekaligus penghuni wilayah makna", itu ternyata tak hanya bicara mengenai pembebasan wanita sebagaimana trade mark-nya. Ia juga bergulat dengan pesoalan spiritual, Tuhan dan agama, dalam hal ini Islam yang dipeluknya dengan hangat tapi kritis. Kita, jadinya, berhadapan dangan sosok Kartini yang memiliki banyak wajah. Ia seorang priagung, seorang "Den Ayu", putri Bupati Jepara, istri Bupati Rembang, dan siapa meragukan kesantriannya? Priayi, sekaligus santri yang dulu tak terbayang di benak Geertz dan "jamaahnya" bahwa kombinasi "aneh" itu ada ini, tak diragukan. Ia seorang intelektual yang gelisah berhadapan dengan zamannya. Sisi kehidupan intelektual Den Ayu ini, sekarang-sekarang ini, terutama komitmennya terhadap perkara Tuhan dan agama, termasuk soal dialog antaragama, justru makin relevan sebagai jembatan dialog untuk memperluas wawasan budaya kita. Ia membuat kita merasa tidak eksklusif dalam pergaulan antarbudaya. Dengan ini kita terhindar dari keangkuhan spiritual: memandang citra diri paling suci, paling benar, paling Islami. Jembatan spiritual macam itu sering membantu kita "menemukan" kembali Tuhan yang tak jarang sedang "terselip" dalam kegelapan batin kita sendiri. Berkatalah Kartini, "Lama benar dan jauh benar kami mencari. Kami tidak tahu bahwa apa yang kami cari begitu dekat dengan hati kami, di sekeliling dan ada pada kami. Yang kami cari ada di dalam diri kami." Pergulatan batinnya yang gigih, termasuk dialog-dialog dengan Ny. Van Kol, "gurunya", membawa Ibu Kita itu pada kegelisahan memikirkan kemunafikan dalam selubung agama. Sebab, bagi Kartini, ukuran kesalehan seseorang bukan omongannya, dan juga bukan agama "resmi" yang dipegangnya, melainkan tindakannya. "Jalan menuju kepada Allah," katanya, "hanya satu, yaitu jalan pengabdian kepada-Nya." Perbuatan baik, wujud dan ungkapan cinta kepada sesama, termasuk pengabdian kepada-Nya itu. Ini lahir dari pedoman etis yang dipegangnya. Tentu saja akan ada di antara teman-teman kita sendiri yang menuding Kartini tidak Islami karena ia menyebut "Bapa" yang baik hati untuk "pengganti" Allah, semata karena ungkapan "Bapa yang ada di surga" itu telah lebih dahulu menjadi "milik" umat Kristen. Kartini menggunakan metafora "Bapa" karena interpretasinya sendiri dalam hubungannya dengan ayahnya, yang di matanya, memang Bapa yang baik. Tapi "Bapa" bukan sosok biologis, melainkan sifat dan watak: Maha menjaga, Maha memperhatikan, Maha melindungi. Pendidikan resmi keagamaan Kartini sederhana: cuma ngaji kitab suci Quran, ngaji cara kampung (bukan cara pesantren), yang bisa saja sampai khatam, tapi tak mengerti maknanya. Sebagai pemeluk kritis ia mengeluh pada Stella, "Saya menganggap hal itu pekerjaan gila, mengajar orang membaca tanpa mengerti apa yang dibacanya." Protes ini tak ditujukan pada Islam, melainkan pada tradisi pendidikan agama yang hampa, tanpa rasa, tanpa makna. Ia sadar bahwa ia menjadi Muslim semata karena keturunan. Pengetahuan agamanya boleh dibilang terbatas. Tapi kematangan dan pencariannya sendiri membuatnya punya kepedulian yang hangat terhadap agama. Cintanya pada Islam mendorong Kartini bertekad: "Bersama dengan Nyonya (Van Kol) kami berharap semoga kami mendapat rahmat agar suatu ketika dapat membuat wujud agama patut disukai dalam pandangan pemeluk agama lain." Dan bagi Kartini agama harus mampu mengantarkan orang pada kecenderungan menjaga harmoni dalam hidup antarbudaya. Kartini boleh dibilang seorang pluralis. Ia tak melihat agama dari segi-segi yang cuma bersifat teknis-instrumental. Ia menekankan fungsi profetiknya: agama diturunkan Tuhan bukan buat keperluan Tuhan, tapi buat manusia. Agama mengatur hidup kita demi kesejahteraan kita. Segi etnosentrisme lebih penting daripada teosentrismenya. Logis bila kita berkesimpulan bahwa benang merah pemikiran buku ini adalah "usaha membangun jembatan dialog yang enak dan toleran antarumat". Kartini, pendeknya, tak memutlakkan kebenaran agamanya di hadapan pemeluk agama lain. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini Penulis Th. Sumartana Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993, 145 halaman. Mohamad Sobary

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus