DARI tahun ke tahun, baik pemerintah, politisi, maupun pengamat membahas APBN lebih pada nilai kuantitatif dan kenaikan persentase angka-angkanya. Memang tidak bisa disangkal bahwa kenaikan angka-angka APBN secara teoretis diharapkan dapat berpengaruh terhadap dinamika pembangunan sosial dan ekonomi di lapangan. Dalam prakteknya ternyata banyak mitos yang menyangkal anggapan-anggapan berlebihan terhadap pengaruh APBN terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. APBN di banyak negara sedang berkembang ternyata banyak dipenuhi oleh mitos yang berlebihan. Dalam teori ekonomi, pengeluaran pemerintah (government expenditure) merupakan injeksi bagi perekonomian nasional. Tapi peningkatan pengeluaran pemerintah tidak selamanya berdampak proporsional pada pembangunan ekonomi karena berbagai faktor yang tidak memungkinkannya berperan optimal. Profesor Barth dan Bradley, dari George Washington University, dalam studinya di 28 negara menemukan kecenderungan dampak pengeluaran pemerintah yang berlawanan dengan teori. Inilah yang mengakibatkan peningkatan APBN hanya menjadi mitos bahwa itu berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Beberapa sebabnya, antara lain, banyak pengeluaran pemerintah yang berdampak sangat minimal terhadap kebocoran pembangunan yang kronis. Kemudian, peningkatan transfer pembayaran dari pemerintah berdampak menekan pertumbuhan sebab, peningkatan pajak dalam transfer pembayaran tersebut akan menurunkan insentif bagi kegiatan bisnis yang produktif. Dan, pembelian barang dan jasa oleh pemerintah menjadi net drain bagi pertumbuhan ekonomi karena pajak dan ongkos ekstradisi utang dari swasta diperlukan untuk mendukung pembelian tadi. Mitos yang lain menganggap manfaat bantuan teknik pembangunan (technical assistance) adalah cara efektif untuk alih teknologi dari negara industri ke negara sedang berkembang. Karena itu, sejumlah besar ahli teknik, ahli ilmu sosial, maupun beragam ahli lainnya dibayar mahal dengan dana yang berasal dari utang luar negeri. Dalam kenyataan, bantuan teknis pembangunan dari negara maju justru lebih banyak menjadi elemen pemborosan keuangan negara. Bahkan proses alih teknologi lebih sering terjadi dalam mekanisme bisnis biasa, bukan dari pola-pola bantuan teknis formal. Menurut Profesor Murai dari Sophia University, Tokyo, sekitar 70 persen dana bantuan teknis dari Jepang kembali lagi ke asalnya. Salah satu jalan kembalinya dana tersebut melalui konsultan asing (dari negara industri) yang dibayar mahal oleh negara sedang berkembang. Dengan demikian, negara penerima memikul beban yang lebih besar dibandingkan dampak positifnya karena berbagai persyaratan bantuan teknis yang kaku. Kemudian juga dipercaya bahwa transfer modal dari negara- negara kaya bisa memperkuat struktur APBN negara-negara sedang berkembang. Ternyata, ini gagal total dalam beberapa dekade belakangan ini. Mekanisme aliran modal dari negara maju ke negara sedang berkembang ini didasarkan pada keyakinan bahwa proyek Marshal Plan pada tahun 1940-an dianggap berhasil, hingga bisa secara otomatis ditranplantasikan untuk kawasan terbelakang lainnya. Namun, ditemukan kenyataan lain. Selama tahun 1970-an dan 1980-an aliran modal dari negara-negara maju tersebut justru menjadi beban, baik di Amerika Latin maupun Asia, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1986-1987, utang luar negeri mulai menjadi beban yang menyulitkan APBN. Ada kecenderungan transfer neto ke luar semakin besar: mulai dari 1,2 triliun rupiah pada tahun tersebut sampai meningkat enam kali lipat (7,9 triliun rupiah) dalam RAPBN 1994-1995. Bahkan akumulasi transfer neto selama sembilan tahun terakhir ini mencapai 42,5 triliun rupiah. Konsekuensi beratnya beban utang luar negeri ini, terjadi tekanan terhadap pengeluaran pemerintah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Prinsip anggaran berimbang yang dikembangkan oleh pemerintah menjadi semu, Sebab, defisit yang ada ditutupi oleh utang luar negeri. Keadaan ini memaksa pemerintah melakukan cara gali lubang tutup lubang. Semakin banyak pos penerimaan yang terpaksa berkorban untuk utang luar negeri ini bukan untuk proyek- proyek pembangunan. Investasi pemerintah juga mengalami tekanan sehingga sektor dalam negeri kurang didorong oleh potensi penerimaan pemerintah. Cicilan utang luar negeri ini sudah menyita penerimaan negara yang besarnya hampir separuh anggaran rutin (17,9 triliun rupiah dari 42,35 triliun rupiah). Bahkan cicilan ini besarnya dua kali lipat dari anggaran untuk membayar gaji empat juta pegawai negeri (10,46 triliun rupiah) di seluruh negara ini. Faktor inilah yang menyulitkan perbaikan gaji pegawai negeri. Mitos manfaat dari aliran modal dari negara maju ke negara berkembang ini kemudian menjadi jerat bagi negara penerimanya. Utang luar negeri yang menjerat APBN Indonesia pada saat ini tidak lepas dari mitos-mitos yang diimplementasikan dengan keyakinan penuh akan manfaatnya. Tetapi hasilnya adalah warisan yang buruk bagi generasi mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini