Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK baru menjerat Edhy Prabowo dalam perkara suap pungutan pengiriman ekspor benur.
Sejumlah pengusaha diduga membayar setoran kepada anak buah Edhy Prabowo untuk mendapatkan izin ekspor.
Suap untuk mendapatkan izin ekspor benih lobster mencapai Rp 5 miliar.
- PAK, saya sudah lihat catatan. Saya dikasih 2,5. Waktu itu kan kami minta 3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
+ Ini jadinya berapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Intinya saya minta yang 500.
+ Wah, berat.
- Tadinya memang arahan dari atasan dia mau 2. Tapi, karena yang lain pada masuk dan complain, akhirnya disamakan menjadi 2,5. Intinya, kemarin disampaikan ada 3, yang 2,5 diserahkan. Nah, saya minta yang 500.
…
Rekaman audio berdurasi sekitar tiga menit itu diterima Tempo pada Selasa, 10 November lalu. Pengirimnya, yang tidak bersedia disebutkan identitasnya, mengatakan percakapan itu antara pengusaha ekspor benur dan pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Sebagian besar perusahaan yang ingin mendapatkan izin ekspor harus setor Rp 3-5 miliar,” ujarnya.
Tampaknya suap untuk memperoleh izin ekspor bayi lobster itu sudah bukan lagi rahasia di kalangan eksportir benur. Tiga eksportir yang ditemui Tempo secara terpisah membenarkan adanya setoran untuk mendapatkan izin ekspor. “Tidak semua bayar. Tapi sebagian besar, sekitar 80 persen, eksportir bayar ‘uang gedung’,” ucap salah seorang eksportir. “Uang gedung” adalah istilah para eksportir untuk menyebut setoran dalam perizinan ekspor benur.
Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka keran ekspor benih lobster pada 5 Mei lalu, sejumlah pengusaha mengajukan diri menjadi eksportir. Dalam tiga pekan sejak pembukaan ekspor, delapan perusahaan langsung mengantongi izin ekspor. Waktu itu tak ada pengumuman pendaftaran calon eksportir yang dirilis oleh Kementerian. Pengumuman pendaftaran baru muncul setelah kedelapan perusahaan tersebut mendapatkan izin.
Satu bulan kemudian jumlah pemegang izin melonjak menjadi 25 perusahaan. Jumlah itu terus bertambah hingga 62 perusahaan pada pertengahan November. “Yang antre masih banyak,” kata seorang pemilik perusahaan ekspor benur.
Berdasarkan aturan, eksportir bisa memperoleh izin ekspor jika telah memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya, ketentuan kuota dan lokasi penangkapan benih lobster yang harus sesuai dengan kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Para eksportir juga harus terbukti berhasil membudidayakan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat setempat.
Di lapangan, persyaratan itu tidak berlaku. Sebagian besar pemegang izin adalah perusahaan yang baru berdiri. Artinya, perusahaan belum pernah membudidayakan lobster hingga panen sama sekali. Tapi mereka sudah bisa melakukan ekspor sejak Juni lalu. Ekspor pertama pada 12 Juni lalu dialamatkan ke Vietnam oleh dua perusahaan pemegang izin awal. Sepekan kemudian, lima perusahaan mengirim sekitar 113 ribu benur. Padahal pembudidayaan lobster membutuhkan enam-delapan bulan.
Para eksportir benur itu diduga bisa memperoleh izin ekspor dengan mudah karena kedekatan mereka dengan Edhy Prabowo, kader Partai Gerakan Indonesia Raya yang menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Misalnya PT Royal Samudera Nusantara yang dimiliki oleh Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap Gerindra Ahmad Bahtiar Sebayang. Selain itu, ada PT Bima Sakti Mutiara yang dimiliki oleh Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sebagian yang lain diduga memperoleh izin dengan cara membayar kepada pejabat Kementerian Kelautan yang dekat dengan Menteri Edhy, seperti tergambar pada percakapan dalam rekaman. Seperti diceritakan sejumlah eksportir, nilai suapnya bisa mencapai Rp 5 miliar.
Di sinilah peran dua anggota staf khusus Edhy, Andreau Misanta Pribadi dan Safri Muis. Menurut tiga eksportir dan seorang penegak hukum, pembayaran melalui Andreau biasanya harus langsung lunas, sedangkan jika melalui Safri bisa dikredit dengan cicilan Rp 1 miliar tiap kali membayar. “Dibayar cash. Penyerahannya kadang dilakukan di parkiran Kementerian Kelautan,” ujar salah seorang narasumber.
Kejanggalan dalam pemberian izin juga terlihat dari masuknya sejumlah perusahaan yang pernah terbukti menyelundupkan benur ke daftar eksportir. Pada Oktober lalu, tiba-tiba muncul sebuah asosiasi baru eksportir benur bernama Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia atau Pelobi.
Pelobi didirikan oleh 12 perusahaan yang terjerat kasus pemalsuan dokumen ekspor benur. Pada 15 September 2020 atau sekitar sebulan sebelum Pelobi dibentuk, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta, Banten, menemukan ketidaksesuaian antara jumlah benur di dokumen dan kargo yang hendak dikirim oleh 12 perusahaan. Berdasarkan dokumen ekspor, benur yang mereka kirim mencapai 1,5 juta ekor, tapi jumlah benur dalam kargo lebih banyak lagi.
Meskipun dibentuk oleh sejumlah perusahaan yang bermasalah, Pelobi mendapat perlakuan istimewa. Kementerian Kelautan berencana menjadikan Pelobi sebagai satu-satunya wadah bagi para eksportir benur. “Dalam sebuah pertemuan, Menteri Edhy meminta kami bergabung dalam satu asosiasi supaya satu suara,” tutur seorang eksportir. Dukungan terang-terangan Menteri Edhy terhadap Pelobi membuat jumlah anggota organisasi ini bertambah dengan cepat. Hingga pertengahan November, sebanyak 40 dari 62 eksportir benur yang telah mendapatkan izin ekspor bergabung dengan Pelobi.
Pelobi juga “ditugasi” sebagai pemberi rekomendasi agar PT Aero Citra Kargo menjadi satu-satunya penyedia jasa pemberangkatan kargo benur ke Vietnam. Padahal biaya yang dipatok PT Aero jauh lebih mahal daripada tawaran perusahaan kargo lain, yakni Rp 1.800 untuk setiap ekor benur—bandingkan dengan harga perusahaan lain yang hanya Rp 200-300 per ekor. Eksportir yang memaksa mengirim benur menggunakan perusahaan selain PT Aero akan dipersulit dalam proses mendapatkan surat keterangan waktu pengeluaran di Kementerian Kelautan. Dari ongkos kargo Rp 1.800 per ekor yang dibayarkan ke PT Aero, Menteri Edhy diduga mendapat jatah Rp 1.500.
Dalam perkara pungutan pengiriman benur inilah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Menteri Edhy dan dua anggota staf khususnya, Andreau dan Safri, sebagai tersangka penerima suap. Adapun dalam hal pemberian izin ekspor, KPK masih menelisiknya.
Ditanyai soal praktik pungutan pengiriman benur dan setoran dalam pemberian izin, bos PT Wiratama Mitra Mulia sekaligus Sekretaris Jenderal Pelobi, Paul Gurusinga, tidak bersedia berkomentar. “Saya tak kompeten berbicara,” ujarnya. Sedangkan Direktur PT Kreasi Bahari Mandiri sekaligus Ketua Pelobi, Irwansyah, belum merespons pertanyaan Tempo. PT Wiratama dan PT Kreasi masuk daftar 12 perusahaan yang diduga melakukan pemalsuan dokumen ekspor pada September lalu.
Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan Muhammad Yusuf mengatakan tidak mengetahui adanya kutipan dalam penerbitan perizinan ekspor benur. “Jika ada, kita serahkan ke penegak hukum, KPK,” ucapnya. Sedangkan mengenai peran Pelobi, Yusuf enggan berkomentar. “Silakan langsung Dirjen Perikanan Tangkap.”
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini, belum bisa diwawancarai. Sedangkan Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Trian Yunanda tidak bersedia berkomentar. “Mohon maaf, jangan tanya ke saya,” ujarnya.
Penghentian ekspor benur sebagai buntut digulungnya Menteri Edhy membuat para petani lobster di Dusun Telong Elong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, bergembira. Di Telong Elong, ada sekitar 400 penduduk yang membudidayakan lobster. Jumlah keramba jaring apung di sana mencapai sekitar 6.000 lubang dengan setiap lubang memiliki kapasitas 1.000 lobster. Sejak Menteri Edhy membuka keran ekspor benur, para eksportir memborong benur untuk diekspor sehingga benih untuk budi daya lobster di dalam negeri menjadi langka. “Akibatnya banyak keramba yang kosong,” kata Ketua Kelompok Usaha Budidaya Andalan Indonesia di Telong Elong, Abdullah.
AGUNG SEDAYU, LINDA TRIANITA, YOHANES PASKALIS, VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo