Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penangkapan anggota dan staf MRP ditengarai bakal membuat situasi di Papua memanas.
Majelis Rakyat Papua melobi tokoh-tokoh di Jakarta.
Sebanyak 102 organisasi mendukung Petisi Rakyat Papua yang menolak otsus.
RASA khawatir menyergap Yakonias Wabrar kala mendengar penangkapan sejumlah anggota staf dan anggota Majelis Rakyat Papua di Kabupaten Merauke pada Rabu, 17 November lalu. Anggota MRP dari Kabupaten Sarmi dan Mamberano Raya itu menilai penangkapan tersebut bakal membuat situasi makin runyam dan menaikkan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. “Papua bakal lebih panas,” tutur Yakonias saat dihubungi Tempo pada Jumat, 27 November lalu.
Yakonias menilai gejolak di Papua kian membara sejak tahun lalu. Terutama setelah muncul tindakan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur, menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2019. Kini aksi penolakan terhadap perpanjangan dana otonomi khusus pun kian merebak. Pada November tahun depan, pemberlakuan dana otonomi khusus di kawasan itu akan berakhir.
Pada Sabtu, 28 September lalu, ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa di gerbang Universitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura. Tiga hari sebelumnya di Makassar, Sulawesi Selatan, Forum Solidaritas Peduli Rakyat Papua juga berdemonstrasi. Kedua aksi itu berujung ricuh. Pada 24 September, ribuan orang yang mengatasnamakan Petisi Rakyat Papua juga berdemonstrasi di Nabire menolak otonomi khusus. “Tak ada lagi otonomi khusus jilid dua,” kata kepala suku Dani, Damal Dougwa, dan kepala suku Nayak, Ayub Wenda.
Menurut Yakonias, rapat-rapat yang akan digelar oleh MRP itu bertujuan mendengar aspirasi langsung dari masyarakat mengenai pelaksanaan otonomi khusus. Apalagi, kebanyakan anggota MRP merupakan tokoh adat yang perlu mengetahui pendapat masyarakat. Rencananya, hasil rapat umum itu akan dilaporkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. “Ini bukan soal menolak atau menerima otsus. Tapi masyarakat ingin duduk, bicara, dan menyampaikan pendapat,” ujarnya.
Karena rapat dibubarkan, MRP mengubah strategi. Yakonias bercerita, MRP kini membuat tim-tim kecil untuk menghimpun pendapat para warga asli Papua. Dia sendiri telah menerjunkan tim ke lima daerah, antara lain Mamberano Raya dan Keerom. Hasil sementara, Yakonias menambahkan, orang asli Papua rindu hidup aman dan damai di atas tanahnya sendiri. Mereka pun ingin posisi eksekutif, kepala dan wakil kepala daerah, serta jabatan aparat sipil negara dipegang oleh orang Papua. Begitu pula dengan anggota badan legislatif di daerah hingga Senayan, Jakarta.
Yakonias juga menyatakan, MRP berupaya menjalin lobi dengan sejumlah tokoh di Jakarta. Salah satunya adalah dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah asal Papua, Yorrys Raweyai. Ditemui Tempo pada Rabu, 27 November lalu, Yorrys membenarkan kabar telah bertemu dengan sejumlah perwakilan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua di rumahnya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Agustus dan September lalu. Dia merupakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat for Papua, yang berisi anggota DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat dari Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yorrys bercerita, pertemuan itu membahas sikap rakyat Papua terhadap rencana otonomi khusus jilid dua. MRP pun menyampaikan rencana untuk menggelar rapat pendapat umum yang akan dilaporkan ke pemerintah provinsi dan pusat. Yorrys mengatakan tetamunya belum menentukan untuk menolak atau menerima perpanjangan dana otonomi khusus. Sebabnya, pemerintah pusat, DPD, dan DPR sedang menggodok revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Jika aturan itu tak direvisi, dana otonomi khusus sebesar 2 persen dari total alokasi umum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tak lagi mengalir.
Selain bertemu dengan Yorrys dan pihak Majelis Permusyawaratan Rakyat, sejumlah perwakilan Papua pun bertemu dengan Komisi Pemerintahan DPR. Salah satunya, Ketua Komisi Pemerintahan dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan kelebihan dan kekurangan jika masyarakat Papua menolak otonomi khusus jilid dua.
Awal September lalu, Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat juga berkunjung ke Kementerian Dalam Negeri dan pemimpin MPR. Ketua Majelis Rakyat Papua Barat Maxsi Ahoren mengaku mereka datang untuk memastikan bahwa naskah revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 benar-benar berisi aspirasi rakyat Papua. “Kami ingin menggelar rapat dengar pendapat dulu di Jayapura, untuk meminta masukan,” tutur Maxsi saat itu.
Dia berharap naskah revisi yang dibahas di Jakarta berasal dari urun rembuk para pemangku kepentingan di Papua. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik irit bicara soal permintaan Majelis Rakyat Papua. Menyatakan pemerintah membuka ruang untuk berdiskusi, Akmal menjelaskan pertemuan tersebut sekadar silaturahmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yorrys Raweyai, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Mei 2018. TEMPO/Imam Sukamto
Pemerintah Provinsi Papua juga ikut bergerak. Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo mengaku diminta oleh Gubernur Papua Lukas Enembe untuk membuat kajian UU Otonomi Khusus Papua. “Itu atas permintaan Pak Gubernur karena Pak Gubernur diminta oleh pemerintah pusat,” ujar Apolo kepada Tempo, akhir September lalu. Ketua MRP Timotius Murib belum bisa dimintai tanggapan soal lobi-lobi tersebut. Ia menyatakan akan menjawab pertanyaan Tempo secara tertulis. Namun hingga Sabtu, 28 November, Timotius tak memberikan jawaban dan tak merespons panggilan telepon dan pesan Tempo.
Adapun pemerintah berkukuh merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Rencana revisi itu kini berada di Badan Legislasi DPR yang sedang menyusun Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Menurut Yorrys Raweyai, pemerintah berencana menaikkan dana otonomi khusus dari 2 persen menjadi 2,25 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan Presiden Joko Widodo menginginkan otonomi khusus bisa menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. “Otsus harus menjawab persoalan keadilan, kesejahteraan, dan rekonsiliasi di Papua,” ujarnya beberapa waktu lalu.
•••
BERTEMU dengan juru bicara Petisi Rakyat Papua, Victor Yeimo, di Port Moresby, Papua Nugini, Sebby Sambom mempertanyakan dana otonomi khusus untuk Papua yang akan berakhir pada November 2021. Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat itu mewanti-wanti gerakan menolak pelaksanaan otonomi khusus harus diperluas. Sebby menilai otonomi khusus gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Papua dan hanya dinikmati segelintir orang. “Saatnya menggelar referendum,” ucap Sebby ketika dihubungi Tempo, Jumat, 27 November lalu.
Kepada Sebby, Victor Yeimo menuturkan sedang menggalang petisi penolakan otsus. Gerakan Petisi Rakyat Papua digagas sejak Juli lalu dengan tujuan menolak segala upaya perpanjangan skema dana otonomi khusus oleh pemerintah pusat di Jakarta. Mendengar penjelasan rekannya itu, Sebby menuturkan, TPNPB dan Organisasi Papua Merdeka akan menyetujui usul tersebut.
Wacana petisi itu pun disampaikan oleh Sebby kepada pengurus TPNPB dan OPM. Menurut Sebby, pejabat TPNPB dan OPM yang ditemuinya memberi respons positif. “Meski OPM banyak di gunung, ada keluarga yang masih di daerah dan mau mengikuti aksi penolakan,” ujarnya. Sebby pun memastikan milisi akan terus bertempur melawan personel kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia yang memburu mereka hingga referendum digelar.
Hingga Kamis, 26 November lalu, sebanyak 102 organisasi mendukung Petisi Rakyat Papua yang menolak otsus. Di antaranya adalah Komite Nasional Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Papua, Dewan Adat Papua, dan Serikat Pembebasan Perempuan Papua. Dukungan itu pun diperkuat oleh 520.261 orang Papua yang membubuhkan cap jarinya untuk menolak keberadaan dan keberlanjutan otonomi khusus. “Ini solusi yang damai dan suara dari akar rakyat Papua menyikapi permasalahan yang berlarut-larut,” ujar Victor Yeimo dalam laman Petisi Rakyat Papua.
Penolakan juga terjadi di wilayah adat Meepago, Papua. Meski Majelis Rakyat Papua batal menggelar rapat dengar pendapat di Lapangan Theo Makai Moewanemani, Kabupaten Dogiyai, sekitar 2.000 orang tetap menyuarakan keinginan menolak perpanjangan otsus. “Sudah banyak warga Papua menjadi korban di era otsus ini,” ucap Koordinator Rakyat Papua Wilayah Meepago, Goo Benny.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, JUBI.CO.ID
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo