Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rapat dengar pendapat soal evaluasi otonomi khusus di sejumlah daerah di Papua batal dilaksanakan.
Surat Badan Intelijen Daerah Papua menyatakan rapat dengar pendapat memiliki agenda referendum.
Badan Intelijen Daerah Papua merekomendasikan penggembosan kekuatan pro-kemerdekaan.
ROMBONGAN polisi bersenjata laras panjang menggeruduk Hotel Grand Mandala, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa pagi, 17 November lalu. Di tempat itu, sejumlah anggota staf dan anggota Majelis Rakyat Papua menginap. Tenaga ahli MRP, Wensislaus Fatubun, yang berada di lokasi itu bercerita, polisi langsung menggeledah kamar para anggota staf dan anggota MRP. Wensislaus sempat berdebat dengan polisi yang meminta kartu identitasnya. Setelah itu, polisi memborgol mereka. “Kami diangkut ke Kepolisian Resor Merauke,” kata Wensislaus kepada Tempo Senin, 23 November lalu.
Menurut Wensislaus, dua malam sebelumnya, polisi juga mendatangi hotel tersebut dan meminta mereka bertemu Kepala Polres Merauke. Namun, setelah Wensislaus dan tiga koleganya tiba di sana, pertemuan itu dibatalkan. Begitu pula keesokan paginya, mereka tak bisa bertemu dengan Kepala Polres. Wensislaus baru bisa bertemu dengan Kepala Polres Merauke Ajun Komisaris Besar Ahmad Untung Surianata saat penangkapan di Grand Mandala. Hari itu, polisi menangkap sekitar 50 orang yang akan terlibat dalam rapat dengar pendapat untuk mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
Ahmad Untung menuding rapat dengar pendapat itu merupakan upaya makar terhadap negara. Dia mengaku menerima informasi intelijen yang menyebutkan adanya dugaan makar tersebut. Untung pun memimpin langsung tim yang bergerak ke Grand Mandala. Polisi juga mendatangi dua penginapan yang digunakan para peserta rapat dengar pendapat. “Saat penggeledahan kami menemukan buku kuning yang berisi tentang pedoman dasar negara republik federal Papua Barat,” ujar Untung kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah anggotra Majelis Rakyat Papua ditahan oleh Kepolisian Resor Merauke, November 2020. Humas MRP/mrp.papua.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wensislaus dan teman-temannya ditahan di aula Kepolisian Resor Merauke dan diperiksa soal tujuan rapat dengar pendapat. Wensislaus mengatakan kegiatan itu merupakan agenda resmi MRP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Apalagi pemberian dana otonomi khusus akan berakhir pada November tahun depan. Rencana menggelar rapat pun telah disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri saat MRP berkunjung ke Ibu Kota pada 1 September lalu.
Kabar penangkapan itu rupanya sampai ke telinga anggota Dewan Perwakilan Daerah, Yorrys Raweyai, yang saat itu berada di Papua. Bertemu dengan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Brigadir Jenderal Mathius D. Fakhiri di Jayapura, Yorrys meminta para tahanan dilepaskan. Ia menilai penangkapan terhadap anggota dan staf MRP tak tepat dan justru bisa membuat kondisi di Papua memanas.
Sekitar 30 jam ditahan, anggota dan staf MRP dibebaskan. Tapi polisi meminta mereka menandatangani surat pernyataan. Isinya menyatakan menolak terlibat dalam penolakan otonomi khusus dan referendum, mendukung otonomi khusus, serta setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Wensislaus, dia dan dua anggota MRP menandatangani pernyataan tersebut.
Malam sebelum penangkapan, MRP sebenarnya sudah memutuskan membatalkan rapat dengar pendapat. Sebabnya, ada demonstrasi di kantor Bupati Merauke yang menolak rapat tersebut. Staf dan anggota MRP pun merasa terus-menerus diintai oleh polisi. “Kami batalkan karena suasananya tidak kondusif,” ujar Wensislaus.
Tak hanya menahan mereka, polisi sebelumnya berupaya membatalkan rapat dengar pendapat. Pada Ahad, 15 November lalu, Ahmad Untung mendatangi Keuskupan Agung Merauke. Dia meminta agar keuskupan tak membolehkan rapat dengar pendapat digelar di aula katedral. Untung membenarkan bahwa ia mengajukan permintaan tersebut dengan alasan pertemuan akbar itu dicurigai mengarahkan peserta untuk menolak otonomi khusus.
Untung juga menyatakan kegiatan itu melanggar maklumat Kepala Polda Papua yang isinya melarang rapat dengar pendapat tak boleh mengarah ke upaya makar. Pun selama masa pandemi virus corona, pertemuan tak boleh dihadiri lebih dari 50 orang. “Maka kami bergerak melakukan penertiban,” tutur Untung. Maklumat itu baru dikeluarkan tiga hari sebelum jajak pendapat digelar.
Sekretaris Keuskupan Agung Merauke, pastor John Kandam, yang menemui Untung, mengatakan tak bisa mengambil keputusan sendiri. Akhirnya, Kepala Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke Anselmus Amo menelepon Uskup Agung Merauke Petrus Canisius Mandagi yang berada di Ambon, Maluku. Menurut John Kandam, “Uskup Mandagi mengatakan aula bisa dipakai selama untuk kepentingan banyak orang, kecuali untuk urusan politik.”
•••
TERDIRI atas enam halaman, surat berklasifikasi rahasia dikirimkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua Brigadir Jenderal I Gusti Putu Danny Nugraha Karya, pada 29 Oktober lalu. Ditujukan kepada petinggi Kepolisian Daerah Papua dan Komando Daerah Militer Cenderawasih, surat itu berisi soal antisipasi kerawanan rapat dengar pendapat yang digelar oleh Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat.
Dalam surat itu disebutkan, rapat dengar pendapat ditengarai dimanfaatkan oleh kelompok separatis Papua untuk menggagalkan perpanjangan otonomi khusus dan menggelar referendum. Karena itu, BIN Papua merekomendasikan agar polisi dengan dibantu Tentara Nasional Indonesia menggembosi dan membubarkan mobilisasi massa oleh kelompok separatis.
BIN Papua, satuan tugas BIN, dan Komunitas Intelijen Daerah Papua pun telah memberdayakan dan memperkuat organisasi masyarakat pro-NKRI untuk mengimbangi kelompok pro-kemerdekaan. Beberapa kelompok yang disebut pro-kemerdekaan itu antara lain Gerakan Rakyat Cinta Indonesia, Pemuda Adat Papua, serta Presidium Perjuangan Putri Pepera. “Dalam rangka memberikan perimbangan kekuatan terhadap kelompok prokemerdekaan Papua,” demikian tertulis dalam surat itu.
Dimintai tanggapan soal surat tersebut, Deputi Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto tak merespons permintaan wawancara dari Tempo. Adapun Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Rakyat Cinta Indonesia Hendrik Yance Udam enggan menjawab. “Saya sedang ada pertemuan di luar kota,” ujar Hendrik melalui sambungan telepon.
Setelah surat itu muncul, berbagai gerakan menolak rapat dengar pendapat pun mencuat. Di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, massa yang menamakan diri Barisan Merah Putih dan Lembaga Masyarakat Adat menghadang rombongan Majelis Rakyat Papua di Bandar Udara Wamena pada Ahad, 15 November lalu. Tiba sekitar pukul sembilan pagi waktu setempat, tim yang beranggotakan 40 orang tak bisa keluar dari bandara. Massa pun bertahan hingga rombongan itu kembali ke Jayapura sekitar pukul empat sore.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Jayawijaya Herman Doga menolak jika lembaganya disebut menghadang anggota MRP. “Itu hanya orang yang mengatasnamakan LMA,” ujarnya. Herman mengaku mendukung otonomi khusus dilanjutkan di Papua. Tapi, dia menegaskan, kelanjutan itu harus disertai evaluasi penggunaan dana otonomi khusus yang telah berjalan selama 20 tahun. “Kami ini maju kena, mundur kena,” ucap Herman.
Pemimpin aksi penghadangan dari Barisan Merah Putih, Hengky Hesela, membantah dugaan bahwa aksi itu dikerahkan oleh aparat keamanan, melainkan merupakan inisiatif mereka. Hengky menuding rapat dengar pendapat disusupi kelompok separatis yang menginginkan otonomi khusus berakhir. “Kami sendiri menginginkan otsus berlanjut,” ucapnya.
Pemerintah daerah juga turut andil menolak rapat dengar pendapat. Pada 16 November lalu, Bupati Nabire Isaias Douw, yang juga ketua asosiasi bupati wilayah adat Mee Pago, mengeluarkan surat penolakan rapat dengar pendapat. Rapat yang akan digelar sehari kemudian pun urung dilaksanakan.
Pegiat hak asasi manusia di Wamena, Jayawijaya, Theo Hesegem, menilai berbagai penolakan terhadap MRP sama saja mencederai negara sendiri. “MRP itu kan dibentuk oleh undang-undang dan dibiayai oleh negara. Ini sama saja menampar wajah Indonesia sendiri,” tuturnya.
•••
PEMERINTAH pusat berencana memperpanjang pemberian dana otonomi khusus yang akan berakhir pada November 2021. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dana otonomi khusus diberikan minimal 2 persen dari total dana alokasi umum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Awal September lalu, pemerintah menggelar rapat konsultasi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas rencana revisi itu.
Kepala Subdirektorat Provinsi Papua dan Papua Barat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Budi Arwan mengatakan lembaganya kerap berdialog dengan sejumlah perwakilan Papua untuk mewujudkan rencana itu. Pada Selasa, 24 November lalu, dia bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jayapura dan Lembaga Adat Papua Lemasa dan Lemasko. Menurut dia, mereka setuju pengucuran dana otonomi khusus dilanjutkan. Budi pun meminta agar menyuarakan keberhasilan otsus di Papua ke berbagai pihak. “Kami sebagai pembina sampaikan agar keberhasilan otsus juga bisa disuarakan kepada yang lain,” ucapnya.
Rencana revisi peraturan itu juga dibarengi dengan keinginan pemerintah memecah wilayah di Papua menjadi lima provinsi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyampaikan rencana itu setelah rapat konsultasi dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo dan MPR for Papua—perkumpulan anggota DPR dan DPD asal Papua, serta perwakilan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian awal September lalu. Pada akhir Oktober 2019, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyebutkan soal rencana tersebut.
Budi Arwan mengatakan Kementerian Dalam Negeri juga telah menyampaikan rencana pemekaran ke masyarakat Papua. “Garis besar arah kebijakan pemekaran Papua sudah disosialisasi kepada berbagai elemen masyarakat,” ucapnya. Kementerian, kata dia, juga telah menampung banyak aspirasi soal rencana itu. Ihwal daerah yang akan dimekarkan, pemerintah masih mengkajinya.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Pamungkas, mengatakan rencana pemerintah untuk memekarkan Papua harus dikaji matang. Sebab, dia khawatir rencana itu justru bakal menambah persoalan lagi di Papua. Pada 2004, LIPI mengeluarkan kajian mengenai pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat yang sekarang bernama Papua Barat. Hasil kajian itu, kata Cahyo, pemekaran tak menaikkan taraf hidup masyarakat asli Papua. “Mereka sampai hari ini masih termarginalkan,” ujarnya yang juga tergabung dalam tim kajian itu.
Cahyo mengatakan hampir semua warga Papua yang dia temui menolak rencana pemekaran. Ketua Dewan Adat Papua versi Musyawarah Besar Luar Biasa Dominikus Sorabut menyebut rencana pemekaran hanya upaya Jakarta agar otonomi khusus dilanjutkan. “Itu hanya akal-akalan Jakarta saja. Kami tetap menolak dan meminta menentukan nasib sendiri.”
DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo