PESTA perkawinan itu sangat meriah. Penduduk Desa Panggungrejo, Blitar Selatan, bergembira ria semalam suntuk dihibur ludruk dan tayuban. Pasangan pengantin, Suwito dan Sulastri, tampak pula berbahagia. Suwito, yang mengenakan baju putih dan berkopiah, tersenyum lebar. Di sampingnya, Sulastri mengenakan pakaian pengantin, lengkap dengan kalung kembang melati. Pada malam yang berbahagia itu, anehnya, kedua mempelai duduk membisu. Juga para tamu tak ada yang memberi ucapan selamat. Jangan kaget. Suwito-Sulastri memang bukan manusia, melainkan sepasang patung kayu randu setinggi sekitar 0,5 meter. Dan pesta yang menghabiskan biaya Rp 600 ribu itu tak lain memang untuk memeriahkan "perkawinan antararwah". Asal muasalnya ketika Yatiyem, 45, sakit sampai beberapa bulan. Dokter dan dukun tak bisa menyembuhkan, sampai-sampai, "Badannya tinggal tulang," tutur Samirin, suami (kedua) Yatiyem. Mi'an, pensiunan polisi yang dikenal punya ilmu luwih, turun tangan. Penyebab penyakit Yatiyem, begitu kesimpulan Mi'an, tak lain darah dagingnya sendiri. Sekitar 30 tahun lalu, dengan suami pertama, Yatiyem pernah keguguran. Bakal anak itu diberi nama Sulastri. Arwah Sulastri itu setelah diwawancarai Mi'an minta dikawin-kan dengan Suwito. Yang disebut terakhir ini anak Pa'i, seorang pamong desa, yang lahir belum cukup bulan - dan meninggal 33 tahun lalu. Atas saran dukun, Yatiyem segera melamar Suwito. Pa'i menyambut gembira, karena ia pernah bermimpi bahwa anaknya itu memang harus dijodohkan dengan Sulastri. Setelah perkawinan terlaksana, Yatiyem benar-benar sembuh. Pasangan pengantin yang terbuat dari kayu randu - itu kini ditaruh di sebuah kamar di rumahnya. "Agar mereka tenang berbulan madu," kata Yatiyem. Tapi Yatiyem terkadang kesal karena anaknya, Sri Utami, 7, sering masuk kamar itu dan menjadikan kedua boneka kayu itu sebagai mainan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini