Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJAGA rupiah di zaman malaise seperti sekarang bukanlah perkara mudah. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, tapi nilai rupiah terus merosot. Pekan ini nilai mata uang itu sudah anjlok melewati Rp 12 ribu per dolar Amerika, jauh di bawah level Rp 9.000-an pada akhir tahun lalu.
Sebelum nilainya terperosok lebih dalam, semua langkah penyelamatan perlu dilakukan. Tak bisa dibayangkan betapa porak-porandanya ekonomi Indonesia seandainya rupiah jatuh sampai Rp 15 ribu per dolar. Pengusaha yang mengandalkan bahan baku impor akan kolaps, utang luar negeri akan menggelembung.
Bank Indonesia, yang sebenarnya sudah berusaha kuat, mesti memikirkan cara yang lebih efektif. Sepanjang tahun lalu, Bank Indonesia menghabiskan cadangan devisa minimal US$ 6 miliar. Setelah pasar ”diguyur” dolar, sebentar kemudian rupiah menguat, tapi segera loyo lagi. Begitu seterusnya.
Tekanan yang menonjok rupiah memang datang dari segala penjuru. Dunia usaha lesu. Pasar ekspor komoditas menciut dan memukul negara seperti Indonesia.
Ketergantungan pada dolar Amerika memang besar. Banyak transaksi bisnis dilakukan dengan mata uang negeri Obama itu. Barang impor—mulai komputer, bahan tekstil, alat-alat berat, sampai berjenis makanan—semua didatangkan dengan dolar Amerika. Utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, juga dalam dolar. Seruan agar institusi pemerintah dan swasta bertransaksi dalam rupiah sulit dijalankan. Sama sulitnya dengan mengkampanyekan pemakaian produk dalam negeri.
Jalan keluar mesti dipikirkan di tengah sengkarut ini. Dengan begitu banyak penyebab, intervensi Bank Indonesia ke pasar merupakan tindakan sporadis yang kurang efektif. Bank Indonesia perlu menghitung cermat langkah itu. Sebab, yang menjadi korban adalah cadangan devisa, yang tersisa US$ 50,89 miliar dari US$ 56 miliar tahun lalu. Fluktuasi rupiah tak bisa dihadapi tanpa serangkaian kebijakan strategis yang lain.
Kerja sama internasional termasuk langkah yang sangat membantu. Cadangan dana swap bilateral senilai US$ 12 miliar dari Jepang, misalnya, cukup menenteramkan. Dana siaga ini bisa dimanfaatkan jika situasi memburuk.
Tapi pemerintah dituntut tidak hanya mengandalkan dana siaga dari luar negeri—yang tentu tidak gratis. Pembenahan perekonomian secara lebih sistemik diperlukan. Misalnya menyiapkan terobosan pembiayaan bagi dunia usaha (trade financing). Pemangkasan birokrasi, agar lebih ramah melayani dunia usaha, merupakan keharusan.
Masih ada pekerjaan rumah. Pemerintah harus memastikan paket stimulus fiskal hasilnya efisien, terukur, dan tepat sasaran. Meskipun telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu, pemerintah belum mengeluarkan rincian untuk keperluan apa saja dana stimulus infrastruktur Rp 10,2 triliun itu.
Sebetulnya jumlah dana stimulus segitu tergolong kecil untuk sektor infrastruktur. Jauh dari kebutuhan untuk menginjeksi sektor riil yang sedang menjerit, apalagi membenahi infrastruktur di segala lini. Maka dana cupet ini hendaknya digunakan dengan pintar dan tepat, supaya bermanfaat mendongkrak daya beli masyarakat dan sedikit mengurangi jumlah penganggur.
Dengan stimulus yang jitu, efeknya pada perbaikan ekonomi akan terasa. Meski demikian, formula stimulus ini tak mungkin bekerja bak pil instan. Pembenahan ekonomi yang terencana dan menyeluruh, meskipun perlahan-lahan, akan mengirim sinyal positif ke pasar uang. Itulah vitamin penguat yang diperlukan rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo