Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari menjelang konser di Rolling Stone Live Venue awal Mei lalu, awak Kadri Jimmo the Prinzes of Rhythm terlihat santai. Kadri, satu dari dua vokalis band itu, mengirimkan pesan pendek ke wartawan yang mau mewawancarainya: "Saya sedang makan nasi padang, mau ikut? Ha-ha-ha." Malam itu mereka hendak berlatih di satu studio yang masih beraroma material interior baru di Gandaria, Jakarta Selatan. Malam dipilih karena sebagian besar dari mereka merupakan orang kantoran, yang mesti kerja nine-to-five-itu kalau semua urusan normal.
Dan malam itu ada satu orang yang urusannya tak normal. Dialah Hayunaji atau Iyoen, sang penabuh drum. Sampai Fadhil Indra menghabiskan nasi gorengnya, lalu mulai mengeset perangkat keyboard-nya dan membimbing rekan-rekannya menjalani latihan, Iyoen yang bekerja di salah satu bank itu belum juga tampak. Hampir dua jam kemudian, persis tengah malam, ketika akhirnya masuk ke dalam studio, dia berkata, "Maklum, karena Pak (menyebut nama bosnya) perfeksionis."
Mereka melatih lagu-lagu yang akan mereka sajikan dalam konser. Ada modifikasi aransemen, yang menjadikan lagu-lagu mereka sedikit berbeda dibandingkan dengan yang terdapat di dalam album rekamannya. Dan untuk itu mereka mesti menyesuaikan sound beberapa instrumen, juga bagaimana instrumen-instrumen itu dimainkan agar tak bertabrakan.
Kadri Jimmo the Prinzes of Rhythm belum setahun aktif. Tapi sesungguhnya setiap personel merupakan musisi berpengalaman. Wajar mereka bisa berlatih tanpa bergegas. Yang membuat mereka sama saja dengan band-band lain adalah upaya yang mesti mereka kerahkan untuk bisa tampil lebih sering, agar lagu mereka lebih kerap diperdengarkan. Faktor inilah yang memungkinkan mereka memperoleh tempat di tengah-tengah persaingan dan dominasi musik pop yang seragam dan, meminjam judul satu lagu, bisa bertema "cinta melulu".
Itulah judul lagu milik Efek Rumah Kaca. Ini band dari Jakarta yang terdiri atas Adrian Yunan Faisal (bas, vokal latar), Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), dan Cholil Mahmud (vokal, gitar). Dalam lagu yang merupakan sindiran terhadap kecenderungan yang dewasa ini seperti meluas itu, mereka bernyanyi: Nada-nada minor/Lagu perselingkuhan/Atas nama pasar semuanya begitu klise.
Dibanding Kadri Jimmo, Efek Rumah Kaca aktif lebih dulu, sejak 2001, dengan nama Hush, tapi baru pada 2007 mereka merilis album dengan menggunakan nama Efek Rumah Kaca. Popularitas mereka cepat membubung sejak merilis album self-titled itu. Jadwal pentasnya berderet, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain. Penonton juga selalu berjubel. Pendeknya, trio yang telah menghasilkan dua album ini sedang in-demand.
Seperti halnya Kadri Jimmo, Efek Rumah Kaca menyajikan musik yang kontras sekali dibandingkan dengan yang kerap terdengar di radio, televisi, atau media publik lainnya. Ada bedanya juga. Kadri Jimmo beranggotakan musisi yang matang di aliran musik yang "kasta"-nya lebih tinggi dibandingkan dengan pop biasa; sebagian dari mereka merupakan musisi "baru tapi lawas" yang tergabung dalam grup progressive rock Discus dan Makara, sebagian yang lain akrab dengan jazz, fusion, dan rock. Sedangkan para personel Efek Rumah Kaca adalah newcomer.
Hal yang lain: Kadri Jimmo royal berbicara soal asmara. Tapi tanpa klise. Dalam Indonesia Memang Hebat, lagu yang menjadi theme song Indonesia Design Celebration 2009, mereka menyelipkan larik: Dan katanya Presiden kita bijak, cobalah hargai pemimpinmu/Cintai aku, kar'na aku pun calon presiden. Mereka pun menata musik dalam aneka irama, cenderung eklektik, dengan tekstur yang kaya. Sedangkan Efek Rumah Kaca cenderung muram, khas band-band post-rock: mereka memanfaatkan instrumen rock untuk tujuan-tujuan yang bukan rock. Mereka menjelajahi tema politik, cinta, dan gaya hidup. "Tema kami ambil dari isu di koran atau media," kata Cholil.
Dari kalangan yang mengikuti aneka isu di media itulah sebagian penggemar Efek Rumah Kaca berasal. Jumlahnya tak sebesar penggemar, katakanlah, Ungu, salah satu band pop arus utama (mainstream). Tapi para penggemar itu menunjukkan bahwa, dalam kata-kata Cholil, di luar sana terdapat "orang-orang yang bosan dengan musik yang biasa ada". Meminjam perumpamaan Gusti Pramudya, drummer Sore, grup yang memilih karakter retro untuk karyanya, musik yang biasa ada itu "seperti mi instan". Masalahnya, kata Cholil, orang-orang itu tak tahu tentang musik yang bagus "karena tidak mendapat akses".
Akses merupakan kata kunci di situ. Karena di media umum hilir-mudik musik yang sudah menjadi arus utama, yang "itu-lagi-itu-lagi", alternatifnya tentulah mesti dicari di jalur lain. Yang menjadi soal, tidak semua peminat musik bisa menempuh jalur itu, yang tak lain dan terutama adalah Internet. Inilah media yang belakangan dimanfaatkan benar dan sangat berperan menyebarkan musik karya band-band yang bekerja di luar lapangan permainan industri yang sudah mapan-mereka yang menempuh jalur independen atau indie.
"Sebagian besar penggemar kami adalah orang yang lebih akrab dengan Internet dibanding TV," kata Cholil. "Penggemar kami rata-rata kalangan remaja SMA dan kuliah. SMP juga ada."
Banyak hal buruk terjadi di Internet berkaitan dengan musik, terutama penyebaran lagu-lagu secara ilegal. Tapi, di luar itu, Internet memang melipatkan tenaga yang membantu usaha musisi indie. Dengan ini, paling tidak, mereka bisa menembus batas-batas geografi dan waktu untuk berhubungan dengan para peminat musik atau dengan sesama musisi. Peluang untuk mengenalkan karya juga menjadi terbuka lebih lebar. Biayanya tentu jauh lebih ringan dibandingkan dengan upaya-upaya konvensional.
MySpace, yang didirikan pada 2003, merupakan situs Internet terkemuka dewasa ini yang memungkinkan semua itu: di dalamnya band bisa sekaligus menaruh informasi mengenai profil, agenda, contoh lagu, juga klip video. Banyak kalangan memantau situs ini. Majalah Classic Rock dari Inggris, misalnya, kerap membuat kompilasi lagu-diterbitkan dalam format compact disc sebagai bonus untuk pembacanya-yang sebagian merupakan karya band-band yang mejeng dan menaruh sampel musiknya di halaman MySpace.
Efek Rumah Kaca juga memanfaatkan MySpace, di samping situs-situs jejaring sosial lain, seperti Multiply, Friendster, dan Facebook. Begitu pula The Super Insurgent Group of Intemperance Talent atau The SIGIT. Band asal Bandung yang musiknya boleh dibilang merupakan rock 'n' roll versi modern ini sebenarnya punya website sendiri (thesigit.com), di samping halaman di MySpace (myspace.com/thesigit). Tapi justru lewat MySpace itulah mereka memperoleh kesempatan go international-tekad sejumlah artis yang selama ini cuma kata-kata kosong belaka.
Begini ceritanya. Melalui surat elektronik, seorang pengunjung halaman mereka di MySpace yang ternyata mewakili Caveman, label indie dari Australia, menawari mereka untuk merilis album di negeri itu. Iseng-iseng mereka mengirimkan contoh album yang baru rampung diproduksi, yakni Visible Idea of Perfection (di Indonesia dirilis oleh FastForward atau FFWD). "Ternyata beneran dirilis," kata Rektivianto Yoewono atau Rekti, 28 tahun, vokalis dan gitaris The SIGIT.
Caveman, yang menyebut The SIGIT sebagai "eksponen electric rock 'n' roll boogaloo terkemuka dari Jawa Barat", tak berhenti di situ. Tawaran lain disodorkan: tur sebulan penuh di Australia untuk mempromosikan album itu. Rekti dan kawan-kawan tak menolak, walau bayarannya ternyata minim dan membuat mereka harus menanggung utang puluhan juta rupiah. Di sana mereka bermain 17 kali, dari Brisbane, Melbourne, Sydney, Perth, hingga Tasmania. "Belum tentu mendapat kesempatan kayak gini lagi," kata Rekti.
Karena album mereka yang dirilis di Australia terdistribusi dengan baik, bahkan ke negara-negara lain, kesempatan itu toh kembali datang. Setelah tahun lalu melawat ke Singapura dan Malaysia, tahun ini mereka manggung di Amerika Serikat dan Hong Kong. Jaringan pun kian luas. Tawaran merilis album lagi berdatangan.
Pengalaman serupa dirasakan oleh Mocca, juga dari Bandung. Kuartet yang dibentuk pada 1999 ini sudah dikenal di Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, bahkan Brasil dan Spanyol. Selain berkat jaringan label atau perusahaan rekaman yang menaunginya, Internet-tentu saja mereka punya halaman di MySpace-memungkinkan mereka merancang pementasan di berbagai festival di luar negeri, atau merencanakan kolaborasi paket rekaman, juga konser. Kini mereka setidaknya sudah merasakan royalti dari tujuh lagunya yang dipakai sebagai jingle iklan di Korea Selatan.
Ke negeri itulah tiga pekan lalu mereka bertandang, setelah pada 12-13 Juni ikut meramaikan Hua Hin Jazz Festival di Thailand. Menurut Arina Ephipania Simangunsong, vokalis dan peniup flute Mocca, di sana mereka dijadwalkan berkeliling ke sejumlah stasiun radio dan televisi selama sepekan. Mereka menutup rangkaian acara di sana, yang kedua kalinya setelah tahun lalu ikut Grand Mint Festival, semacam Soundrenaline di Indonesia, dengan konser tunggal di Mapo Art Center pada 21 Juni.
Selain Mocca, masih ada Everybody Loves Irene dan White Shoes & The Couples Company. Berkat Internet, pada Maret lalu, Everybody Loves Irene bisa ikut Asia Voice Independent Music Award yang diselenggarakan Voize.my, portal gaya hidup dari Malaysia. "Mereka tahu kami dari Internet dan menghubungi kami," kata Yudhi Arfani, gitaris band yang meramu trip hop ala Portishead dari Inggris ini. Di ajang itu lagu mereka, Love is so Strange, memperoleh penghargaan untuk kategori The Best Moody-Melancholic Song. Kini mereka sudah menjalin kontrak dengan KittyWu Records (Singapura) dan Papakerma (Malaysia).
White Shoes & The Couples Company, yang didirikan di Jakarta pada 2002, memperoleh peruntungan bisa mendistribusikan album di Amerika Serikat juga lewat MySpace. Album mereka yang berjudul White Shoes & The Couples Company, dengan musik yang seolah melontarkan pendengarnya ke masa-masa lampau Indonesia, yang jauh lebih tua ketimbang usia penggemarnya, dirilis oleh Minty Fresh, label indie yang bermarkas di Chicago. Majalah Rolling Stone pun memilih mereka sebagai satu dari 25 band terbaik di MySpace.
Dari sisi penjualan album secara fisik, sebenarnya industri rekaman sedunia kini sedang mengalami masalah serius. Trennya terus menurun. Kesan pesimistisnya: ini industri yang sudah masuk usia senja, kalaupun tak bisa dibilang menyongsong ajal.
Untuk Indonesia, data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia menunjukkan pada 1997 penjualan masih sekitar 90 juta kopi, tapi sepuluh tahun kemudian tinggal 19 juta kopi. Tahun lalu, sampai November, baru sekitar 11 juta kopi yang terjual. Pembajakan memang belum bisa ditanggulangi. Tapi masalah yang jauh lebih mengancam adalah meluasnya format digital, yang memungkinkan musik lebih mudah didapat dan dipertukarkan-yang dipandang sebagai problem serius dalam hal hak cipta.
Menurut David Tarigan, Direktur Artists & Repertoire Aksara Records, label indie tak bisa menghindar dari arus itu. Toh, keadaan itu pula, katanya, yang kini menjadikan penjualan album band-band indie-berkisar di angka 6.000 kopi per album-tak terpaut jauh dengan kebanyakan album band di bawah label besar. Dia malah melihat prospek band indie makin bagus. "Kondisi masyarakat yang jenuh dengan sajian musik yang itu-itu saja akan membuka peluang bagi band-band indie untuk masuk," katanya.
Peluang itulah yang, terang-terangan diklaim atau tidak, dibidik oleh Kadri Jimmo, Efek Rumah Kaca, Sore, Mocca, dan lain-lain. Gaya bekerja ala indie-hampir semua aspek tergantung diri sendiri (do-it-yourself)-menawarkan fleksibilitas yang tinggi. Kadri Jimmo malah dengan mudah merealisasi dukungan dari kalangan yang kebetulan menaruh minat terhadap perbaikan kualitas musik pop yang ada, lewat Mappa Records. Dengan teknologi rekaman yang kian praktis dan kesempatan yang sama, hal serupa bisa dilakukan siapa saja.
Dan semakin banyak yang tampil akan semakin bagus. Mereka itulah yang merupakan alasan bagi siapa saja penyuka musik untuk tidak putus asa terhadap perkembangan dan kecenderungan umum musik pop di negeri ini.
Purwanto Setiadi, Agung Sedayu, Ismi Wahid (Jakarta), Ahmad Fikri, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo