Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Galeri berlantai dua itu disesaki belasan salib seukuran tubuh manusia. Kesan pertama: syahdu dan religius. Sosok-sosok yang terpancak di palang itu pun tampak ”hidup”. Bahkan ada yang dilengkapi replika darah menetes. Patung-patung perunggu ini dipamerkan dalam Solo Show by Ugo Untoro di Nadi Gallery, Jakarta, 18-30 Juni.
Wajah patung-patung itu memang mencuatkan kesakitan. Namun pose mereka tak semua mencerminkan penderitaan. Ada yang memeluk salib, ada yang berjongkok di ujung palang, ada pula yang menggelantung di benang. Posisi salib juga tak ”konvensional”. Ada yang dibalik sehingga palangnya justru melintang di bawah, ada yang bolong, ada pula yang melengkung. Tapi, tetap saja, ada yang menyisakan horor: tangan dan kaki—tanpa badan—yang menjuntai di salib.
Ugo Untoro, 39 tahun, kali ini mencoba ”tak serius” dengan simbol religius itu. Ugo paham betul karyanya kali ini jelas-jelas berasal dari khazanah agama Kristen, yang menampilkan citra siksaan atas tubuh. Namun Enin Supriyanto, kurator pameran, menyatakan Ugo sejak awal ingin orang ”bisa menangkap humor di karya ini”.
Humor dan penyiksaan, bisakah berdampingan—seperti harapan Ugo? Menurut Enin, Ugo berhasil merangkum dua hal yang lazim dianggap bertolak belakang. Bukan kali ini saja perupa lulusan Institut Senirupa Indonesia (ISI) Yogyakarta ini meleburkan tragedi dan komedi. Karya-karyanya terdahulu—tentang hujan, wayang, kuda, tangga—mampu menampilkan kesan yang pedih sekaligus lucu.
Misalnya ”parade” kuda dalam Poem of Blood di Galeri Nasional dua tahun lalu. Idenya terpantik dari kesedihan Ugo karena kuda kesayangannya mati. Maka ia pun menyodorkan sosok-sosok yang tersiksa: kuda tak berkepala yang mati mengenaskan di arena pacu, kuda yang sudah kisut namun kakinya masih terpancang pada empat roda kereta. Meski begitu, Ugo masih ”sempat” menyelipkan humor. Misalnya, ada kuda yang dijadikan kursi goyang.
Kembali ke soal salib, kata Enin, Ugo memang menampilkan tokoh utama yang tersiksa dan terluka di batang salib. Namun keperihan ala Ugo ini dilandasi alasan yang sangat personal dan bahkan terkesan main-main: rasa kangen. Ya, Ugo mengobrak-abrik simbol sakral itu lantaran ”kangen pada seseorang yang ia cintai”.
Maka, Ugo—ayah dari Tanah Liat, 9 tahun—pun mencoba berhumor lewat ikon yang telanjur kita kenal serius itu. Misalnya dengan pemilihan warna biru metalik pada sebagian karyanya. Biru sebetulnya ”tidak cocok” dipasangkan dengan kesan penderitaan. Namun, kata Enin, Ugo justru mengkontraskan perunggu yang ”serius” itu sehingga tampak bagai mainan plastik yang dipajang di toko-toko. Sang kurator menyatakan, lewat karya-karya ini, si perupa justru sedang memperolok dirinya sendiri.
Ugo adalah satu di antara sedikit perupa dalam negeri yang mampu menampilkan simbol agamis dengan ”santai”. Pameran Revisiting The Last Supper di Plaza Indonesia, April lalu, juga merupakan tafsir bebas para perupa terhadap karya Leonardo Da Vinci pada abad ke-15: Last Supper. Davy Linggar menggambar ulang Perjamuan Terakhir itu, namun sosok Yesus dan 12 muridnya dilukiskan menjinjing tas-tas bermerek. Teguh Ostenrik membawa meja tripleks sungguhan dan piring-piring tanah liat. Bagi dia, perangkat makan di perjamuan terakhir tak harus bernuansa Eropa, tapi Jawa.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo