Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Usia Emas dan Nilai Wajah

Kecenderungan mengikat satu pameran dengan satu tema, seolah peristiwa pameran itu lebih penting daripada karyanya, bisa menjadi jebakan. Dua pameran, di SIGIarts dan Museum Akili, adalah contoh.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Amerika pernah populer semboyan ”hidup dimulai pada 40 tahun”. Sejarawan Onghokham (mendiang) pada ulang tahun ke-60 bilang, ”Hidup dimulai pada 60 tahun.” Kini seorang Alia Swastika membuat pameran seni rupa bertajuk The Golden Age, dan yang dia maksudkan adalah 50 tahun bagi seniman merupakan usia emas. Kurator ini menjelaskan di katalogus bahwa usia emas itu ”dirujuk sebagai usia ideal manusia, di mana manusia telah mendapatkan nilai-nilai yang ideal seperti kedamaian, keharmonisan, stabilitas, dan kemakmuran”.

Di Museum Akili di kawasan Jakarta Barat, ”usia emas” itu diwakili oleh Agus Suwage, 50 tahun, Anusapati (52), Dede Eri Supria (53), Eddie Hara (52), Tisna Sanjaya (51), dan Yani Mariani Sastranegara (54). Dengan contoh terbatas, kurator berusaha menunjukkan perkembangan masing-masing sampai di seputar ”usia emas” itu.

Yang segera jelas adalah Agus Suwage. Di awalnya, pada usia 20-an tahun, Agus membuat karya dengan medium campuran (cat air, tinta, pensil setidaknya) pada kertas. Goresan dan sapuan di sini terasa cair, mengalir. Pokok lukisan umumnya manusia, lelaki dan perempuan. Temanya kekerasan (penganiayaan atas perempuan) dan keintiman (tak jelas apakah di sini perempuan adalah korban, atau terjadi persamaan: sama-sama korban, atau sama-sama pelaku). Yang terkesan, inilah Agus yang memandang dunia dengan tegang dan dahi berkerut. Gambar-gambarnya yang lebih impresionistis dan ekspresif daripada realistis itu seperti mengatakan bahwa ia enggan melukiskan adegan sebenarnya. Ia memilih untuk menekankan substansi (peristiwa itu) daripada bentuk.

Bandingkan kemudian dengan karyanya di awal 2000-an. Bukan saja digambarkan realistis, figur itu bahkan mudah dikenali, dan ada: Agus sendiri. Sebaliknya, pada karya di kertas bertahun 1980-an itu Agus menggambarkan peristiwa yang menurut akal kita bisa terjadi, sementara karya awal 2000-an, meski mungkin juga terjadi, termasuk peristiwa aneh. Matahari merah berupa wajah Agus dengan rambut menyala bagai api mengintip di undak-undakan batu. Di undak-undakan itu berceceran api, yang dari warnanya mestinya api itu berasal dari matahari tersebut. Karya Agus dari dua masa itu menunjukkan perbedaan yang jelas.

Lalu lihat Dede. Pada 1980-an, pada usia 30-an tahun, Dede melihat kota lebih pada bagian muram dan keras. Figurnya adalah sopir angkutan umum, penjual minyak pikulan, atau anak-anak kampung kumuh. Pemandangan kota itu bukan dikhayalkannya; Dede muda suka bertualang, keluar-masuk lorong dan pasar ”tradisional” di Ibu Kota. Lalu karya 2000-annya adalah Dede yang nyaman dan melihat dunia dari jendela rumahnya di lingkungan yang tergolong mahal.

Memang, masih ada jejak kepahitan dan kekerasan pada karya barunya (2000-an), misalnya ia gambarkan dirinya sebagai badut, teronggok di sudut kumuh kota dengan ekspresi murung. Namun ini sisa-sisa masa lalu. Badut yang duduk, kecapekan, itu berterus terang kepada kurator pameran ini: ia sudah capek keluar-masuk lorong-lorong kota. Mungkin ini capek fisik, ketika usia bertambah, namun bisa jadi lebih menggambarkan capek psikis, ketika hidup berubah lebih manja. Maka di kanvas besarnya ada ”moge” atau motor gede, yang mahal, yang menaikkan gengsi pemiliknya, konon. Ini bukan motor yang praktis, untuk keperluan mengangkut bubur ayam atau sayur-mayur di pagi subuh, atau untuk ojek. Inilah perkembangan Dede pada ”usia emas” itu.

Pada Eddie Hara dengan pokok lukisan berupa makhluk-makhluk dengan bentuk fantastis, lalu patung-patung kayu Anusapati yang berkembang menjadi patung logam, kemudian patung Yani Mariani, dan karya grafis Tisna Sanjaya, yang tersaji di Museum Akili tak memberikan perubahan berarti antara karya 1980-an dan 2000-an. ”Usia emas” mereka tampaknya biasa-biasa saja.

Sampai di sini saya teringat Driyarkara. Dalam satu tulisannya tentang manusia dan kebudayaan, filsuf Jawa ini mengatakan bahwa ”manusia harus memanusiakan diri….” Dengan cara itulah manusia melaksanakan ”arti hidupnya”, atau ”tujuan hidupnya”, atau ”tujuan kodrat manusia”. Mereka yang tak mengakui adanya ”arti” atau ”tujuan” itu, menganggap hidup seolah tanpa tujuan, awal, dan akhir, sesungguhnya menganggap bahwa ”hidup manusia adalah nonsens,” simpul Driyarkara.

Enam perupa yang dikuratori Alia Swastika ini, menurut saya, lebih-kurang sudah mencoba ”memanusiakan diri”. Bahwa Agus Suwage kemudian memilih hal-hal yang ”hanya” musykil dan kocak, dan Dede Eri Supria lebih bersantai dan memalingkan muka ke Harley-Davidson yang mengkilap, itu memang perjalanan hidup mereka. Di batas inilah kurator sebenarnya bisa menyajikan perubahan yang lebih tajam dengan memilih karya-karya yang menggambarkan perubahan itu. Tapi ini tentu tak mudah di dunia seni rupa kita kini karena ”bahan” memang sulit—hampir semua karya mereka sudah dalam pingitan kolektor. Yang kemudian terkesan, tema ”Golden Age” yang diuraikan dalam katalogus kurang tecermin pada karya-karya yang dipamerkan.

Inilah memang risiko kecenderungan masa kini: pameran seni rupa mesti dengan sebuah tema. Seolah peristiwa pameran itu sendiri lebih penting daripada karyanya. Seolah karya tidak akan tampil tanpa tema pameran. Memang, sebuah tema dengan argumen yang kuat dan sinkron dan relevan dengan karya-karya yang dipamerkan memperkuat peristiwa pameran dan dengan sendirinya menjadi semacam promosi untuk karya-karya tersebut.

Yang seperti itu, menurut saya, bisa dilihat di Galeri SIGIarts, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, hingga 5 Juli lalu. Membaca katalogus yang mempertanggungjawabkan kuratorial pameran Face Value dan membandingkan karya yang dipamerkan memang agak tak seimbang. Karya empat perupa (F.X. Harsono, Astari, Budi Kustarto, dan Agus Suwage) terasa sedikit dibandingkan dengan uraian Asmudjo Jono Irianto sebagai kurator. Namun, meski dengan agak susah, antara kuratorial dan karya bisa dikatakan relevan dan ”saling mendukung”.

Makna potret diri adalah untuk, antara lain, mengungkapkan identitas diri, cita-cita, trauma, harapan, dan bayangan—pokoknya apa pun yang dirasakan, dialami, dilakukan oleh sang ”potret”. Karya empat perupa yang dipamerkan, menurut hemat saya, memang menggambarkan itu, dan dengan cara penyajian yang selesai.

Dua karya sangat mengundang perhatian. Yang pertama adalah karya Budi Kustarto, Dialog dengan…. Budi yang hijau seluruhnya duduk memandang lawan dialog, seorang perempuan muda telanjang, berkepala gundul. Sosok perempuan ini rasanya mewakili hidup yang jauh dari mudah. Ekspresi itu, dengan mata membelalak yang memandang jauh, secara tak langsung menceritakan perhatian dan keprihatinan Budi Kustarto. Budi menyatakan eksistensinya lewat perempuan gundul yang mencerminkan—seperti sudah disebutkan—hidup yang tak mudah.

Adalah I Am Chinese, I Am Not karya F.X. Harsono. Lukisan akrilik di kanvas ini menggambarkan sebuah ruang yang tegang, dilematis. Harsono di tengah, dikelilingi gambar-gambar potret diri telanjang, baik dari belakang maupun depan (yang ini agak samar di kanan atas bidang gambar), lalu huruf-huruf kanji. Wajah Harsono digambarkan bergoyang-goyang (gerak horizontal yang kabur). Inilah sebuah kisah panjang mereka yang dianggap berbeda dengan lingkungan, ketika lingkungan tidak atau belum bisa menerima yang disebut ”the other”. Dengan medium yang berbeda—lukisan dan film—antara I Am Chinese, I Am Not dan Babi Buta yang Ingin Terbang (sutradara: Edwin) menyiratkan hal serupa: pergulatan batin mereka yang dianggap berbeda di lingkungannya.

Dua karya ini (lukisan dan film), menurut saya, justru berhasil ”menghilangkan” ihwal kecinaan itu, dan mengangkat persoalan menjadi universal: yang berbeda itu bisa siapa saja—misalnya, dalam lakon Siluman Ular Putih, tragedi perbedaan di situ diwakili oleh percintaan antara siluman dan manusia.

Tidakkah dua pameran ini membuktikan dengan jelas bahwa dalam sebuah pameran karya adalah hal utama, sedangkan tema hanya faktor pendukung?

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus