Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Epidemiolog, tepatnya, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menilai kebijakan pengalian ketat kawasan yang masuk zona merah penularan virus di DKI Jakarta, masih lemah.
Hal itu, menurut Tri, terlilhat dari meningkatnya penularan Covid-19, hingga hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Peningkatan kasus yang sekarang terjadi karena pengawasan DKI sudah mulai lemah di kawasan yang menjadi zona merah," kata Tri saat dihubungi, Senin, 10 Agustus 2020. "Bahkan terlihat sudah tidak jalan PSBL tingkat RW."
Baca juga : Kota Depok Satu-satunya Zona Merah Covid-19 di Jabar, Ridwan Kamil Bilang Begini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri menuturkan wabah ini tidak akan bisa dikendalikan tanpa adanya pembatasan pergerakan orang dengan ketat. Relaksasi kegiatan melalui PSBB transisi justru menjadi langkah pemerintah menambah pasien Covid-19.
"Wabah belum terkandalli sudah masuk transisi. Ini akan terus menambah jumlah warga yang terinfeksi," ucapnya terkait tingginya positif Covid-19.
Epidemiolog itu menyarankan pemerintah menerapkan pengendalian dengan ketat wilayah yang masuk zona hijau jika ingin menekan penularan pagebluk ini.
Menurut dia, pembatasan lokal di tingkat rukun warga tidak lagi efektif dengan melihat penambahan kasus baru Covid-19. Hingga hari ini masih ada 33 RW masuk dalam kawasan pengendalian ketat Covid-19.
"Kalau masih tinggi seperti sekarang pengendalian ketat tidak cukup di tingkat RW. Harus tingkat kecamatan atau kelurahan," ujarnya.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 8 Agustus menunjukkan, penambahan pasien positif Covid-19 di Ibu Kota sebanyak 721 orang dengan total 25.242 kasus. Sedangkan pasien sembuh juga bertambah 509 orang dan meninggal naik 12 orang.
Penambahan pasien positif ini yang terbanyak selama pandemi Covid-19. Positivity rate-nya 7,4 persen atau di atas standar World Health Organization (WHO), yakni 5 persen.