Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Penanganan masalah limbah di sungai-sungai Ibu Kota belum mendapat perhatian serius dari pemerintah DKI Jakarta. Sejumlah pengamat kebijakan tata kota melihat penataan sungai masih berbasis program kerja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Satu di antaranya adalah program naturalisasi sungai yang dilaksanakan sejak Gubernur Anies Baswedan menjabat, tapi belum membuahkan hasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan selama ini warga Jakarta menganggap sungai sebagai tempat pembuangan limbah, dari limbah rumah tangga hingga pabrik. "Orang menjadikan sungai seperti septic tank," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kondisi tersebut terjadi lantaran tidak adanya kesadaran bahwa sungai adalah ruang publik bersama yang harus dijaga. Walhasil, upaya membersihkan sungai saat ini masih mengandalkan petugas kebersihan atau pasukan oranye. Meski begitu, budaya masyarakat tetap, yaitu gemar membuang sampah ke sungai. Bahkan, Yayat menuturkan, perusahaan penyedot tinja juga membuang limbah ke sungai.
Yayat menanggapi rencana DKI mengolah limbah di Kali Item, Jakarta Utara. Gubernur Anies membeberkan rencana melakukan pengelolaan limbah di Kali Item atau Kali Sentiong, Jakarta Utara. Dia juga menyarankan anak buahnya agar pengolahan limbah dimulai dari sumbernya. "Air limbah sumber polutannya harus diolah, pembenahannya tidak bisa di kalinya," kata Anies, pekan lalu.
Perusahaan Daerah PAL Jaya, yang ditugasi membereskan limbah di Kali Item, menyiapkan dua metode percobaan untuk mengolah air limbah dari rumah warga. Keduanya adalah skema mini komunal dan sistem interceptor. Dengan metode mini komunal, PD PAL Jaya harus memasang pipa di setiap rumah warga di kawasan Kali Item. Selanjutnya ada pemasangan alat biopal sebagai pengolah air limbah. Satu alat biopal hanya bisa menampung air limbah dari 5-10 rumah.
Yayat kemudian menyinggung era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Dia menilai kala itu pemerintah DKI berhasil membersihkan sungai. Jumlah pasukan oranye diperbanyak dan gajinya dinaikkan. Namun itu pun tak efektif karena sama sekali tak melibatkan peran serta masyarakat, sehingga tak mengurangi kebiasaan masyarakat untuk terus-terusan membuang sampah ke kali.
Selanjutnya, pada era Gubernur Anies, pendekatan yang dilakukan pemerintah DKI untuk menangani sampah dan limbah masih berbasis proyek pembangunan. "Pendekatan proyek lebih menarik karena ada uangnya."
Yayat lantas menagih janji Gubernur Anies ihwal program naturalisasi sungai yang akan dilakukan di 13 sungai di Ibu Kota. Selama ini program tersebut belum pernah dilakukan. Yayat ingin melihat apakah program naturalisasi sungai mampu mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak membuang sampah, baik di bantaran maupun di sungai.
Anggota Komisi Pembangunan DPRD DKI, Pantas Nainggolan, mengatakan penanganan limbah di sungai tak bisa sekadar membangun instalasi pengolahan air limbah. Dia berpendapat, pemerintah DKI harusnya meneruskan program pembersihan yang dulu pernah dilakukan oleh Basuki alias Ahok dari hulu hingga hilir sungai.
"Jangan sungkan melanjutkan program yang sudah baik," ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, kemarin.
Dia juga meminta program pembersihan limbah diterapkan pula di 13 aliran sungai lainnya di Ibu Kota, khususnya Sungai Ciliwung yang sering mendapat limpahan sampah dan limbah dari hulu hingga hilir. AVIT HIDAYAT
Berbagai Cara Menangani Kali Item
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo