Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Joko Soegiarto Tjandra membangun menara The Exchange di Kuala Lumpur, Malaysia.
Gedung itu berdiri di kawasan Tun Razak Exchange yang ditengarai terkait dengan skandal rasuah 1MDB.
Di Papua Nugini, Joko berbisnis di bidang pertanian. Namanya tercantum dalam dokumen Panama Papers.
BEBERAPA kali pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia, tahun lalu, Anita Kolopaking tak pernah absen menyambangi menara The Exchange 106 di kawasan pusat finansial elite Tun Razak Exchange. Menjulang 445 meter, gedung itu tertinggi ketiga di Malaysia setelah menara kembar Petronas. Di lantai 106 pada ketinggian 397 meter, Joko Soegiarto Tjandra, klien Anita sekaligus buron kasus hak tagih Bank Bali, berkantor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anita, pengacara 57 tahun, mengaku terakhir kali menyambangi Exchange 106 pada November 2019. Menurut dia, distrik Tun Razak tak ubahnya pusat bisnis Sudirman di Jakarta dan menara Exchange 106 menonjol di area itu dengan fasad berlapis kaca. Interior bangunan, termasuk kantor Joko, didominasi marmer dan lampu kristal. “Seperti Hotel Mulia di Senayan. Mewah dan eksklusif,” kata Anita di Jakarta pada Jumat, 10 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko tak sekadar berkantor di Exchange 106, tapi ia menguasai properti itu melalui perusahaan Mulia Group. Awalnya pencakar langit itu digagas 1Malaysia Development Berhad (1MDB), lembaga investasi milik pemerintah Malaysia. Pada 13 Mei 2015, 1MDB Real Estate, pengembang Tun Razak Exchange, menjual tanah lokasi proyek Exchange 106 kepada Mulia Group senilai 665 juta ringgit—setara dengan Rp 2,2 triliun dalam kurs saat ini.
Megaproyek kawasan Tun Razak Exchange sempat disinggung dalam berkas gugatan yang diajukan Departemen Kehakiman ke Pengadilan California. Dokumen setebal 280 halaman itu memuat dana pengembangan Tun Razak Exchange diambil dari investasi 1MDB sebesar US$ 3 miliar—sekitar Rp 43 triliun. Anggaran itu diduga diselewengkan dan belakangan menyeret bekas Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, dalam skandal rasuah tersebut.
Menurut Anita, Joko lebih sering berada di Kuala Lumpur. Kepada Anita, Joko mengaku kerasan tinggal di negeri jiran. Saat berkunjung ke Malaysia, Anita mengajak Joko makan di Mal Pavilion Kuala Lumpur. Joko langsung menyanggupi undangan Anita dan pergi ke mal tanpa khawatir ditangkap layaknya buron. “Beliau sangat diapresiasi di sana,” ujar Anita.
Portofolio bisnis Joko di Malaysia ditengarai bukan hanya Exchange 106. Tiga pengacara yang diwawancarai Tempo secara terpisah mengaku pernah menemui Joko di Menara Hong Leong Assurance (HLA) di Jalan Kia Peng, Kuala Lumpur, pada Oktober 2019. Tak ingat di lantai berapa Joko berkantor, ketiganya menyebut ruangan Joko kira-kira seluas lapangan futsal.
Sejumlah situs properti mencatat Menara HLA merupakan alamat kantor pusat Mulia Group Malaysia. Perusahaan itu berkantor di lantai 20. Satu dari tiga pengacara tersebut bercerita, kedatangannya ke kantor Joko waktu itu karena diundang untuk mendiskusikan peluang menghadapi upaya peninjauan kembali yang pernah diajukan jaksa pada 2009.
Seusai pertemuan, tim Joko mengantar ketiganya berkeliling Kuala Lumpur. Mereka sempat singgah di Exchange 106. Namun acara bubar lebih cepat karena seorang di antaranya melihat kehadiran mantan perdana menteri Najib Razak di sana. Ketiganya memang bersepakat untuk tak berjumpa dengan politikus lokal.
Jejaring bisnis Joko juga terlacak di Papua Nugini. Pada 2009, Joker—nama alias Joko—terbang ke Port Moresby, ibu kota Papua Nugini. Ia lantas mendapatkan kewarganegaraan tiga tahun kemudian. Namanya pun berubah menjadi Joe Chan.
O’Neill mengatakan pemerintah Papua Nugini tak pernah menerima surat permohonan dari Jakarta mengenai deportasi Joko Tjandra.
Transparency International Papua New Guinea, lembaga pegiat antikorupsi, menilai status kewarganegaraan yang diperoleh Joko janggal. Dalam konstitusi Papua Nugini, naturalisasi baru bisa dilakukan setelah warga negara asing menetap minimal selama delapan tahun. Joko bahkan juga mengantongi kartu perjalanan bisnis Asia-Pacific Economic Cooperation.
Dalam dokumen Transparency yang terbit pada 2017, Joko menjalankan sejumlah investasi saat Peter O’Neill menjadi perdana menteri. Menurut Transparency, status hukum Joko di Indonesia tak menghentikan pria asal Sanggau, Kalimantan Barat, itu memperoleh kontrak renovasi gedung pusat pemerintahan senilai 145 juta kina—setara dengan Rp 601 miliar.
Joko juga merambah bisnis pertanian di Papua Nugini. Dalam makalah Transparency, sejumlah menteri senior di kabinet O’Neill diduga memuluskan perusahaan milik Joko, Naima Agro Industry Limited, untuk mendapatkan hak monopoli pengadaan beras di Central Province di pesisir selatan. Berdasarkan penelusuran Kejaksaan Agung pada 2012, nilai investasi yang dibenamkan Joko di Naima mencapai US$ 2 miliar.
Dalam berbagai kesempatan wawancara saat menjadi perdana menteri, O’Neill mengaku pemerintah tak pernah menerima surat permohonan dari Jakarta mengenai deportasi Joko. O’Neill pun mengklaim telah memerintahkan sejumlah pejabat dan Komisi Ombudsman menyelidiki asal-usul paspor Papua Nugini yang dimiliki Joko.
Pengacara Joko, Anita Kolopaking, membenarkan bisnis kliennya di sektor hortikultura. Menurut Anita, Joko sering bercerita soal seluk-beluk budi daya tanaman di Papua Nugini. “Meski itu bukan bidangnya, Pak Joko sangat paham dan menguasai,” kata Anita.
Duta Besar Indonesia di Port Moresby, Andriana Supandy, mengatakan jaringan bisnis Joko di Papua Nugini masih perlu diverifikasi. Joko disebut jarang tinggal di sana setelah kasus kewarganegaraannya dipersoalkan otoritas Papua Nugini. “Pemerintah Papua Nugini belum pernah mencabut status warga negara yang bersangkutan,” ujar Andriana.
Jembarnya skala bisnis Joko juga terungkap dari dokumen Panama Papers, bocoran file finansial dari firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Nama Joko tercatat dalam 27 berkas, yang tertua berasal dari 1986. Tahun itu, Joko dan saudaranya membentuk C+P Holdings Limited. Joko menguasai 14 ribu lembar saham dengan nilai US$ 1 per saham. Perusahaan ini didirikan di yurisdiksi British Virgin Islands, negara suaka pajak di kawasan Karibia.
Joko pun tercatat meminta firma Mossack Fonseca mendirikan perusahaan cangkang bernama Shinc Holding Limited pada Mei 2001. Akta pendirian Shinc Holdings mencantumkan modal awal sebesar US$ 50 ribu dengan harga per lembar US$ 1. Joko memakai alamat rumahnya di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, dalam sertifikat itu. Belakangan, alamat perusahaan berpindah ke Omega Plaza di Mong Kok, Hong Kong.
Pada Agustus 2012 atau tiga tahun setelah Joko menjadi buron, ada sebuah perusahaan investasi yang meminta perubahan komposisi saham Shinc Holdings kepada Mossack Fonseca. Memenuhi permintaan itu, Mossack mengalihkan kepemilikan kepada anak-anak Joko. Dimintai konfirmasi soal portofolio Joko yang bocor di Panama Papers, Anita Kolopaking mengaku tak tahu. “Beliau belum pernah cerita,” ujarnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. memastikan pemerintah masih akan memburu aset Joko yang lain. Upaya itu dilakukan untuk memulihkan kerugian negara dalam kasus hak tagih Bank Bali, meski pemerintah telah menyita Rp 546 miliar dari rekening Joko di Bank Permata. “Masih belum semuanya,” kata Mahfud.
RAYMUNDUS RIKANG, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo