Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alis Joko dan Surat Interpol

Buron perkara hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, keluar-masuk Indonesia tanpa tercatat di perlintasan Imigrasi. Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI saling menyalahkan. Diduga ada peran Sekretariat National Central Bureau Interpol dalam pencabutan red notice.

11 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Joko S. Tjandra di ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus korupsi Bank Bali, Jakarta, 2000./dok. TEMPO/Bernard Chaniago

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Joko Soegiarto Tjandra merencanakan peninjauan kembali sejak 2017 setelah permohonan uji materi yang diajukan istrinya dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

  • Sekretariat NCB Interpol mengirimkan surat kepada Imigrasi yang isinya berbeda dengan jawaban Kejaksaan Agung.

  • Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. meminta ada penyelidikan internal.

BAKDA magrib pada Rabu, 8 Juli lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. mengumpulkan sejumlah lembaga untuk mendapatkan penjelasan soal leluasanya buron perkara hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, keluar-masuk Indonesia. Mahfud hanya mengetahui Joko sempat berada di Tanah Air dari penjelasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 Juni lalu. Ia belum menerima laporannya langsung. “Sepertinya kita kecolongan betul. Semua terlewati,” kata Mahfud kepada Tempo pada Jumat, 10 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Mahfud, pemimpin lembaga yang ia kumpulkan menyatakan tak mengetahui kapan persisnya Joko, yang telah buron selama 11 tahun, masuk ke Indonesia. Di Jakarta, Joko bahkan datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali alias PK atas perkara yang menjeratnya. “Diketahui tiba-tiba dia sudah masuk. Pertanyaannya, kok bisa masuk?” ujar Mahfud. Ia mengajukan pertanyaan itu kepada Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jhoni Ginting, salah seorang tamu. Perlintasan Imigrasi tak mendeteksi Joko. Imigrasi bahkan menerbitkan paspor baru untuk pemilik Mulia Group itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua majelis hakim Nazar Effriandi (tengah) memimpin sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh buron kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, pada 6 Juli 2020. Antara/Reno Esnir

Mahfud kemudian mencecar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrullah, yang juga hadir dalam pertemuan. Joko mendapatkan kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP dari Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Selanjutnya, Mahfud memberondong Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan tim dari Polri. “Kok bisa di polisi lolos? Kok bisa di Imigrasi lolos?” kata Mahfud.

Joko Tjandra menjadi buron Kejaksaan Agung sejak 2009. Ia kabur ke luar negeri sehari sebelum Mahkamah Agung menerbitkan putusan peninjauan kembali yang menyatakan dia bersalah dalam korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Dalam putusan PK yang diajukan Kejaksaan Agung itu, Joko divonis dua tahun bui. Duit Joko di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar pun dirampas negara. Duit tersebut diterima perusahaan Joko, PT Era Giat Prima, dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Indonesia karena Bank Bali mengalami gagal bayar. Meski pengajuan hak tagih ini telah melewati batas waktu, BPPN tetap mengucurkan dana ke perusahaan Joko.

Dari tamunya, Mahfud mendapat penjelasan yang tak terduga. Menurut Mahfud, salah seorang polisi menyampaikan sudah mencoret nama Joko Tjandra dalam daftar buron Interpol sejak 2014. Alasannya, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor putusan peninjauan kembali tak pernah mengajukan perpanjangan.

Mahfud kemudian menanyakan hal tersebut kepada Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, yang datang mewakili Kejaksaan. Setia, menurut Mahfud, mengatakan tak perlu ada permohonan perpanjangan. Status buron berlaku hingga terpidana tersebut ditangkap. Setia melemparkan pertanyaan Mahfud kepada polisi agar menjawabnya. “Lalu saya tanyakan, buronan lain ada yang sudah 13 tahun dan tak ada permohonan perpanjangan tapi tidak dicoret dari daftar pencarian orang,” ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, ia tak memperoleh jawaban yang terang-benderang dari polisi. “Jawabannya tidak detail. Ini bisa diusut secara internal,” katanya.

Penelusuran Tempo menemukan, Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri sebenarnya berkirim surat kepada Kejaksaan Agung pada pertengahan April lalu. Dalam suratnya, NCB Interpol menanyakan apakah Kejaksaan masih perlu memasukkan Joko Tjandra ke daftar red notice atau permintaan kepada Interpol di dunia untuk menangkap atau menahan seorang pelaku tindakan kriminal.

Kejaksaan membalas surat itu pada 21 April lalu. “Kejaksaan menjawab masih memerlukan Joko dalam red notice dan tetap berstatus buron,” ujar seorang jaksa yang mengetahui surat tersebut. Saat ditanyai mengenai pertemuannya dengan Mahfud dan surat-menyurat Kejaksaan dengan NCB Interpol, Setia Untung mengalihkan ke hal lain. “Sehat selalu ya, jaga jarak dan jaga kesehatan,” ucap Setia.

Nyatanya, meski Kejaksaan meminta agar Joko tetap dimasukkan ke daftar red notice, Sekretariat NCB Interpol menerangkan bahwa Joko tak masuk lagi daftar itu ketika menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi pada 5 Mei. Alasannya, seperti yang disampaikan polisi saat bertemu dengan Mahfud, Kejaksaan tak mengajukan perpanjangan sejak 2014. Tempo meminta konfirmasi kepada Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono perihal ini. Menurut Argo, ia telah menanyakan hal tersebut kepada Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, tapi, “Saya belum mendapat jawaban.”

Mahfud Md. Tempo/Hilman Fathurrahman W.

Atas dasar surat dari NCB Interpol itulah, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, Imigrasi menghapus nama Joko Tjandra dari daftar “orang terlarang” di perlintasan Imigrasi. “Berarti otomatis hilang di kami. Kami kan cuma penerima, kami supporting,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Joko kembali masuk daftar hitam Imigrasi setelah Kejaksaan Agung menetapkannya lagi sebagai buron pada 27 Juni atau setelah ada kehebohan. Imigrasi pun menarik paspor baru Joko yang terbit pada 23 Juni. “Saat saya melihat fotonya, dia memiliki alis, padahal dulu tidak,” kata Yasonna.

Paspor baru atas nama Joko yang dulu, Joko Soegiarto Tjandra, tak sempat digunakan. Yasonna mengatakan tak ada nama Joko Soegiarto Tjandra dalam data perlintasan masuk ataupun keluar Indonesia. Penelusuran Tempo dengan mengecek empat nama yang mungkin dipakai Joko, yakni Joko Soegiarto Tjandra, Joe Chan, Jhoko Candra, dan Joko Sugiarto Candra, di dalam data perlintasan juga nihil. Yang muncul hanya data anggota keluarga Joko, yang kerap melakukan perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur dan Denpasar-Kuala Lumpur. Ada juga anggota keluarga Joko yang lain, yang kerap bolak-balik Jakarta, Denpasar, Kuala Lumpur, Singapura, dan Hong Kong.

Kuasa hukum Joko, Anita Kolopaking, mengatakan kliennya masuk ke Tanah Air tanpa mengendap-endap. Ia berkoordinasi dengan Joko mengenai kedatangannya di Indonesia untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali. “Pak Joko bilang bahwa dia sudah tidak lagi masuk red notice. Saya cek ke teman-teman ternyata betul,” ujar Anita. Ia enggan menjelaskan yang dimaksud “teman-teman” tersebut. “Bisa saja pakai paspor Papua Nugini atau Malaysia atau mana, saya tidak tahu.”

• • •

ANITA Kolopaking menerima kabar Joko Tjandra ingin mengajukan permohonan peninjauan kembali pada September 2019. Seorang utusan meminta advokat yang biasa menangani perkara arbitrase ini mempelajari kasus hak tagih Bank Bali yang menjerat Joko. Anita kemudian rutin berkomunikasi dengan Joko hingga beberapa kali bertandang ke kantornya di gedung pencakar langit, The Exchange 106, di Kuala Lumpur, Malaysia. “Kami sering berkomunikasi. Setelah semua sudah oke, ya tinggal nunggu daftar dan sidang,” katanya pada Jumat, 10 Juli lalu.

Sesungguhnya Anita dan utusan Joko membahas rencana PK tersebut sejak 2017, setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan istri Joko, Anna Boentaran. Anna keberatan atas peninjauan kembali yang diajukan jaksa pada 2009 terhadap putusan kasasi yang menyatakan Joko tidak terbukti dalam perkara korupsi hak tagih Bank Bali pada 2001. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 363 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan milik jaksa.

Kantor Lurah Grogol Selatan, Jakarta, tempat Joko Soegiarto Tjandra membuat kartu tanda penduduk, Jumat, 10 Juli 2020. Tempo/Hilman Fathurrahman W.

Setelah itu, Anita tak mendengar kelanjutan rencana peninjauan kembali hingga sang utusan mengontaknya lagi pada September tahun lalu. Sejak itu, Anita mempelajari perkara Joko Tjandra, yang kemudian memintanya sebagai kuasa hukum. Anita pun berkali-kali membujuk Joko agar datang ke Indonesia karena kehadiran terpidana merupakan syarat mutlak dalam pendaftaran peninjauan kembali. “Awalnya dia enggak mau hadir,” ujarnya. Anita meyakinkan Joko bahwa jika ingin nama baiknya pulih, ia harus hadir di persidangan. “Sejak awal Bapak bilang ingin mengembalikan nama baik keluarga,” katanya, “bukan ingin balik ke Indonesia.”

Anita juga menyiapkan kartu tanda penduduk elektronik untuk kliennya. KTP lama Joko tak berlaku sejak 2012. Menggunakan jejaringnya, Anita memperoleh kontak Lurah Grogol Selatan, Asep Subahan. Ia bertanya kepada Asep apakah bisa memperpanjang KTP kliennya yang sudah sebelas tahun tinggal di luar negeri. Asep kemudian mengecek data Joko di dalam basis data kependudukan. Data Joko masih ada, hanya statusnya tidak aktif. Ia kemudian menyilakan Anita membawa Joko datang ke kelurahan. “Kan, harus ada perekaman data. Sidik jari itu tidak bisa diwakilkan,” ucap Asep.

Pada Ahad malam, 7 Juni lalu, Anita dihubungi Joko yang mengatakan sudah berada di Jakarta pada malam itu. Joko meminta Anita menjemputnya di kediamannya di Jalan Simprug Golf I Nomor 89, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, pada Senin pagi.

Esoknya, menunggang mobil Anita, Joko datang ke kantor kelurahan pagi-pagi. Ia terus mengenakan masker. “Bapak mencopot masker hanya saat difoto,” ujar Anita. Berdasarkan penelusuran, e-KTP Joko dengan foto berlatar merah dibuat pada Senin, 8 Juni 2020, pukul 07.00. Ini setengah jam sebelum pelayanan Kelurahan Grogol Selatan dibuka. Jamaknya kelurahan mulai membuka pelayanan pada pukul 07.30.

Kejanggalan lain: saat mengajukan permohonan e-KTP, Joko tak lagi berkewarganegaraan Indonesia. Ia menjadi warga negara Papua Nugini selama dalam pelarian. Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Andriana Supandy, mengatakan Joko Tjandra mendapatkan paspor Papua Nugini pada Mei 2012. Ia mengubah namanya menjadi Joe Chan dan mengganti tanggal kelahirannya, dari sebelumnya 27 Agustus 1951 menjadi 27 September 1963. Pada Januari 2018, Joko memperoleh paspor baru lagi atas nama yang sama, Joe Chan, yang berlaku hingga Januari 2023. “Terkait dengan status kewarganegaraan JST (Joko Soegiarto Tjandra), pemerintah Papua Nugini belum pernah mencabut status warga negara Papua Nugini yang bersangkutan,” tutur Andriana.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrullah mengatakan lembaganya tak pernah menerima informasi perubahan kewarganegaraan Joko Tjandra. Karena itu, data kependudukan Joko yang dipakai dalam KTP-nya yang lama—dicetak pada 2008—hanya nonaktif, bukan dicabut. “Dalam database kependudukan, yang bersangkutan tercatat sebagai warga negara Indonesia,” kata Zudan.

Lurah Grogol Selatan Asep Subahan. Tempo/M. Yusuf Manurung

Setelah mengantongi KTP, Anita dan Joko bergegas ke kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali. Di sana, anggota staf Anita sudah menunggu. “Petugas membawa berkas kami ke belakang, dipelajari kepala pengadilan negeri atau bagian pidana khusus. Tapi kami tidak bertemu dengan kepala pengadilan,” ujar Anita. Menurut dia, Joko berada di pengadilan selama dua jam.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima pendaftaran permohonan peninjauan kembali tersebut. Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suharno, mengklaim petugas pelayanan pendaftaran tak mengetahui bahwa Joko berstatus buron. Karena itu, lembaganya tak melapor ke penegak hukum pada saat itu. “Siapa yang tahu kalau Joko buron,” kata Suharno.

Rampung urusan pendaftaran, Anita mengantarkan kliennya kembali ke rumahnya di Simprug Golf. Mereka tak lagi banyak berdiskusi soal perkara karena tinggal menunggu waktu sidang. “Pak Joko sebelumnya mau hadir di sidang, tapi keburu ramai. Akhirnya dia pulang ke Malaysia,” ujarnya. Jika tak ada keramaian ini, Anita menyatakan Joko bakal hadir di persidangan. Joko, kata dia, yakin permohonan peninjauan kembali yang diajukannya akan dikabulkan.

Sebelum balik ke Kuala Lumpur, Joko membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada Senin pagi, 22 Juni lalu. Anita mengantarnya ke sana. Tapi, setelah menunggu seharian, paspor tak kunjung jadi. “Sedangkan Bapak mau pulang ke Malaysia hari itu juga,” katanya.

Paspor baru Joko terbit keesokan harinya. Walhasil, Joko meninggalkan Jakarta tanpa menggunakan paspor atas nama Joko Soegiarto Tjandra. “Saya tanya Bapak pakai paspor apa. Tapi Bapak bilang, ‘Kamu tidak usah tahu’,” ujarnya. Sesudah itu, Joko tak pernah hadir di sidang peninjauan kembali dengan alasan sakit. Ia melampirkan surat dari sebuah klinik di Malaysia.

Anita mengatakan pejabat Indonesia tak mungkin tidak tahu bahwa Joko selama ini berada di negeri jiran. “Orang Indonesia bohong kalau enggak tahu Joko Tjandra di Kuala Lumpur,” kata Anita. “Joko kan di sana punya proyek yang cukup besar.”

LINDA TRIANITA, RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus