Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA serangkum malam, ia terbaring. Dua tungkai, saling tindih. Lebam di sekujurnya. Aorta yang pecah dan darah yang menggenang. Di atasnya, kayu-kayu menindih.
Hari belum lagi jadi di Gunung Sitoli, Nias. Jam berhenti sebelum malam sampai di puncak. Senin pekan lalu, 23.10 WIB. Dua tungkai itu, entah milik siapa, seperti mengulang selarik sajak Bertolt Brecht:
In the dark times Will there also be singing? Yes, there will also be singing About the dark times
Kurang dari 100 hari, bencana itu terulang. Nias, pulau di pinggir selatan Sumatera itu, terguncang hebat. Sebelumnya, hanya sejengkal dalam peta, Aceh lantak oleh tsunami.
Dibandingkan dengan Aceh, korban Nias memang tak banyak. Tapi bencana—juga rasa sakit—tak pernah bisa dibandingkan.
Di kamp penampungan, seorang lelaki meratapi istrinya yang menjadi mayat. Selembar kain menutupinya. Lilin-lilin menyala. Tanpa panas, hanya redup cahaya. Ia meraba pipi perempuan itu. Dingin.
Seperti ingin dikenangnya masa lalu. Ketika mereka masih bersama: jatuh cinta, bertengkar, bersilang kata. Perpisahan datang begitu cepat. Ingin dia menangis. Tapi sia-sia.
Setumpuk dusun yang cantik musnah. Gempa 8,7 skala Richter menggada. Seribu orang, mungkin lebih, diperkirakan tewas. Yang hidup berkumpul di pinggir jalan-jalan yang patah.
Seluruh cerita tentang keindahan Tano Niha—nama lain Nias—raib. Pantai Sorake dan Lagundri, atraksi lompat batu, rumah-rumah adat yang tua dimakan usia. Di Nias, waktu berhenti tiba-tiba.
Inikah sedu penghabisan? Tak ada jawaban. Yang tersisa hanya puing, tubuh yang litak, tanah yang kehilangan harapan. Di sana, di sebuah pulau, jauh di selatan.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo