Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Juragan Penebas Untung

Petani di sejumlah daerah dirugikan dengan tata niaga tembakau. Perusahaan dan tengkulak membeli hasil panen dengan harga murah.

15 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perusahaan penyalur tembakau mematok harga seenaknya dan merugikan petani.

  • Petani tembakau kerap berhubungan dengan tengkulak yang terhubung dengan perusahaan rokok.

  • Pemerintah daerah tak bisa mengatur tata niaga tembakau.

SEJAK empat tahun lalu, pohon-pohon tembakau di ladang milik Sunarsono sudah punya pembeli meski musim panen belum tiba. Petani tembakau asal Desa Kembang, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, itu berkontrak dengan PT Sadhana Arifnusa. Ia dijatah menyetor dua ton daun tembakau ke perusahaan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Sadhana adalah salah satu perusahaan yang menyalurkan tembakau dari petani ke industri rokok milik PT HM Sampoerna Tbk. Di Bondowoso, perusahaan ini mendirikan gudang penyimpanan tembakau di Kecamatan Pancoran, sekitar enam kilometer dari pusat kota. “Saya berkontrak karena berjaga-jaga kalau harga tembakau sedang jelek,” kata Sunarsono di Bondowoso pada pekan kedua November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada musim panen tahun lalu, tembakau Sunarsono hanya dibayar Rp 27 ribu per kilogram oleh perusahaan. Ia tetap melepas panenannya ke PT Sadhana meski harganya tak menguntungkan. Selain terikat kontrak, Sunarsono mengaku sangat bergantung pada hasil dagang tembakau itu.

Mustopa, petani tembakau asal Bondowoso, juga bermitra dengan PT Sadhana. Ia memperoleh paket bahan pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dari perusahaan itu. Sepaket bahan itu cukup untuk menggarap 1 hektare ladang. Namun paket itu tak gratis. “Kami membayar Rp 1,4 juta,” ucapnya.

Ketika musim panen tiba, Mustopa tak bisa menjual tembakau ke pihak lain meski harganya lebih tinggi. Tahun lalu, misalnya, ada gudang tembakau yang mau membayar Rp 35-38 ribu per kilogram. Tapi PT Sadhana mematok mole milik Mustopa seharga Rp 34 ribu.

Menurut Mustopa, petani jarang mendapatkan cuan kendati harga tembakau melambung. Pada 2011, ketika harga bisa menyentuh Rp 42 ribu per kilogram, tembakau milik Mustopa hanya dibayar kurang dari Rp 40 ribu. “Petani tembakau selalu buntung,” ujarnya.

Dihubungi pada Sabtu, 15 Januari lalu, penanggung jawab bidang agronomi PT Sadhana, Ari Nugroho, enggan berkomentar. Ia menyatakan akan memberi tahu manajemen perusahaan. “Kami siap memberi pernyataan ke media jika manajemen mengizinkan,” tuturnya.

Petani sebenarnya bisa memilih tak bermitra dengan perusahaan distributor tembakau. Mereka dapat menyetor panen ke pabrik rokok. Tapi tetap saja harus melalui perantara, yaitu tengkulak.

Para tengkulak biasanya pernah bekerja, terutama sebagai grader alias penilai mutu tembakau, di perusahaan seperti PT Sadhana. Mustopa menyebutkan sebagian besar tengkulak memegang kartu identitas yang diakui perusahaan distributor tembakau.

Tumpukan tembakau di Desa Jabungsisir, Probolinggo, Jawa Timur, 13 Januari 2022. TEMPO/David Priyasidharta

Jimin, petani tembakau asal Desa Jabungsisir, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, juga berhadapan dengan blandang—sebutan bagi para tengkulak di sana. Bertani di lahan seluas setengah hektare, Jimin hanya bisa memanen kurang dari 1 ton tembakau pada musim tanam tahun lalu. Hasil panen itu langsung dijual kepada para blandang.

Ditemui Tempo pada akhir November 2021, Jimin mengatakan para tengkulak biasanya berkeliling di Jabungsisir ketika musim panen tiba. Mereka menyambangi petani untuk menawar harga tembakau atau sekadar melihat kualitas daun. Para tengkulak akan menilai daun terbaik yang terletak di bagian tengah pohon atau petikan ketiga dan keempat dari lima petikan.

Tahun lalu tembakau Jimin dihargai Rp 27 ribu per kilogram oleh tengkulak. Ia mengaku mengeluarkan modal Rp 15 juta untuk ongkos penanaman dan perawatan. Memanen hampir 1 ton daun tembakau, Jimin sedikitnya meraup untung Rp 10 juta. “Lebih untung menanam tembakau daripada padi,” katanya.

Jimin enggan bermitra dengan perusahaan penyalur tembakau. Ia keberatan terhadap perjanjian dagang dan penentuan harga yang diketok sebelum panen. Jimin lebih senang menjual panenannya kepada tengkulak karena harga belinya sering lebih tinggi dari tarif yang ditentukan perusahaan.

Ia sadar risiko berniaga dengan para tengkulak. Salah satunya setoran kepada para pegawai gudang tembakau. Jimin harus merogoh kocek sedikitnya Rp 150 ribu untuk petugas keamanan, kuli panggul, grader, hingga petugas pengemasan agar tembakau rajangan tetap aman sampai di gudang. “Pengiriman dan penyimpanan tembakau tak bisa sembarangan,” ujarnya.

Tengkulak sangat berkuasa menentukan harga. Petani kerap kebingungan memilih menjual atau menahan hasil panen. Pada 2011, petani di Desa Jabungsisir sampai menukar stok tembakau dengan beras karena harga yang ditawarkan tengkulak kelewat murah, sekitar Rp 11 ribu per kilogram. Jimin memilih menyimpan hasil panen, yang belakangan laku Rp 20 ribu per kilogram.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Kabupaten Probolinggo Mudakkir mengatakan rantai tata niaga tembakau sangat panjang. Mayoritas petani harus menjual panenan kepada tengkulak. Dari tengkulak, barang bisa langsung dikirim ke gudang atau pemasok seperti PT Sadhana. Para pemasok ini yang akan mengantar paket tembakau ke pabrik rokok.

Menurut Mudakkir, pemasok adalah pihak yang paling menikmati cuan dari rantai bisnis tembakau. Selain bisa menentukan harga, mereka bisa menjual tembakau petani ke beberapa pabrik sekaligus. “Kalau tak laku di pabrik rokok besar, mereka bisa menjual ke pabrik kelas menengah ke bawah,” ucapnya.

Pelaksana tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Probolinggo, Mohammad Natsir, menjelaskan, pemerintah tak bisa mengatur tata niaga tembakau dan hanya mengimbau perusahaan dan pemasok menyerap hasil panen petani.

Data Dinas Perindustrian tahun 2020 menunjukkan, petani mengirim 6.300 ton tembakau ke empat perusahaan, antara lain PT Gudang Garam Tbk dan PT Djarum.

Jeratan tengkulak juga dialami petani tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Juwandi, warga Desa Jeketro, Kecamatan Kledung, berutang modal penanaman tembakau ke tengkulak. Pada Maret 2021, ia meminjam Rp 10 juta untuk membeli pupuk dan obat hama. “Saya harus mengembalikan Rp 15 juta,” kata Juwandi.

Ia bercerita, biaya panen akan lebih besar dibanding biaya saat menanam dan merawat tembakau. Ia harus membayar ongkos tenaga yang memetik dan merajang serta biaya transportasi. Tembakau siap jual akan dikemas ke dalam keranjang dari pelepah pisang yang harganya Rp 200 ribu. Sedangkan biaya pengolahan dan ongkos kirim mencapai Rp 800 ribu.

Ongkos pengolahan itu tak sebanding dengan harga jual yang merosot dua tahun belakangan. Tembakau kategori D bisa dibeli pengepul sekitar Rp 80 ribu per kilogram. Kini tengkulak memasukkan rajangan daun yang sebelumnya kategori D menjadi kategori C. Harganya pun terjun menjadi Rp 50 ribu. “Pabrik menentukan harga dan petani selalu kalah posisi,” tuturnya.

Meski harga terus melorot, petani tak bisa menahan tembakau. Menurut Juwandi, harga tembakau akan makin turun jika tak segera dijual. Petani akhirnya menjual tembakau berapa pun harganya ketimbang tak laku di pasar.

Nuryadi, petani asal Desa Batursari, Kecamatan Kledung, mengatakan petani tak bisa langsung menjual panen ke pabrik rokok. Mereka harus menjual tembakau kepada juragan, sebutan untuk tengkulak. Para juragan terafiliasi dengan pabrik rokok dan menawarkan harga beli sesuai dengan tarif yang ditentukan pabrik.

Sejumlah petani di Desa Mangunsari, Kecamatan Ngadirejo, bahkan memilih menjual langsung tembakau siap petik di ladang atau tebasan. Dengan begitu, petani tak perlu menanggung biaya pengolahan.

Nur Afandi, 67 tahun, mengaku masih rugi walau menjual pohon tembakaunya dengan model tebasan. “Saya tidak dapat uang meski menanam dua kenje,” katanya. Kenje adalah keranjang yang biasanya berisi 40-50 kilogram tembakau. Beberapa petani bahkan kerap mendapat uang tanda jadi dari penebas dan sisanya tak dilunasi.

Afandi menyebutkan harga pasaran daun tembakau dari Temanggung berantakan karena ulah penebas. Mereka mencampur hasil panen dari Temanggung dengan hasil dari daerah lain. Petani pernah mencoba tak menjual panenan sambil menunggu harga naik. Alih-alih melonjak, banderol tembakau justru makin merosot.

Petani sempat mengadukan anjloknya harga tembakau kepada Pemerintah Kabupaten Temanggung. Mereka menuntut pemerintah menetapkan pedoman harga tembakau yang berpihak kepada petani. Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq mengatakan sebagian besar tembakau dari petani Temanggung diserap oleh Djarum dan Gudang Garam.

Menurut Al Khadziq, pabrik rokok sangat menentukan harga tembakau karena hanya dua perusahaan itu yang mau mengambil panenan. Ia menyebutkan kualitas tembakau Temanggung termasuk istimewa sehingga tak semua industri rokok mampu menebus dengan harga tinggi. “Petani tak bisa ikut menentukan harga,” ujar politikus Partai Golkar ini.

DAVID PRIYASIDHARTA (BONDOWOSO), JAMAL A. NASHR (TEMANGGUNG)

Liputan ini didukung oleh The Investigative Desk dari Belanda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus