Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produk IQOS dan HEETS dari PT HM Sampoerna Tbk dinilai melanggar aturan.
Presiden Joko Widodo disebut mendukung rencana investasi Philips Morris dan Sampoerna.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menganggap produk itu tak ubahnya rokok.
BERKUNJUNG ke gerai I Quit Original Smoking (IQOS) dan Heat-Not-Burn Tobacco Product (HEETS) di sebuah mal di kawasan Senayan, Jakarta, Dimas—bukan nama sebenarnya—terlihat antusias. Pada Ahad siang, 9 Januari lalu, ia menanyakan perbedaan IQOS dan tembakau HEETS dengan produk industri rokok konvensional kepada penjaga gerai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria penjaga gerai lalu mengeluarkan IQOS, alat pemanas berbentuk lonjong, dan sepuluh bungkus HEETS yang berbeda rasa. Dimas lalu memasukkan stik tembakau yang ukurannya setengah dari rokok konvensional itu ke ujung IQOS. Tak berapa lama, ia mulai menyedot ujung HEETS. Asap tipis membubung bersamaan dengan hela napasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selesai mencoba beberapa varian rasa, Dimas mengeluarkan kartu anjungan tunai mandiri. Laki-laki 29 tahun tersebut membayar Rp 1,6 juta untuk satu alat IQOS dan 10 bungkus HEETS. “Saya tertarik membeli karena banyak teman kerja menggunakannya,” kata Dimas. Sebelumnya, Dimas juga penasaran setelah melihat berbagai iklan IQOS.
Gerai IQOS di Jakarta, 15 Januari 2022. TEMPO/Hilman W Fathurahman
Seperti berbagai merek rokok lain, promosi yang dilancarkan IQOS, produk yang dikeluarkan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk, terbilang gencar. Dalam pergelaran Gaikindo Indonesia International Auto Show—ajang pameran mobil terbesar—November 2021, misalnya, papan iklan IQOS mudah dilihat di sekitar lokasi.
Di sejumlah pusat belanja besar di Jakarta dan sekitarnya, gerai IQOS-HEETS juga bermunculan. IQOS-HEETS juga menawarkan peminjaman alat selama 14 hari. Caranya harus melalui situs mereka. Furqon, salah satu peminjam alat, menyatakan ingin merasakan perbedaan produk itu dari rokok. “Saya wajib membeli lima bungkus HEETS,” ujar Furqon, yang meminta nama aslinya tak ditulis.
Iqos
Pengguna IQOS di Indonesia kini diperkirakan lebih dari 10 ribu orang. Direktur PT HM Sampoerna Tbk Elvira Lianita menuturkan, perusahaannya telah menjual IQOS secara terbatas sejak Maret 2019. “Untuk mempelajari potensi pasar dan respons perokok dewasa terhadap produk bebas asap rokok,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat, 7 Januari lalu.
Mengakui tembakau yang dipanaskan tak bebas risiko, Elvira mengklaim IQOS dapat mengurangi sekitar 95 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok konvensional. Angka itu berdasarkan kajian Philip Morris International, induk perusahaan HM Sampoerna. Elvira menyatakan HEETS merupakan tembakau yang dipanaskan.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, mengatakan IQOS dan HEETS sama-sama membahayakan kesehatan. Menurut dia, jargon bahwa IQOS dan HEETS bukan rokok, melainkan tembakau yang dipanaskan, hanya silat kata untuk menambah nilai jual.
Gerai IQOS di Gandaria City, Jakarta, 15 Januari 2022. TEMPO/Hilman W Faturahman
Agus mengkritik gencarnya promosi produk tersebut. Saat dijual terbatas pada Maret 2019, misalnya, IQOS dan HEETS belum mendapatkan lisensi Standar Nasional Indonesia dari Badan Standardisasi Nasional. Ia juga menilai produk itu mengabaikan sejumlah peraturan. “Seharusnya diperlakukan seperti rokok,” tuturnya, Ahad, 7 November 2021.
Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi Kesehatan. Juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau.
Aturan itu mewajibkan produk tembakau menyertakan peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan. Peringatan itu berupa gambar risiko kanker mulut, paru, tenggorokan, dan bronkitis akut; bahaya rokok terhadap anak; serta gambar tengkorak. Selain itu, produk tembakau berupa rokok wajib mencantumkan kadar nikotin dan tar.
Pada kemasan HEETS, gambar tersebut nihil. Hanya ada tulisan bahwa produk itu tidak bebas risiko dan menyebabkan ketergantungan. Pun tak ada keterangan soal kandungan nikotin dan tar dalam HEETS. Namun Direktur PT HM Sampoerna Tbk Elvira Lianita mengklaim bahwa perusahaannya mematuhi peraturan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usaha.
YLKI juga mengkritik pendirian pabrik HEETS di Karawang, Jawa Barat, akhir November 2021. Agus berujar, seharusnya pemerintah mempertimbangkan aspek kesehatan. “Jumlah perokok bisa terus meningkat,” katanya. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan 65,7 juta penduduk Indonesia adalah perokok. Artinya, satu dari empat penduduk merupakan perokok.
Pabrik yang dibangun oleh PT HM Sampoerna Tbk itu senilai US$ 166,1 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun. Pabrik itu diresmikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. HM Sampoerna juga berjanji melanjutkan investasi lain, seperti pembangunan fasilitas riset, hingga 2024.
Dalam keterangannya, Bahlil menyebutkan investasi itu merupakan teknologi dan inovasi keberlanjutan industri produk tembakau nasional. “Ini merupakan contoh nyata dari kepercayaan sektor swasta terhadap iklim investasi di negara kita,” tuturnya. Pabrik itu akan beroperasi pada kuartal IV 2022 dan bakal menjadi pusat ekspor di Asia-Pasifik.
RENCANA investasi PT Philips Morris International (PMI) ataupun PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) untuk produk IQOS-HEETS digodok sejak 22 November 2019. Ketika itu, pimpinan HMSP bertemu dengan Bahlil Lahadalia, saat itu menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang kini berubah menjadi Kementerian Investasi/BPKM.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, HMSP mengajukan rencana investasi sebesar US$ 635,2 juta atau sekitar Rp 8,7 triliun. HMSP juga meminta lima hal kepada pemerintah agar investasi itu berjalan, antara lain pemberian label Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk tembakau yang dipanaskan dan pemberian peringatan kesehatan yang berbeda dengan rokok.
Perusahaan itu juga meminta kepastian aturan impor dan ekspor bahan baku atau daun tembakau, tarif cukai lebih rendah untuk produk tembakau yang dipanaskan dengan mempertahankan tarif Rp 770 per batang hingga 2024, serta penetapan kategori terpisah untuk tembakau yang dipanaskan dan perubahan sistem cukai dari persentase menjadi sistem nominal per batang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu membenarkan kabar bahwa proposal investasi itu meminta penurunan tarif cukai HEETS. Penyebabnya, produk itu diklaim memiliki risiko lebih rendah dibanding rokok konvensional.
HEETS masuk golongan hasil pengolahan tembakau lainnya (HTPL) yang dikelompokkan dalam ekstrak dan esens tembakau (EET) berbentuk batang. Tarif cukai yang dipatok adalah 57 persen dari harga jual eceran.
Menurut Febrio, karena ukuran HEETS lebih ringan dibanding rokok konvensional, tarif cukainya berbeda. “Beban perpajakan HEETS tahun 2021 sudah lebih rendah dibanding beban perpajakan produk sigaret konvensional,” ujarnya, Jumat, 14 Januari lalu.
Keinginan investasi Philip Morris International dan HM Sampoerna juga sampai ke meja Presiden Joko Widodo. Pada 27 Februari 2020, Jokowi menerima pejabat PMI dan HMSP. Presiden didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Produk HEETS yang dijual di Indonesia.
Dokumen Badan Koordinasi Penanaman Modal yang diperoleh Tempo menyebutkan bahwa Jokowi dan Pramono Anung menyatakan mendukung rencana investasi tersebut. Dalam dokumen juga dinyatakan bahwa Sri Mulyani akan mengupayakan permohonan regulasi cukai yang diajukan oleh HM Sampoerna.
Pramono dan Terawan tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Adapun Sri Mulyani meminta pertanyaan diajukan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu. Febrio membenarkan adanya pertemuan pada akhir Februari itu. “Rencana investasi telah disampaikan kepada Presiden yang didampingi oleh beberapa menteri terkait,” ucapnya.
Menurut Febrio, setelah rapat itu, ada sejumlah pertemuan lanjutan yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Salah satu rapat digelar di Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang membahas pemberian Standar Nasional Indonesia untuk produk tembakau yang dipanaskan.
Deputi Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal BSN Wahyu Purbowasito mengatakan pembicaraan soal penerbitan SNI dimulai sejak 2019. “Ada yang mengajukan SNI untuk produk HPTL (hasil pengolahan tembakau lainnya),” ujarnya.
Pembahasan penerbitan SNI dikebut setelah ada rencana investasi IQOS-HEETS. Wahyu menyebutkan percepatan itu merupakan permintaan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi. Ia bercerita, rapat sempat membahas agar produk itu tak lagi ilegal karena telah dijual di Indonesia.
Selain itu, ada kekhawatiran investasi bakal dipindahkan ke negara lain. “Kita akan rugi kalau dipindahkan,” tutur Wahyu. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika irit berkomentar soal permintaan agar BSN segera memproses SNI untuk produk tembakau yang dipanaskan. “Saya cek dulu,” katanya.
Menurut Wahyu, petinggi HMSP dua kali datang ke kantor BSN dan menemui pimpinannya. Pada pertemuan pertama, perwakilan perusahaan itu menyampaikan pentingnya penerbitan SNI untuk rencana investasi. Sedangkan pertemuan kedua saat pergantian Kepala BSN dari Bambang Prasetya kepada Kukuh S. Achmad pada Juni 2020.
BSN lalu membentuk komite teknis beranggota 15 orang. Wahyu mengatakan lembaganya beberapa kali mengundang perwakilan Kementerian Kesehatan. Tapi Kementerian Kesehatan tak pernah hadir. Dua pejabat di Kementerian Kesehatan mengatakan perwakilan HMSP pun berupaya menemui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Namun Budi ogah meladeni.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan perwakilan lembaganya tak hadir karena menganggap tembakau yang dipanaskan sama saja dengan rokok. “Prinsipnya sama saja,” ujarnya. Soal upaya petinggi PT HM Sampoerna Tbk menemuinya, Budi menjawab singkat, “Belum (bertemu).”
SNI untuk produk tembakau yang dipanaskan terbit pada 10 Maret 2021. Wahyu Purbowarsito mengatakan SNI itu hanya berupa dokumen, bukan penandaan seperti yang ditemukan pada helm. “Kami hanya memberikan definisi agar SNI itu melindungi keselamatan dan kesehatan,” katanya.
Pada 4 Juni 2021, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bersurat kepada pejabat HMSP. Isinya antara lain mengabarkan bahwa SNI sudah ditetapkan. Adapun peringatan kesehatan tembakau yang dipanaskan mengacu pada praktik di negara lain yang hanya berupa tulisan.
Dalam suratnya, Bahlil juga menyebutkan perbedaan tarif cukai tembakau yang dipanaskan dengan rokok konvensional hingga mencapai 40 persen pada 2024 dengan mengacu pada angka inflasi tahunan yang dipertahankan sampai 2027. “Berdasarkan hal di atas, diharapkan perusahaan dapat merealisasi rencana investasi tersebut,” ujarnya.
Dimintai tanggapan soal keistimewaan yang diberikan pemerintah untuk produk IQOS-HEETS, Bahlil menyatakan pertanyaan akan dijawab oleh juru bicara Kementerian Investasi, Tina Talisa. Tapi Tina meminta pertanyaan diajukan kepada Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Yuliot. Namun Yuliot menyatakan tak mengetahui persis persoalan tersebut.
Elvira Lianita, Direktur PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk, industri rokok yang berdiri sejak 1913, menuturkan, perusahaannya memang berinteraksi dan berdiskusi dengan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan pihak lain dalam mengedarkan tembakau yang dipanaskan. “Kami mengapresiasi keterbukaan, profesionalisme, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para pelaku usaha,” tuturnya.
Liputan ini terselenggara atas dukungan The Investigative Desk dari Belanda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo