Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Taysir Alluni. Dia wartawan stasiun televisi Aljazeera, dan dikenal sebagai wartawan perang Timur Tengah yang gigih. Namanya meroket setelah Taysir berhasil mewawancarai pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, beberapa hari setelah terjadi pengeboman gedung World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001.
Di Amerika, lain lagi citra Taysir Alluni, 50 tahun. Pemerintah dan pihak keamanan AS mencatatnya sebagai ”pembantu teroris”. Gedung Putih, misalnya, menilai berita-berita Alluni cenderung menyudutkan negeri-negeri Barat, terutama Amerika. Dua pekan lalu, Baltasar Garzon, hakim pengadilan tinggi Madrid, memvonis Alluni tujuh tahun penjara. Dosanya, menjadi penyokong dana sekaligus anggota Al-Qaidah.
Pertalian Taysir dengan Spanyol bermula dari urusan ilmu. Seusai memetik gelar sarjana ekonomi di Suriah, pria ini mengambil studi masternya di Spanyol. Di Spanyol pula, pria kelahiran Suriah ini bertemu Fatima al-Zahra, yang dinikahinya pada 1987. Setahun menikah, ayah lima anak ini memilih menjadi warga negara Spanyol dan bekerja sebagai guru bahasa Arab di sana.
Sembari mengajar dia menjadi penerjemah di kantor berita EFE Spanyol serta wartawan lepas Aljazeera. Pada 1996, Taysir naik pangkat memimpin biro Aljazeera di Kabul, Afganistan. Dari sinilah namanya mulai dikenal. ”Dia profesional. Laporan-laporannya eksklusif,” demikian pernyataan The Francisca Mateos Foundation, yang memberinya penghargaan Wartawan Perdamaian pada Januari lalu.
Saat Amerika mulai memburu Taliban dan Al-Qaidah di Afganistan pada 2001, Taysir ikut ”memburu” Taliban dan Usamah sebagai narasumber. Dia berhasil menembus Taliban dan diterima oleh para bekas pemimpin Taliban untuk sejumlah liputan. Berita-beritanya yang eksklusif disalurkan via layar Aljazeera. Salah satu prestasinya adalah mewawancarai Usamah bin Ladin selepas tragedi 11 September 20001.
Tayangan wawancara itu membikin Amerika geram bukan main. Sengaja atau tidak, kantor Aljazeera di Kabul dibombardir. Seorang wartawan tewas.
Taysir Alluni hengkang ke Doha, Qatar, dan bekerja sebagai redaktur kantor berita Aljazeera. Dua tahun kemudian, Presiden AS George Walker Bush mencanangkan invasi lagi ke Irak. Taysir berangkat ke Bagdad, tetapi lagi-lagi terhalang untuk bekerja karena kantor Aljazeera di ibu kota Irak itu dibombardir Amerika.
Penuh harapan akan perlindungan Perdana Menteri Spanyol Jose Maria Aznar, Taysir memilih balik ke Negeri Matador. Tapi dia malah dicokok di rumahnya di Granada pada 5 September 2003. Meski sempat dibebaskan lantaran tak terbukti sebagai anggota Al-Qaidah, polisi kembali membekuknya dua bulan kemudian. Kali ini, tuduhannya mentransfer dana US$ 4.000 (Rp 40 juta) ke rekening Imad Eddin Barakat Yarkas, pemimpin Al-Qaidah di Spanyol. ”Itu dana solidaritas, tak ada maksud menjadi anggota (Al-Qaida),” Taysir Alluni membantah.
Tapi Hakim Baltasar tak sependapat. Taysir ditetapkan sebagai tahanan rumah sejak tim pengacaranya memohon pembantaran karena sakit liver yang diidap wartawan itu. Dua pekan lalu nasibnya menjadi ”lebih pasti”. Taysir divonis tujuh tahun penjara.
Eduardus Karel Dewanto (Aljazeera/Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo