Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kompolnas menelisik berbagai kejanggalan dalam penanganan kasus kematian Brigadir Yosua.
Dua pejabat Polri dinonaktifkan untuk menghindari konflik kepentingan.
Dekorder CCTV Kompleks Polri Duren Tiga, yang sebelumnya dikabarkan hilang, sudah ditemukan.
JAKARTA – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berencana menelisik dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganan penyelidikan kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Indikasi pelanggaran itu muncul setelah Kompolnas menemukan sejumlah kejanggalan oleh polisi yang tidak sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP) dalam menangani kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menyatakan indikasi pelanggaran prosedur tersebut misalnya tidak adanya pemasangan garis polisi secara langsung setelah insiden. Polisi menyebutkan aksi baku tembak antara Brigadir Yosua dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu terjadi di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, pada Jumat, 8 Juli 2022. Namun pemasangan garis polisi dilakukan pada Selasa sore, 12 Juli, atau empat hari kemudian. "Hal-hal itulah yang kami dalami, kami crosscheck," kata Benny ketika diwawancara di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta Selatan, Rabu, 20 Juli 2022.
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto memberi keterangan setelah gelar perkara kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Mabes Polri, Jakarta, 20 Juli 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompolnas juga menelusuri pelanggaran dan kejanggalan lain. Di antaranya ketiadaan olah tempat kejadian perkara (TKP) pada hari kematian Yosua, termasuk berita acara kematian. Benny juga melacak penanganan pengiriman jenazah Yosua ke Rumah Sakit Bhayangkara Sukanto, Kramat Jati, pada Jumat sore, 8 Juli, untuk dilakukan autopsi forensik. Proses autopsi disinyalir dilakukan tanpa tahapan prosedur olah TKP dan penerbitan surat perintah penyelidikan berdasarkan laporan polisi.
Skandal kematian Brigadir Yosua menjadi sorotan publik lantaran penuh kejanggalan. Polisi baru mengumumkan kematian Brigadir J tiga hari setelah kejadian atau pada Senin, 11 Juli 2022. Ketika itu, polisi mengklaim telah melakukan olah TKP pada 8 Juli lalu. Namun hal itu disangkal Mayor Jenderal Polisi (Purnawirawan) Seno Sukarto, Ketua RT 05 RW 01, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang mengaku tak mengetahui adanya baku tembak. Padahal olah TKP memerlukan pemberitahuan ke pengurus RT setempat.
Selain itu, Benny mengimbuhkan, proses penyelidikan Kompolnas dan tim khusus Mabes Polri menyasar ke dugaan raibnya dekoder kamera pengawas atau CCTV di pos satpam Kompleks Polri pada Sabtu, 9 Juli 2022. Juga ihwal tiga gawai korban yang sempat disebut hilang. Kompolnas bakal menelisik dan memverifikasi kejanggalan-kejanggalan pasca-kematian Brigadir Yosua.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebutkan, dalam pengungkapan kasus pidana, kepolisian harus merujuk pada beberapa aturan. Dia melihat adanya kemungkinan pelanggaran prosedur jika autopsi forensik terhadap jenazah Brigadir Yosua dilakukan sebelum proses olah TKP. "Kasus ini menjadi janggal karena ada penyimpangan sejak awal penanganan perkara," kata Fickar.
Fickar merujuk sejumlah aturan yang mengikat polisi. Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Peraturan Kepala Polri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana, hingga Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Administrasi Penyidikan Nomor SKEP/1205/IX/2000.
Ada juga Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP). Selain itu, kepolisian mesti merujuk pada Standar Internasional ISO 9001 Tahun 2011. Penerapan ISO bertujuan menjamin mutu sistem manajemen agar berkualitas dan terpercaya.
Berbagai ketentuan itu ikut mengatur penanganan di lokasi kejadian tindak pidana. Penanganan TKP meliputi pertolongan pertama kepada korban jika masih hidup, memasang garis polisi atau peralatan lainnya, membuat berita acara, serta mendata dan mencatat orang yang berada di lokasi kejadian. Termasuk membuat gambar TKP serta menyiapkan permintaan visum et repertum.
Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Ito Sumardi Djunisanyoto, menyatakan autopsi forensik tidak bisa dilakukan sebelum ada olah tempat kejadian. Hal ini berlaku bila korban sudah meninggal. "Maka, posisi jenazah harus ada di TKP. Setelah olah tempat kejadian, barulah bisa diautopsi," kata Ito ketika dihubungi, kemarin, 20 Juli.
Tim Inafis Mabes Polri melakukan olah TKP kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, 13 Juli 2022. TEMPO/Subekti
Kabareskrim Polri periode 2009-2011 ini menjelaskan bahwa olah TKP menjadi hal krusial terhadap cepat-lambatnya pengungkapan kasus pidana. Di lokasi kejadian biasanya ditemukan sejumlah alat bukti dan bukti atas hal yang sedang terjadi. Dengan begitu, di tempat kejadian harus dalam status quo atau tetap pada kondisi terakhir di lokasi kejadian. Penyimpangan terhadap hal ini dapat dikenai sanksi. Selain melakukan olah TKP dan autopsi forensik terhadap jenazah korban, polisi harus memeriksa saksi-saksi. Bukti menjadi sahih bila didapati rekaman CCTV dalam tempat kejadian.
Benny menambahkan, Kompolnas bakal memeriksa semua kejanggalan dalam penanganan kasus ini dengan memanggil sejumlah pihak terkait. Salah satunya Kepala Polres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Budhi Herdi Susanto. Sebelumnya, Benny sempat mengatakan telah mewawancarai Budhi ihwal penanganan awal kematian Yosua. Dia juga meminta keterangan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur, Jenderal Ferdy Sambo; serta Kepala Biro Pengamanan Internal Polri Divisi Propam, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan, yang sempat melarang anggota keluarga membuka peti jenazah Yosua.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, menyatakan Markas Besar Kepolisian menonaktifkan Budhi dan Hendra dari jabatan masing-masing. Tujuannya adalah menghindari konflik kepentingan dan membuka kasus menjadi lebih terang sesuai dengan komitmen Kapolri Listyo Sigit, yang menghendaki pengungkapan kasus secara transparan. Pencopotan Budhi dan Hendra ini merupakan buntut setelah kepolisian juga menonaktifkan Ferdy Sambo.
Dedi mengatakan dekoder CCTV di Kompleks Polri Duren Tiga yang sebelumnya dikabarkan hilang sudah ditemukan. Rekaman kamera pengawas tersebut sedang diselidiki untuk mengungkap kejanggalan kematian Brigadir Yosua. Kepolisian juga berjanji bakal menindaklanjuti laporan kuasa hukum keluarga korban ihwal dugaan pembunuhan berencana dan penganiayaan yang mengakibatkan Yosua meninggal.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo