Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tangerang - Sekelompok orang mengatasnamakan Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia menentang program nyamuk wolbachia atau pelepasan nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia guna menekan angka demam Berdarah Dengue (DBD).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tifauzia Tyassuma alias dokter Tifa, pakar epidemiologi, mengatakan wacana menekan angka demam berdarah dengue (DBD) menggunakan nyamuk berwolbachia keliru. Ia menuding rencana ini sebenarnya proyek penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini adalah isu yang sesungguhnya harus diluruskan kepada masyarakat. Karena ini adalah sebuah projek penelitian dari satu institusi di Indonesia bekerja sama dengan lembaga lain," kata dia dalam konferensi pers Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia di Ciputat, Tangerang Selatan, Ahad, 26 November 2023. Namun, Tifa tidak menyebut nama institusi yang ia singgung.
Hadir pula dalam konferensi pers ini mantan Direktur Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri Dharma Pongrekun.
Tifauzia mendesak transparansi di balik rencana pemerintah melakukan hal ini. Apalagi, sepengetahuan dia, proyek penelitian nyamuk wolbachia yang ia sebut itu sudah berjalan lebih dari 10 tahun.
"Sehingga ketika projek penelitian diberlakukan masyarakat harus tau. Ini, kan sudah 12 tahun berjalan mengapa masyarakat baru tau," kata dia.
Tifa berujar upaya pencegahan demam berdarah di Indonesia saat ini sudah terkendali. Masyarakat pun dianggapnya sudah cerdas dan bisa menjaga diri. Ia mencontohkan jika dulu angka kematiannya mencapai 1 persen, kata dia, saat ini sudah di angka 0,6 persen.
“Artinya sebetulnya dengan pengendalian diri dari masyarakat dan upaya bersama sebenarnya (DBD) ini sudah cukup terkendali,” tuturnya.
Selain itu, Tifauzia menuding tidak ada jaminan apapun dari program nyamuk wolbachia ini jika nantinya akan menyebabkan efek negatif pada Kesehatan masyarakat. "Saya tidak pernah dengar selama 12 tahun ini ada asuransinya,” tuturnya.
“Yang harus kami lakukan adalah tolak dan hentikan projek penelitian ini di Indonesia,” tuturnya.
Dampak negatif lain yang mungkin timbul dari program nyamuk Wolbachia, kata Tifauzia, ketidakseimbangan ekosistem.
“Ketika di suatu daerah disebarkan nyamuk ratusan juta maka keseimbangan itu sontak akan tercederai. Pressure terhadap nyamuk-nyamuk berjenis lain. Nanti akan melonjak jumlah nyamuk dan mungkin akan menjadi lebih beresiko menjadi penyakit lain," tuturnya.
Satu Dasawarsa Nyamuk Wolbachia di Yogyakarta dan Riset UGM
Kementerian Kesehatan mengklaim angka DBD di Yogyakarta menurun sejak nyamuk Wolbachia dilepaskan untuk hidup berdampingan dengan masyarakat. Penggunaan nyamuk Wolbachia dapat menurunkan kasus dengue mencapai 77 persen. Di samping itu, angka rawat inap akibat dengue di rumah sakit juga dapat ditekan hingga 86 persen.
"Dalam 10 tahun terakhir ini, kami mencatat penurunan kasus yang sangat signifikan. Sebelumnya di 2016-2017, kasus yang terjadi di kota Yogyakarta mencapai lebih dari 1.700 kasus. Sementara di 2023 sampai dengan minggu lalu, tercatat kasus yang terjadi di angka 67," kata Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Lana Unwanah pada Rabu, 22 November 2023.
Pelepasan nyamuk wolbachia di Yogyakarta tak lepas dari penelitian yang dilakukan program Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2011. Pada 2016 UGM bekerja sama dengan Monash University dan Yayasan Tahija melepaskan nyamuk Wolbachia di Yogyakarta.
Proyek penelitian di UGM itu awlanya bernama Eliminate Dengue Project kemudian berubah menjadi World Mosquito Program atau WMP.
Peneliti WMP Yogyakarta, Adi Utarini, menyebut hingga akhir 2020 seluruh wilayah Kota Yogyakarta telah terjangkau pembiakan nyamuk wolbachia.
“Perjalanan panjang dari 2011 sampai akhir 2020 di Kota Yogyakarta itu hasilnya menggembirakan," tutur Uut dalam kesempatan yang sama.
ANNISA FEBIOLA