Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Reuni Politik Akbar-Mega

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhelatan meriah itu mirip acara perjodohan. Kamis pekan lalu, di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri dan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung duduk bersanding. Malam itu berlangsung acara silaturahmi yang diselenggarakan Badan Kontak Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Keduanya memang tercatat sebagai aktivis kedua organisasi itu. Inilah pertemuan pertama kalinya antara dua partai pemenang pemilu yang berseteru hebat itu. Mega, yang selama ini tutup mulut dan duduk manis setelah partainya dinyatakan juara pemilu, agaknya mulai membuka diri. Bertindak sebagai mak comblang adalah Dahlan Ranuwihardjo dan Prof. Sri Soemantri. Saat tampil di podium, kedua pinisepuh HMI dan GMNI itu menjodohkan Mega dan Akbar sebagai calon RI Satu dan RI Dua. Dari hadirin, sesekali terdengar sorak, "Hidup Mega…, hidup Akbar!" Yang dituju cuma mesam-mesem. Saat berpidato, keduanya saling bernostalgia sebagai kawan lama dan teman satu sekolah di SMP Cikini, Jakarta, pada 1960-an. Akbar, yang partainya saat pemilu lalu jadi runner-up, langsung memberi sinyal. "Saya siap bekerja sama di bawah pimpinan Ibu Megawati," katanya, bersemangat. Tapi, "sang juara" tak langsung memberi lampu hijau. Mega malah menyatakan keheranannya pada pihak-pihak yang cuma meramaikan sidang umum dan mengabaikan persoalan gawat di Aceh, Timor Timur, dan Ambon. Masih terlalu dini jika dibilang keduanya bikin deal khusus untuk bagi-bagi kekuasaan. Toh spekulasi politik langsung ingar-bingar. Ada yang bilang, Akbar dan barisannya memberi aba-aba agar mulai mengendorkan dukungannya kepada Habibie. Tak sedikit yang menyebut langkah ini sebagai langkah pengamanan kubu Akbar jika kelak "dicoret" Habibie. Suara lain: inilah reaksi Mega atas kesediaan Gus Dur menerima pencalonan dari poros tengah —yang ditafsirkan Hamzah Haz, Ketua PPP, sebagai "meninggalkan Mega".


Ghalib Lolos Lagi
Jaksa agung nonaktif Andi Muhammad Ghalib mungkin menggelar selamatan lagi. Undangannya bisa disebar luas, tak cuma buat wartawan. Setelah kasusnya dihentikan Pusat Polisi Militer (Puspom) karena "tak ada bukti kuat melakukan korupsi", Ghalib pun menerima "berkah" susulan. Kali ini datang dari Kantor Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan/Penertiban Aparatur Negara Hartarto. Asisten kementerian itu, Umar Said, Kamis pekan lalu mengungkapkan bahwa hasil audit kantor akuntan publik Prasetio Utomo & Co Arthur Andersen (PUCO) selama dua minggu terhadap rekening nomor 502-30-80470-0 atas nama H. Andi Muhammad Ghalib, S.H. di Bank Lippo Cabang Melawai, Jakarta, menyimpulkan: benar bahwa rekening yang dibuka pada 22 Maret 1999 itu adalah rekening pribadi Ghalib. Setelah Ghalib dilantik sebagai Ketua Umum Persatuan Gulat Amatir Seluruh Indonesia (PGSI) pada 12 April lalu, rekeningnya diubah menjadi milik PGSI. Di mata Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW), penjelasan itu bukan hanya mengandung tanda tanya besar. Ia malah menduga, selama ini justru terjadi persekongkolan yang telah menyulap rekening pribadi itu menjadi rekening PGSI, agar tak terkecoh korupsinya. Menurut Teten, dokumen yang menyatakan rekening itu dibuka oleh Ghalib dan bendahara PGSI Tahir dibuat setelah kasus ini menyeruak ke permukaan. Sebab itu, PUCO, kata Teten, telah merekomendasikan agar usia tanda tangan Tahir di dokumen itu diteliti di laboratorium forensik independen, sehingga bisa diketahui kapan persisnya tekenan diterakan. "Tapi, kenapa rekomendasi itu tidak diungkap tapi malah diabaikan?" tanya Teten. Keanehan berikutnya, kenapa PGSI harus repot-repot menumpang di rekening pribadi Ghalib, bukannya membuka rekening baru saja, yang prosesnya begitu mudah? Pula, dari sekian penyumbang, cuma dua orang—Husain Djojonegoro (434 juta) dan Prajogo Pangestu (250 juta)—yang jelas-jelas menyebutkan dana setoran ditujukan ke kas PGSI. Yang lain, Tahir (350 juta), Henry Pribadi (100 juta), The Ning King (200 juta), Perry Martono (250 juta), dan Oei Tek Kiat (75 ribu) tak jelas menyebutkan peruntukannya. Penjelasan Umar Said tak begitu detail. Alasannya, Ghalib bikin surat persetujuan yang menyatakan hasil pemeriksaan cuma ditujukan buat Menteri Hartarto. Bukan untuk umum. Jadi, Ghalib masih aman.

"Saya Mau Dicalonkan", Kata Gus Dur
Bak calon pengantin menerima pinangan, Gus Dur rupanya malu-malu kucing. Saat dilamar Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Amien Rais, untuk memboyongnya ke Istana sebagai calon presiden dari poros tengah, di depan publik, Kiai Ciganjur ini tak tegas-tegas mengangguk. Belakangan sikapnya makin jelas. "Mau," katanya menanggapi pencalonan itu di hadapan peserta Sarasehan Poros Tengah di Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Ia masih menambahkan embel-embel: tak akan pernah mencalonkan diri—seperti cara Barat, katanya. Menurut seorang petinggi poros tengah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu memang berminat jadi orang nomor satu di Republik. Ia kabarnya pernah memarahi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Matori Abdul Djalil dan Katib Am PBNU Said Aqiel Siradj, yang dinilai kelewat bersemangat mendukung Mega. Sejak Ahad pekan lalu, Abdurrahman Wahid, ya, si Gus itu, terbang ke Amerika Serikat untuk memulihkan penglihatannya. Tapi dukungan itu masih "bulat lonjong", kata Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) A.M. Fatwa. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menyatakan partainya tak mendukung atau menolak pencalonan Gus Dur. Ia lebih suka tak buru-buru mengelus jago. Di mata Yusril, dengan mengusung calon presiden, aliansi yang mengklaim punya 170 kursi ini bukan lagi merupakan poros tengah yang lentur, tapi sudah mengeras jadi poros ketiga selain kubu Mega dan Habibie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus