Masih banyak hal yang gelap, samar, bahkan simpang-siur, setelah lebih dari dua pekan kasus pembobolan Bank Bali (BB) digulirkan oleh Pradjoto. Yang dilakukan pertama kali oleh Presiden B.J. Habibie adalah meminta agar kasus yang melibatkan dana Rp 904 miliar itu dilokalisir, sedangkan para pengamat bersikukuh agar segala hal yang menyangkut BB diungkap secara transparan. Memang, transparansi merupakan kata kunci untuk kesemrawutan yang berbau money politics ini, sehingga penunjukan perusahaan audit internasional PricewaterhouseCoopers—untuk mengusut skandal BB—bisa dianggap sebagai langkah maju.
Di pihak lain, Ketua DPA, Arnold Baramuli, telah begitu tegas menyangkal bahwa dana Rp 400 miliar—yang menurut Setyo Novanto dikirim ke Habibie—tidak ada dalam rekening sang Presiden. Keterangan ini pantas dipertanyakan, karena ada atau tidak ada, tentu bank yang bersangkutanlah yang paling mengetahui. Seiring dengan itu, kontrak cessie antara BB dan PT Era Giat Prima (EGP) terkesan tidak wajar. Kontrak itu ditandatangani pada Januari 1999, tapi sejak itu minimal dua kali pihak BB masih mengurus sendiri tagihannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lobi PT EGP baru ada hasilnya pada awal Juni 1999, itu pun kabarnya setelah ada revisi atas surat keputusan bersama (SKB) antara Bank Indonesia dan BPPN pada Mei 1999. Revisi ini—seperti diungkapkan Rizal Ramli—menetapkan bahwa transaksi derivatif juga ditanggung oleh dana penjaminan BI. Padahal, transaksi derivatif sebelumnya berada di luar dana penjaminan BI. Dengan revisi, kebijakan seperti ini bukan saja menyimpang, tapi juga berpotensi menjegal pelaksanaan program rekapitalisasi perbankan. Jangankan itu, biaya penjaminan yang terkesan tanpa batas ini pun telah banyak dikecam, terutama karena sangat berpotensi menimbulkan moral hazard.
Hal lain yang sangat mengganggu daya nalar kita adalah instruksi agar dana Rp 904 miliar—atau Rp 550 miliar (?)—dikembalikan ke BPPN. Tapi, kalaupun itu memang bisa dikembalikan, bukan berarti skandal BB bisa dianggap tidak ada. Kemungkinan ini dari sekarang harus dicegah karena cita-cita reformasi tidak mengizinkan siapa pun menutup mata terhadap unsur kriminalitas yang terkandung di dalamnya.
Dapat dikatakan bahwa skandal BB itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi skandal ini mencuatkan aktivitas money politics, sedangkan di sisi lain revisi SKB berpotensi menyabot keberhasilan program rekapitalisasi perbankan. Yang disebut terakhir ini tentu memerlukan bukti yang lebih konkret, tapi setidaknya revisi itu sendiri sudah menimbulkan masalah. Patut dikhawatirkan bahwa pembobolan BB, dan barangkali juga sejumlah bank lain, bisa terjadi karena tangan-tangan jail yang menyulap bank sehat menjadi sakit-sakitan sehingga akhirnya terpaksa dilikuidasi. Atau diakuisisi, seperti yang terjadi atas BB.
Andaikata dapat ditarik garis tegas antara program rekapitalisasi dan kasus pembobolan BB, alangkah baiknya. Tapi, kalau kasus BB membawa dampak negatif yang luas, pemerintah tentu harus cepat bertindak. Apalagi bila diingat bahwa rekapitalisasi saja belum cukup mengobati dunia perbankan.
Singkat kata, dalam penanganan skandal BB, banyak yang dipertaruhkan, sehingga penyelesaian kasus itu tidak bisa dianggap tuntas dengan mengembalikan Rp 904 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini