Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berkesenian dengan Murid (dan Guru)

Dewan Kesenian Jakarta menggelar program Apresiasi Seni Pertunjukan untuk Murid SMU se-Jabotabek. Sayang, baik apresiasi murid maupun guru masih rendah.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH orang lelaki meloncat-loncat di bawah tenda. Mereka mengayun-ayunkan pedang dan tombak sembari sesekali berteriak. Sesekali pula seruan siswa SMU yang mengelilinginya menimpali. Tawuran? Alhamdulilah, bukan. Masih banyak murid SMU lain yang jauh dari tawuran dan narkotik. Mereka adalah siswa SMUN 50 yang belajar apresiasi seni dari seniman tari perang hoho, nama seni tari tradisional dari Pulau Nias, Sumatra Utara. Rabu pekan silam, di halaman sekolah yang terletak di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, itu terpasang tenda berukuran 10 meter persegi. Sekitar 500 anak berseragam putih abu-abu berkerumun menyaksikan tari hoho dari Nias tersebut. Pertunjukan kelompok seni tradisi lisan Baluseda yang menampilkan tari hoho ini, sebenarnya, adalah salah satu acara dalam program Apresiasi Seni Pertunjukan untuk Siswa SMU se-Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Program yang mendapatkan kucuran dana dari Ford Foundation itu bertujuan untuk mengembangkan apresiasi anak-anak sekolah, kali ini adalah giliran siswa SMU. Pada bulan Agustus ini, beberapa kelompok kesenian seperti Topeng Betawi dan Teater Kubur serta beberapa seniman seperti Taufiq Ismail dan Putu Wijaya akan mendapat giliran manggung di SMU-SMU yang telah didaftar oleh DKJ. Untuk membuat acara itu menarik, DKJ meminta para selebriti seperti Oppie Andaresta dan Didi Petet untuk menjadi pembawa acara. ''Kami mencoba merangsang apresiasi seni anak-anak SMU," tutur Ratna Riantiarno, ketua DKJ. Ide ini berawal dari ulang tahun Teater Koma ke-20, pada 1997, ketika mereka menyelenggarakan Pasar Tontonan Jakarta (Pastojak)—sebuah pagelaran berbagai kesenian daerah yang bertujuan mengembangkan apresiasi penonton. Ternyata, minat penonton, termasuk anak-anak sekolah, cukup besar. Perhatian yang begitu besar dari anak-anak sekolah itu mendorong Ford Foundation untuk memberikan tiket gratis kepada anak-anak sekolah agar mereka bisa menonton Pastojak, sekaligus memberi fasilitas antar-jemput. Dengan bantuan Ford itu, kemudian Ratna dan Dewan Kesenian Jakarta melaksanakan program Grup Seni Masuk SMU yang pertama pada Agustus 1998. ''Inti program adalah melibatkan masyarakat dalam pengembangan kesenian. Hal semacam ini juga diterapkan di Madras, India," ungkap Jennifer Lindsay, Program Officer Ford Foundation. Pada tahun kedua, program ini pun meluas, dari Jakarta, Jabotabek, lalu ke Semarang dan Surabaya. Ratna memboyong Teater Koma untuk pentas di beberapa SMU di Semarang dan W.S. Rendra berhadapan dengan arek-arek SMU di Surabaya. Menurut Ratna, semua ini dilakukan karena baik pihak DKJ maupun Ford optimistis dengan keberhasilan program pengembangan pemirsa ini. Buktinya, Ford berani mengucurkan dana yang cukup besar, misalnya tahun lalu Ford memberikan dana Rp 250 juta dan tahun ini naik menjadi Rp 400 juta, untuk program serupa. Ini adalah kerja besar. DKJ dan Ford sengaja memilih kelompok seni dan orang-orang yang benar-benar prestisius di bidangnya. Mereka bukan sekadar seniman yang bisa menari atau membaca puisi. Keterlibatan nama-nama kondang, seperti penari Gusmiati Suid, pemain pantomim Sena-Didi-Mime, menunjukkan keseriusan program tersebut. ''Karena kami ingin menunjukkan pada anak-anak, bahwa mereka hidup sebagai seniman. Dan seniman itu seperti profesi lainnya yang dihargai," kata Ratna. Jennifer Lindsay mendukung alasan Ratna bahwa itu sangat penting, ''agar anak-anak tidak hanya mengenal seni, tapi juga kehidupan pekerja seni". Sayangnya, respon dari guru dan murid belum semuanya menggembirakan. Yang terjadi di SMUN 50, misalnya, sampai satu hari sebelumnya tidak ada penjelasan bahwa hoho akan dipentaskan. Bahkan, murid-murid mengira akan ada pertunjukkan musik. ''Puyeng gue, nggak ngerti sih. Udah gitu yang tampil bapak-bapak semua. Kalau cewek cakep sih oke-oke saja," kata seorang murid. Guru pun ada yang berkomentar nyinyir, ''Masih untung ada anak yang mau nanya, jadi enggak diem-diem amat." Penerimaan sekolah pada seni memang masih rendah. ''Ada izin dari kanwil (Depdikbud, Red.) enggak?" begitulah pertanyaan pertama yang sering terlontar ketika program Apresiasi ini ditawarkan. Bahkan, SMUN 8, sekolah peringkat pertama di Jakarta yang punya waktu belajar dari pukul 6.45 hingga pukul 16.00, itu selama dua tahun ini menolak menerima rombongan seni ke sekolahnya. ''Kami tidak bisa mengganggu gugat jadwal belajar efektif siswa," kata Suwarno, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. ''Padahal semuanya gratis," kata Ratna. Tentu saja sikap siswa itu tak bisa dilepaskan dari sikap guru terhadap seni. Sebuah program yang paralel dengan Apresiasi, yaitu Pendidikan Seni untuk Guru-Guru Kesenian SMU oleh Teater Utan Kayu, yang seharusnya dimulai Agustus ini, juga tersendat. ''Guru-gurunya tidak ada yang datang," kata Sitok Srengenge, seniman yang menjadi koordinator program tersebut. Jadi, apakah kesenian memang selalu dianggap ''soal pinggiran" ketimbang matematika? Ya, tentu saja tak semua warga Indonesia berwawasan sesempit itu. Bukankah hidup tidak hanya terdiri dari angka? ''Tidak semua kegiatan mendapat tanggapan negatif," kata Ratna yang tampaknya tidak sekadar menghibur diri. Pentas Teater Kubur di SMU 78, Kemanggisan, Jakarta Barat, misalnya, mendapat tanggapan yang bagus. Sedangkan yang paling istimewa, menurut Ratna, adalah pentas Topeng Cirebon di Jakarta International School (JIS), tahun lalu. Guru-guru JIS menjelaskan kepada para murid—tentu saja didominasi oleh murid warga negara internasional—sehingga mereka yakin bahwa pertunjukan yang mereka tonton adalah sesuatu yang sangat berharga. Bagaimana dengan murid-murid Indonesia? Tampaknya jalan menuju ''kelahiran" murid-murid atau remaja (Indonesia) yang apresiatif terhadap seni masih panjang, berliku, dan penuh gerunjal. Bina Bektiati, Hardy R. Hermawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus